Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi (Bagian 2)

Oleh: Bukhori At-Tunisi

-Alumni Ponpes -Ar-Rouflotul llmiyah, Kertosono, Ngamjuk, Jatim
-Prnulis Buku Teologi Ibnu Taimiyah

Rasulullah pernah ditanya sahabatnya, “Apa yang dapat membuatku masuk Surga?” Nabi menjawab, “Shalatlah tepat waktunya!” jawaban Nabi sederhana, cukup shalat tepat waktu. Persyaratannya tidak membebani, dan tidak menyulitkan. Tidak menjawab dengan seolah-olah Surga menjadi dominasi person, kelompok, dan golongan tertentu.

Dalam hadits diceritakan, ada tiga orang yang merasa paling suci karena perilaku religinya, namun Nabi menolak perilaku tersebut, malah Nabi menyatakan, “Saya orang yang paling takwa di antara kalian, tapi aku menikah, berbuka, dan tidur malam.”

Orang tidak harus menjadi pertapa agar menjadi shalih, orang tidak harus puasa wishal (terus-menerus) tanpa berbuka untuk menjadi muttaqin; orang tidak harus menjadi “bujang” terus-menerus untuk menjadi orang baik. Ternyata alami saja, menurut fithrah basyariyah (makhluk biologis dan insaniyah (makhluk spiritual).

Dalam Islam, manusia baru dibebani “kewajiban” (taklif) saat sudah mukallaf (dewasa). Saat belum mukallaf, belum dikenai hukum taklif. Orang bisa disebut mukallaf, jika telah memenuhi syarat, yaitu:

  • Baligh (dewasa, sudah cukup umur).
    Anak-anak yang belum dewasa/baligh, tidak dikenakan kewajiban taklifi, karena ia belum mampu secara fisik.
  • Mampu berpikir (aqil).
    Orang yang mampu berpikir sehat saja yang dikenakan hukum taklif. Orang yang tidak sehat akalnya, tidak dikenakan hukum taklif. Karena itu orang gila tidak dikenai hukum taklifi, karena tidak memiliki kemampuan berfikir rasional. Orang lupa juga tidak dikenai hukum taklifi, karena tidak ingat kewajibannya. —ingat! Bukan pura-pura lupa, atau sengaja lupa–, begitu juga orang yang tertidur, tidak dikenai hukum taklifi.
  • Muslim.
    Non muslim tidak dibebani taklif, misalnya shalat, karena Shalat hanya dibebankan kepada orang Islam. Namun dalam hukum social dan negara, posisinya sama.

Manusia yang sudah siap menerima taklif (beban syar’i, beban kewajiban), yang belum siap, belum dibebani. Anak-anak yang belum mukallaf, meskipun memiliki kecerdasan yang luar biasa, tidak disebut sebagai mukallaf, karena belum sampai umurnya, dia hanya disebut sebagai mumayyiz, anak yang memiliki keistimewaan, karena sudah mampu berfikir logis, mampu membedakan (mumayyiz) yang benar-saah, baik-buruk, science-knowledge, dst. Jika sudah mukallaf namun ada udzur yang menyebabkan perintah Allah tidak mampu dilaksanakan, ada keringanan dari Allah, hingga mampu melaksakan perintah tersebut menurut kadar yang ditentukan Allah.

لا يكلف نفسا الله الا وسعها

(Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya)

وان كان ذو عسرة فنظرة الى ميسرة

(Jika ada kesulitan, maka diberi kesempatan hingga memperoleh kemudahan)

B. Takhfif Fiqhi

Istilah takhfif (تخفيف) dipergunakan untuk memperkenalkan isltilah lain dari istilah yang sudah popular di dalam fiqih maupun Ushul Fiqih yaitu rukhshah (رخصة). Istilah lain yang bisa digunakan adalah taisir (تيسير). Ketiga-tiganya digunakan, namun berbeda dalam tingkat popularitasnya, walau menunjuk pada esensi yang sama.

Istilah takhfif (تخفيف) misalnya, diambil dari firman Allah QS. Al-Nisa’: 28:

يريد الله ان يخفف عنكم و خلق الإنسان ضعيفا

(Allah menghendak keringanan atas kamu, dan menciptakan manusia dalam keadaan lemah). (Qs. Al-Nisa’: )

يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر

(Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tiada menghendaki kesulitan). (QS. Al-Baqarah: 185)

Dalam satu hadis, Nabi bersabda:

يسروا ولاتعسروا

“Permudah!, dan jangan mempersulit!” (HR. Bukhari)

Mengapa ada keringanan buat manusia? Bagaimanapun kuasa dan perkasa fisiknya, manusia tidak mungkin terbebas sama sekali dari kelemahan dan sakit secara fisik. Fir’aun yang hidup sezaman Nabi Musa, memiliki kekuasan politik tak terbatas, bahkan mengaku sebagai tuhan, meninggal oleh air, barang yang dianggap lemah dan tak berharga[?], “tuhan” mati tenggelam di laut, terseduk air.

Manusia secerdas apapun dan sealim apapun, pasti ada yang belum diketahuinya, terkadang lupa dan melakukan kesalahan, walaupun tidak disengaja. Setingkat Nabi yang maksum, pernah lupa jumlah rakaat yang dilaksanakan. Nabi juga pernah shalat shubuh kesiangan bersama sahabatnya karena tertidur. Namun lupa dan ketertidurannya Nabi, menjadi hukum syar’i.

Umar ibn Khattab, sahabat Nabi yang sangat dekat dengan Rasulullah, pernah tidak tahu apa itu arti “Abba” [dalam QS. ‘Abasa: 31]. Ibn Abbas yang dikenal sebagai faqih dan Mufassir, pernah mengatakan baru faham makna “fathara” saat ada orang Arab badui yang bertengkar karena memperebutkan sumur dengan tetangganya, dengan menyebut, “Ana fathartuhu”. (Aku yang pertama kali membuat [sumur]).

Rasulullah Saw. Pernah bersabda: “Manusia itu tempatnya salah dan lupa.” Namun hal itu bukan untuk menjustifikasi kesalahan dan untuk selalu berbuat salah, ataupun selalu lupa apa yang tersimpan dalam ingatan.

Manusia tempatnya lupa tidak berarti dia tidak punya daya ingat. Orang yang hafal al-Qur’an, manakala tidak menjaga hafalannya, misal jarang murajaah (membaca berulang-ulang), bisa banyak lupa hafalannya. Diantara ulama terdahulu, kita mengenal umpanya Imam Syafi’i, yang cepat hafal dari apa yang beliau dengar. Al-kisah, Imam Syafii kecil, dari Palestina pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu, telinganya ditutupi, karena takut apa yang diucapkan orang saat diperjalanan dihafalkan semua. Imam Syafii juga pernah mengadu kepada gurunya, Imam Waki’, karena sulit menghafal. Kata Imam Waki’, “Tinggalkan perbuatan maksiat!”

Imam al-Bukhari yang hafal ratusan ribu hadis, bila ada hadis yang tidak diketahui beliau, keasliannya dipertanyakan. Itu pun tak luput dari kritikan muridnya sendiri, yaitu Imam al-Tirmidzi tentang perawi hadits.

Manusia berpotensi untuk lupa karena banyak hal, umur, informasi yang menumpuk, atau persoalan keseharian yang membuat tidak dapat berkonsentrasi penuh. Oleh karena itu Rasulullah Saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah mengampuni (dosa atau kesalahan) umatku yang timbul karena tiga hal: ketidak sengajaan (al-khatha’), lupa dan keterpaksaan.” Hadis tersebut menegaskan bahwa ampunan diberikan atas kesalahan-kesalahan yang  tidak disengaja, lupa, atau terpaksa. Sebab yang berada di luar kemampuan manusia.

Takhfif fiqhi keringan yang bersifat fiqih, bisa disebabkan kelemahan manusia yang bersifat fisik dan kelemahan yang bersifat jiwa, ruhani. Yang bersifat fisik-jasmani, misalnya lelah, capek, karena musafir, atau kerja berat; lapar karena belum makan, atau kerena tidak ada yang dimakan. Lemah ruhani, misalnya lupa. Seseorang tidak bisa mengelak bila suatu saat apa yang pernah dilihat, didengar, dihafalkan, ataupun lainnya, lupa dari ingatan.

Takhfif fiqhi tidak menyebabkan seseorang keluar dari iman atau tauhid, bila terjadi rukhsah akibat terjadi pengurangan (تنقيص), penggantian (ابدال), mendahulukan (تقديم), mengakhirkan (تأخير), atau gugur (اسقاط).

Orang yang melakukan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir, tidak mendegradasi seseorang menjadi kafir atau munafiq. Orang yang tidak mampu puasa karena tua, lalu diganti dengan membayar fidyah, tidak menjadikan seseorang turun derajatnya dari muslim menjadi kafir.

Berbeda dengan rukhsah teologis, tujuannya untuk menjaga orang mukmin tidak jatuh kepada ke-kufur-an. Rukhsah atau takhfif fiqhi, walaupun diambil atau tidak diambil kerukhsahannya, tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir.

Banyak kalangan yang enggan mengambil rukhsah karena sikap hati-hati (ikhtiyath) tidak terjatuh kepada meng-enteng-kan agama, atau meremehkan syariat agama. Pada kalangan ini, mereka sering meributkan kenapa seseorang mudah misalnya melakukan shalat jama’ taqdiam atau jama’ ta’khir, padahal di rumah, atau di kampung halaman, hanya sekedar terjadi hujan, atau ada acara tertentu; atau sering meremehkan seseorang yang bepergian sejauh ± 3 farsyah? Sudah mengqashar shalat. Namun mereka yang tidak mau mengqashar shalat tersebut, di rumah terkadang sering tidak menunaikan kewajiban shalat, dengan alasan: Waktu shalat sudah habis. (Bersambung)

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *