Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
dewandakwahjatim.com – Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 menetapkan Visi Pendidikan Indonesia 2035 sebagai berikut: “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Tujuan pendidikan membentuk manusia berakhlak mulia memang sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (3), UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi. Tujuan itu begitu mulia, sejalan dengan misi kenabian, yaitu “menyempurnakan akhlak mulia.” Rasulullah saw bersabda: “Innamaa buitstu li-utammima makaarimal akhlaq.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Syekh Mahmud al-Misri, dalam kitabnya, Mausu’ah min Akhlaaqi Rasulillah Shallallaahu ‘alaihi wa-sallam, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “akhlak mulia” adalah ajaran yang dihimpun dari seluruh ucapan dan perbuatan Rasulullah saw.
Ketika an-Nuwas bin Sam’an bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan dosa, Rasulullah saw menjawab: “Al-birru husnul khuluq, wal-itsmu maa haaka fii shadrika, wa-karihta an-yatthali’a ‘alaihi al-naasu.” (HR Muslim). Jadi, kebaikan (al-birru) adalah akhlak mulia, dan dosa adalah apa yang meresahkan hati manusia dan tidak ingin orang lain mengetahuinya.
Imam al-Ghazali merumuskan, bahwa orang yang berakhlak mulia itu pemalu, tidak suka menyakiti, suka berbuat baik, jujur lisannya, sedikit bicara, banyak bekerja, sedikit salah, tidak berlebihan, baik hati, suka bergaul, berwibawa, penyabar, bersyukur, ridho, bijaksana, pengasih-penyayang, menjaga kehormatan, lemah lembut, tidak melaknat, tidak mencaci-maki, tidak mengadu domba, tidak menggunjing, tidak terburu-buru, tidak iri hati (dengki), tidak bakhil, selalu ceria, cinta dan benci karena Allah, ridho karena Allah, marah karena Allah.
Yusuf bin Asbath menyebut ada 10 tanda akhlak mulia: (1) Jarang berseteru (2) Melayani dengan baik, (3) Tidak mencari kemewahan (4) Memperbaiki keburukan yang pernah dilakukan (5) Mudah memaklumi (6) Menanggung derita (7) Kembali kepada Allah dengan merendahkan nafsu (8) Fokus memperhatikan kekurangan diri, bukan aib orang lain (9) Berwajah ceria pada yang muda atau yang tua (10) Berbicara santun. (Penjelasan lebih jauh tentang akhlak mulia, lihat: Syaikh Mahmud al-Mishri, Ensiklopedi Akhlak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa-sallam, (Jakarta: al-Kautsar, 2019).
Sementara itu, Ibnu al-Haitsam (w. 1038 M), dalam kitabnya, Tahdziib al-Akhlaq, menyebutkan, bahwa tujuan Pendidikan Akhlaq adalah menuntun manusia menuju “manusia sempurna” (al-insān al-tāmm/al-insān al-kāmil). Menurut Ibn al-Haitsam, manusia sempurna biasanya memiliki empat kebajikan utama yaitu: (1) adil (‘adl), (2) berani (shajāʿah), (3) menjaga kesucian (ʿiffah), dan (4) bijaksana (ḥīkmah).
Jika seseorang mengikuti hal-hal baik dan menghindari hal-hal tercela, maka ia akan menjadi manusia sempurna atau al-insān al- tāmm. Manusia yang sempurna adalah manusia yang telah mencapai kebahagiaan hakiki di dunia ini sebagaimana dinyatakan Ibn al-Haytsam: “… maka ia tidak akan lama lagi untuk sampai pada kesempurnaan, dan naik menuju puncak dari keparipurnaan, sehingga ia meraih kebahagiaan insani …” (Ibnu al-Haitsam, Tahdzib al-Akhlaq (Diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Ishaq dengan judul “Pendidikan Akhlak” (Bandung: Ellunar, 2020).
Agama perlu!
Begitulah, dalam Islam, masalah akhlak merupakan ajaran yang sangat penting. Karena itu, kita tidak boleh sembarangan mendefinisikan istilah kata “akhlak mulia”. Tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, akan bisa dicapai jika kurikulumnya memang mengarahkan para pelajar untuk berakhlak mulia.
Kurikulum (curriculum) adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jika jalannya salah, maka tujuan tidak akan pernah tercapai. Merujuk kepada definisi “akhlak mulia” sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dan para ulama, maka kurikulum pendidikan nasional adalah serangkaian proses Pendidikan yang mengarahkan para pelajar menjadi “manusia yang sempurna”.
Kurikulum akhlak mulia itu tidak boleh bertentangan tuntunan Allah SWT, sebagaimana tuntunan dan contoh-contoh dari Rasulullah saw. Jadi, Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, seyogyanya menegaskan peran agama dalam pembentukan akhlak mulia. Jangan sampai ada pemikiran untuk membentuk manusia berakhlak tanpa agama!
Sebab, dengan agama (Islam), maka pendidikan akan diarahkan untuk membentuk manusia yang sempurna. Yakni, manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia; bukan hanya manusia yang punya ilmu dan keahlian tertentu untuk bisa mencari makan.
Bisa mencari makan, itu hal penting. Tetapi, itu baru sebagian kriteria dari kriteria orang yang sempurna. Lebih mendasar lagi, adalah “membentuk manusia yang baik”. Inilah yang dirumuskan oleh Prof. Syed Muhammad Naqib al-Attas: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to produce a good man.”
Para ulama mendefinisikan akhlak sebagai “sikap jiwa yang kokoh yang melahirkan perbuatan tanpa dipikir lagi.” Jadi, akhlak adalah kondisi jiwa. Karena itu, kurikulum pendidikan yang terpenting adalah “pensucian jiwa” (tazkiyyatun nafs). Maka, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya! Bagi kaum muslim, tujuan mulia ini hanya bisa dicapai dengan baik, jika dilandasi kemianan yang kuat berdasarkan ajaran agama Islam.
Muatan kurikulum pendidikan terpenting adalah proses pensucian jiwa manusia-manusia Indonesia, agar mereka bersih dari aneka penyakit jiwa, seperti: kelemahan, kemalasan, sombong, dengki, riya’, ujub, bakhil, dan sebagainya. Dan penyakit jiwa yang sangat merusak adalah penyakit “hubbud-dunya” (cinta dunia), seperti cinta jadi gubernur, bupati, camat, rektor, dekan, ketua Ormas, dan sebagainya.
Cinta jabatan, harta, popularitas dimasukkan kategori “penyakit jiwa”, sebab manusia yang jiwanya sehat, pasti yakin bahwa semua nikmat di dunia akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar kekuasaannya, maka semakin berat pula tanggung-jawabnya di akhirat. Semakin banyak harta dan istrinya, maka semakin rumit proses laporannya di akhirat.
Maka, aneh, jika ia mencintai semua yang akan memberatkannya di akhirat. Tetapi, jika jabatan itu mampu dia gunakan untuk kebaikan, maka jabatan itu akan menjadi jalan untuk mengantarkannya ke sorga.
Karena itu, tidaklah sehat jiwa seseorang, jika ia menggunakan segala cara untuk berkuasa, dan kemudian ia berbangga-bangga sebagai pejabat negara, pemimpin kampus, atau pemimpin Ormas. Amanah kepemimpinan itu begitu berat. Jika ia berbuat salah dan diikuti oleh banyak orang, maka ia akan menanggung dosa seluruh orang yang mengikutinya.
Jadi, sangatlah berat amanah yang diemban oleh Menteri Pendidikan atau Menteri Agama dalam membuat kebijakan tentang Pendidikan Nasional. Upaya membentuk manusia yang sempurna, hanya bisa tercapai dengan panduan ajaran agama. Inilah keyakinan setiap muslim
Maka, sangatlah tepat, imbauan Ketua Muhammadiyah, Prof. Haedar Nasir, agar kata “agama” ditegaskan dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035.
Karena itu, visi Pendidikan Nasional dalam Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 sebaiknya direvisi menjadi: “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, budaya Indonesia, dan Pancasila.” (Sudono/ed)
(Semarang, 9 Maret 2021).