Hak Angket dan Perjuangan Menegakkan Etika Bernegara

Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Ketua Bidang MPK DDII Jatim

Dewandakwahjatim.om, Depok – Wacana “Hak Angket” merupakan bentuk dari balas dendam pihak yang kalah dalam Pemilu 2024 (Fahri Hamzah) (https://www.youtube.com/watch?v=Q9I4BI281I4)
Hak Angket
Pernyataan Fahri Hamzah merupakan respon negatif atas dorongan berbagai pihak kepada DPR untuk menggunakan “Hak Angket.” Hal ini seiring dengan gelombang dukungan untuk membongkar dugaan praktek kecurangan dalam Pilpres 2024. Pihak pro hak angket menekan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar segera merespon dan menetapkan hak istimewa untuk membuktikan adanya praktek politik menghalalkan segala cara. Sementara perlawanan untuk menghentikan gelombang dukungan atas hak angket juga sangat kuat. Narasi adanya kekacauan dan konflik berkepanjangan bila hak angket terlaksana, terus disuarakan. Publik menginginkan Pilpres bersih, tanpa kecurangan sehingga tidak layak munculnya narasi-narasi buruk, yang justru menghalangi terwujudnya etika bernegara yang demokratis.

Adanya dugaan kecurangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) menunjukkan bahwa etika bernegara sudah terkoyak. Kecurangan yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM) telah menjadi opini publik. Hal ini dikatakan oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, dalam keterangan resmi, Jumat (23/2/2024). Dia menilai bahwa langkah politik PDI Perjuangan, Nasdem, PKB dan PKS yang mendorong penggunaan hak Angket atau Interpelasi merupakan Langkah yang tepat, urgen, strategis dan konstitusional. Hal ini disebabkan oleh karena tidak semua bentuk pelanggaran Pemilu dan tidak semua pelaku dan korban pelanggaran Pemilu (Pilpres), kasusnya dapat diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi (MK).

Di pihak lain, mengarahkan kepada MK bila terjadi kecurangan terus disuarakan, di antaranya Yusril Ihza Mahendra. Dia mengatakan bahwa penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini dalam ketidakpastian. Hak angket yang kini diusulkan untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, berpotensi menimbulkan chaos atau kekacauan. Dengan kata lain, penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Pakar hukum tata negara sekaligus anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meyakini bahwa pihak yang kalah pilpres seharusnya mencari penyelesaian ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan menggunakan hak angket DPR.

Selaras dengan Yusril, Jimly juga mengingatkan, anggota DPR harus memahami batas-bataskewenangannya. Jangan sampai melebar dan jadi bola liar. ”Tidak melebar kepada isu-isu liar seperti pemakzulan presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP.” Dia menunjukkan bahwa bilamana hak angket dijalankan, dikhawatirkan jadual ketatanegaraan terganggu.

Bahkan Muzani, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, menilai bahwa usulan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan di Pemilu 2024 tak diperlukan. Kalau pun ada kekurangan tersebut, merupakan hal biasa, dan hal itu bisa diperbaiki. Secara umum dia mengatakan bahwa Pilpres berlangsung baik, dan damai.
Narasi buruk atas tuntutan hak angket bukan hanya menunjukkan rendahnya merespon suara rakyat yang menginginkan tegaknya demokrasi, tetapi juga hilangnya etika dalam mengelola praktek bernegara. Kalau para penghadang laju hak angket mau jujur dan terbuka, mestinya mereka membuka kanal dan bersinergi untuk membongkar kecurangan secara bersama-sama. Namun publik menjadi ragu karena para pelaku kecurangan telah bersatu dengan pihak-pihak yang tergabung dalam Paslon 02. Sebagaimana diketahui bahwa Paslon 02 merupakan pihak yang menikmati situasi ini, sehingga tidak menginginkan lolosnya hak angket.

Apa yang dinarasikan dalam film “Dirty Vote” benar-benar sebagai jawaban atas adanya praktek kecurangan Pilpres 14 Pebruari 2024, yang dilakukan secara TSM. Dalam film sepanjang 1,57 jam ini dibongkar pengelolaan bernegara yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Mobilisasi massa, politisasi birokrasi, dan praktek politik uang telah terafirmasi dalam pengelolaan negara untuk mewujudkan politik dinasti yang dilakukan oleh rezim ini secara kasat mata.
TNI-Polri yang seharusnya sebagai peralatan negara telah dimanfaatkan untuk mendukung kekuasaan. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dijadikan sebagai boneka untuk memuluskan jalan kebijakan rezim ini. bahkan lembaga-lembaga survei telah dicurigai sebagai stempel untuk memenangkan Capres-Cawapres yang diusung oleh rezim ini.

Adapun tuduhan bahwa mereka yang menuntut hak angket adalah orang-orang yang kalah dan dendam politik, merupakan pandangan pihak-pihak yang menutup mata atas terjadinya berbagai dugaan kecurangan. Ketidakpercayaan terhadap MK merupakan puncak gunung es atas hilangnya trust terhadap para penyelenggara negara. Penolakan jalur MK sebagai jalur penyelesaian sengketa, disebabkan track record MK yang telah berubah menjadi alat politik bagi rezim ini.
Kontestasi antara yang mendorong dan menolak penggunaan “Hak Angket” memang sulit didamaikan. Hal ini disebabkan satu pihak tidak percaya lagi terhadap penyelenggara negara sehingga menolak jalur MK bila terjadi sengketa Pilpres. Mereka lebih memilih menggunakan hak angket. Sementara pihak lain yang pro-rezim mendorong untuk menggunakan MK karena institusi ini dipandang sah dan diakui negara.
Usulan hak angket bukan sebagai bentuk balas dendam karena kalah, tetapi sebagai upaya untuk menegakkan etika bernegara. Kepemimpinan yang tidak dibangun di atas landasan etik, maka kebijakan-kebijakannya akan menabrak tatanan dan etika bernegara. Kecurangan yang terjadi dalam Pilpres 2024 tidak mungkin terjadi kecuali karena hilangnya penghormatan terhadap kejujuran dan ketidakadilan.

Surabaya, 5 Maret 2024

Admin: Kominfo DDII Jatim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *