Terkesiap Kenekatan Pelaku Suap-Menyuap

Oleh M. Anwar Djaelani,
Ketua Bidang Pemikiran dan Ghazwul Fikri Dewan Da’wah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Boleh jadi, tak sedikit yang terkesiap dengan berita ini: “Rektor Unila Terima Suap Rp. 5 Miliar dari Penerimaan Mahasiswa Baru” ((https://nasional.okezone.com 21 Agustus 2022). Apalagi, hanya berselisih dua hari, ada kabar ini: “Dua Dosen UIN Walisongo Semarang Didakwa Terima Suap Rp 830 Juta” (https: //jateng.jpnn.com 23 Agustus 2022).

Sangat Terlarang

Benar, tetap saja banyak yang sangat terkejut mendengar kabar menyedihkan itu. Mereka tetap terperanjat, meski masalah suap-menyuap sering terjadi di sekitar kita.

Betapa tidak terkejut, sebab, pertama, “Penerima suap dan pemberi suap masuk neraka” (HR Bazzar dan Thabrani). Tak takutkah para pelaku itu? Kedua, selama ini telah banyak tersiar bahwa pelaku suap-menyuap ditangkap dan dihukum. Tak takutkah mereka?

Banyak aspek di sekeliling kita yang beraroma suap-menyuap. Sekadar menyebut, misalnya; Agar tak menerima hukuman yang berat (bahkan, jika mungkin bisa bebas), seorang yang punya masalah hukum lalu menyuap aparat terkait. Supaya diterima di sebuah rekrutmen pegawai, seseorang lalu menyuap pejabat yang bertugas menentukan kelulusan.

Suap-menyuap sangat dilarang Islam. Perhatikan ayat ini: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Umat Islam dilarang makan harta orang lain dengan cari bathil. Suap-menyuap contohnya. Tegas, Rasulullah Saw bersabda: “Allah melaknat orang yang menerima suap, orang yang menyuap, dan orang yang menjadi perantara keduanya” (HR Ahmad, Thabrani, Baihaqi, dan Hakim). “Penerima suap dan pemberi suap masuk neraka” (HR Bazzar dan Thabrani).

Islam mengharamkan suap-menyuap dan keras terhadap siapa saja yang bersekutu di dalamnya. Larangan ini sangat bisa dipahami, sebab membudayanya suap-menyuap di masyarakat berakibat kepada meluasnya kerusakan dan kezaliman. Misal, bisa saja ada hakim yang menetapkan hukum dengan jalan tidak benar, sehingga ‘Si Benar’ bisa salah dan sebaliknya. Contoh lain, bisa saja ada di sebuah instansi pelayanan publik, seorang pegawai mendahulukan pelayanan orang yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan orang yang seharusnya didahulukan karena pengaruh dari suap yang diterimanya.

Suap-menyuap sungguh berbahaya. Praktik tak terpuji itu merusak tatanan sosial. Lihatlah, sekadar gambaran akibat buruk suap-menyuap berikut ini.

Bahwa, suap-menyuap bisa menghilangkan kejujuran yang berujung kepada hilangnya rasa saling percaya di tengah masyarakat. Suap-menyuap akan menyuburkan sikap malas sekaligus suka dengan jalan pintas. Suap-menyuap mudah memicu prasangka antarwarga masyarakat.

Waspada Hadiah

Mengingat ancaman keras terhadap pelaku suap-menyuap, maka kita patut waspada agar tak tergelincir sehingga terkategori sebagai turut terlibat–atau sekurang-kurangnya memberi peluang terjadinya-praktik laknat itu. Bahkan, dalam kaitan ini, waspadalah juga dengan aktivitas pemberian hadiah.

Saling memberi hadiah pada dasarnya tergolong amal baik dan oleh karena itu dianjurkan untuk dibudayakan. Hadiah dapat diberikan ke semua lapisan sosial, kaya atau miskin. Namun, memberi hadiah lebih utama jika ditujukan ke keluarga sendiri, karib kerabat, atau tetangga terdekat.

Nabi Saw menerima hadiah dan suka membalasnya (dengan yang lebih baik). Sementara, bagi yang tak mempunyai sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia berterima-kasih kepada si pemberi dan berdoa semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.

Nabi Saw menerima hadiah, kecuali pada keadaan-keadaan tertentu. Misal, Nabi Saw menolak hadiah yang berasal dari seseorang yang bermotifkan mengharap (bahkan menuntut) balasan yang lebih banyak. Jadi, Nabi Saw menolak hadiah jika beliau khawatir akan ada fitnah yang disebabkan olehnya.

 Ada kisah menarik terkait Umar bin Abdul Azis Ra. Dia, dalam sejarah Islam, disebut-sebut sebagai khalifah terbesar kelima setelah Khulafaur Rasyidin. Dalam bahasan ini, diketahui bahwa Umar bin Abdul Azis Ra menolak hadiah. 

“Wahai Amirul Mukminin, mengapa Anda tidak menerima hadiah? Bukankah dulu Rasulullah Saw menerima,” tanya seseorang.

“Sesungguhnya pemberian di masa Rasulullah Saw adalah hadiah, tetapi pemberian itu kini telah menjadi suap,” jawab Umar bin Abdul Azis Ra.

Dengan jawaban itu, Umar bin Abdul Azis Ra mengisyaratkatkan bahwa situasi telah sedemikian berubah. Kini, banyak orang yang memberi hadiah menuntut hal-hal yang tidak halal dari orang yang diberinya.

Umar bin Abdul Azis Ra telah memilih jalan takwa. Sikap takwa mensyaratkan kehati-hatian, untuk sekali-kali tak melanggar syariat Allah. Hanya dengan sikap seperti inilah, kita insya Allah bisa selamat ketika berada di situasi yang para pelaku kecurangan memiliki banyak modus termasuk yang tersamar.

Saat memilih modus yang tersamar, praktik tercela itu kerap dilunakkan dengan istilah hibah. Padahal, hibah atau hadiah bermakna sama yaitu pemberian. 

Kini, hadiah banyak yang justeru berasal dari pihak yang berposisi “di bawah” ke yang berkedudukan “di atas”. Aliran hadiah itu, misalnya; Dari pegawai ke kepala kantor. Dari karyawan ke direktur. Dari yang dipimpin ke pemimpin.

Selalu berhati-hatilah! Di zaman Nabi Saw, pemberian hadiah yang beraroma suap pun telah terjadi. Marilah kita renungkan hadits riwayat Bukhari-Muslim berikut ini.

Ibnu al-Latiibah bertugas mengumpulkan zakat. Ketika dia datang membawa zakat yang dikumpulkannya, dia berkata: “Ini untuk kalian dan yang ini hadiah milikku.”

Mendengar itu, Rasulullah Saw lalu meluruskan (di hadapan banyak orang): “Jika dia benar, mengapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia diberi hadiah? Demi Allah, tidak ada seorangpun dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa hak kecuali dia bertemu Allah sambil membawa korupsinya itu pada hari kiamat.”

Inti dari riwayat di atas, Nabi Saw menyadarkan kita. Bahwa, tak mungkin si pemungut zakat (baca: pejabat negara) itu akan menerima hadiah jika dia tidak sedang menjabat.

Sungguh, pesan dari riwayat di atas sangat relevan untuk terus kita gaungkan. Tujuannya, agar semua orang tahu bahwa pemberian hadiah dari seseorang/rakyat kepada pemimpin/pejabat (yang sedang berkuasa) tak boleh dilakukan.

Pedoman Kita

Alhasil, mari perkuat pemahaman kita: 1).Saling memberi hadiah memang dianjurkan. Hal itu dapat menguatkan kasih-sayang. 2).Memberi hadiah lebih diutamakan kepada keluarga, karib-kerabat, dan tetangga terdekat. 3).Hadiah yang bertujuan mendapatkan manfaat melalui kedudukan atau hadiah yang berakibat pada penyalahgunaan jabatan untuk mendapatkan apa-apa yang bukan haknya, pada hakikatnya adalah suap. 4).Suap-menyuap benar-benar harus kita hindari, sebab pemberi dan penerima suap akan sangat sengsara karena masuk neraka.

Semoga dengan pemahaman ini, kita menjadi lebih berhati-hati. Selanjutnya, semoga kita tak akan pernah lagi terkesiap melihat keberanian para pelaku suap-menyuap. Hal ini karena mereka telah sadar dan bertobat. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *