NKRI PERJUANGAN TOKOH MASYUMI

NKRI PERJUANGAN TOKOH MASYUMI

Judul Buku             : Mosi Integral Natsir 1950
Penulis                   : Ahmad Murjoko
Penerbit                 : Persis Pers, April 2020
Jumlah halaman    : 224 hal.
 
dewandakwahjatim.com – NKRI harga mati. Kalimat pendek ini acap kita dengar akhir-akhir ini. Terutama saat ada demonstrasi atau slogan kelompok masyarakat tertentu. Sayang sekali, ungkapan itu hanya sebatas pemanis  di bibir. Sementara  lakunya justru bertolak belakang. Menebar kebencian dan fitnah. Sangat fragmentaris dan destruktif. Lebih jauh,  tuduhan penuh kebencian secara implisit dan eksplisit itu ditujukan kepada umat Islam. 

Hah ? Tidak tahu sejarah. Lupa sejarah. Atau sengaja menutup sejarah. Semua kemungkinan itu ada karena tujuan politik tertentu. Padahal, faktanya justru NKRI itu karya besar dan monumental tokoh Islam dan Ketua Umum Masyumi M. Natsir. Tonggak batu sejarah itu disampaikannya dalam Sidang DPR RIS pada 3 April 1950.
Usulan mana setelah disetujui dan ditetapkan 15 Agustus 1950 dalam rapat gabungan DPR RIS dan Senat lebih dikenal dengan Mosi Integral Natsir. Membutuhkan waktu sekitar empat bulan setengah sampai diumumkan Presiden Soekarno pada Pidato Peringatan Kemerdekaan RI ke-6. 

Inilah titik balik yang tidak boleh dilupakan ; Indonesia Kembali ke RIS yang merupakan negara federal kembali ke negara kesatuan sebagaimana diproklamasikan !7 Agustus 1945.
Kajian penting itu bisa dibaca di buku Mosi Integral Natsir 1950 yang merupakan tesis intelektual muda Ahmad Murjoko di Universitas Indonesia.

Karya sejarah ini sarat dengan data dan fakta yang melatari sebelum dan sesudah peristiwa bersejarah itu. Termasuk dielaborasi dalam satu bab tentang sosok Natsir dan pemikiran politiknya yang  banyak mencerminkan gagasan demokrasi dipadukan dengan pemahaman Islam modernis (hal 23-42).
Dosen berbagai PTS di Jakarta itu mencoba mendeskripsikan sekurangnya ada 5 alasan dasar Natsir.

Pertama, susunan Negara Indonesia pertama kali sebagaimana diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan termaktub dalam UUD  1945 adalah berbentuk kesatuan. Kedua, mosi ini oleh Natsir dijadikan strategi untuk menghadapi politik devide et impera Belanda. Seperti diketahui Indonesia  pasca perjanjian Linggarjati, KMB, dan Renville dipecah menjadi 16 negara bagian.
Ketiga, mencegah berbagai  gerakan separatis di berbagai bagian wilayah.

Keempat, melanjutkan program kabinet-kabinet sejak proklamasi tentang negara kesatuan. Sampai 1950 sudah ada 12 pergantian kabinet parlementer. Kelima, melanjutkan gerakan Negara Kesatuan. Kepiawaian Natsir  dalam menjalankan komunikasi politik rupanya telah berhasil membulatkan tekad DPR RIS menyetujui usulannya. Termasuk musuh bebuyutannya, Sakirman dari Fraksi PKI (hal 83).

Yang  menarik di dalam buku ini adalah kajian penulis cukup komprehensif. Dikutip sebagian besar pidato Natsir di parlemen dan pandangan-pandangan 8 fraksi.  Semuanya menerima dengan penuh, kecuali Fraksi PKI yang memang dalam AD ART partainya tidak pernah mencantumkan komitmen bentuk negara.

Karena itu dalam konteks bentuk negara  fraksi komunis ini tidak secara eksplisit menyetujuai atau menolak usulan Natsir.
Hal lain yang mendapat perhatian di sini adalah dampak yang luar biasa dari keputusan pemerintah yang akhirnya kembali menjadi negara kesatuan alias NKRI. Ke-16 negara bagian membubarkan diri secara berangansur-angsur sampai yang terakhir Negara Indonesia Timur.
Langkah ini juga diikuti pembetukan negara kesatuan, perubahan konstitusi, dan perubahan sistem pemerintahan (hal 160).

Dari kajian sejarah ini makin jelas betapa komitmen negara kesatuan bagi umat Islam bukan lagi soal keyakinan, tapi sudah diamalkan dan diperjuangkan. Sangat berlawanan dengan tuduhan berbisa selama ini. Dalam bahasa Prof Din Syamsudin, salah satu endorser. “Mosi Integral Mohammad Natsir, walau nyaris terlupakan, merupakan bukti komitmen tokoh-tokoh Islam terhadap NKRI. Jangan sekali-kali melupakan sejarah ; Jasmerah.”

Penulis mengakui menggali sejarah ini tidak mudah. Terutama mendapatkan dokumen primer. Mantan pengurus PB PII (1993-1997) ini juga mengaku kesulitan mendapatkan akses ke Perpustakaan Nasional karena menurut pimpinannya  arsip Natsir “masih dinamis”: sehingga belum diberi jalan. Tidak jelas apa maksudnya ? Yang pasti penerbitan fakta sejarah ini  agak terlambat, karena tesis 2004. Setelah mendapat dorongan banyak pihak baru disunting lagi menjadi sebuah buku yang bernas tahun ini. Jasmerah ! (sudono/ed)
 
AINUR RAFIQ SOPHIAAN

Wakil Ketua Bidang Kaderisasi DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *