Artikel ke-1.747
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dewandakeahjatim.com, Depok – Dalam bukunya, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999), Dr. Ratna Megawangi memaparkan data, bahwa wanita-wanita Jepang, sangat berbahagia dengan kehidupan mereka sebagai ”ibu rumah tangga.” Hasil survei The Economic Planning Agency di Jepang tahun 1992 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen perempuan menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas utamanya.
Hasil polling kantor Perdana Menteri Jepang pada tahun yang sama juga menunjukkan, 90 persen perempuan Jepang menganggap pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci adalah tugas perempuan. Survei itu juga mengungkapkan, sebagian besar perempuan Jepang menyatakan, perempuan sebaiknya tinggal di rumah sampai anaknya masuk sekolah dasar. Dengan pendapat seperti itu, ternyata, wanita Jepang mengaku bahagia. Hasil survei Nihon Keizai Shimbun tahun 1993 menunjukkan, 86,2 persen perempuan Jepang mengaku puas dengan kehidupan perkawinannya.
Karena itulah, Dr. Ratna mengkritik pandangan yang merendahkan aktivitas perempuan sebagai ibu rumah tangga. Perempuan tidak harus dipaksa aktif di ruang publik agar bisa dikatakan maju dan sukses. Konsep dan gerakan kesetaraan gender yang mengukur kemajuan dari keberadaan peran perempuan di ruang publik adalah berlebihan.
Ratna Megawangi menggambarkan kerancuan konsep dan gerakan kesetaraan gender ini: ”Jika perhatian dan kehormatan yang diberikan kepada setiap manusia sesuai dengan konteksnya, maka dambaan kaum egalitis, feminis terutama agar wanita mendapatkan lot yang sama dengan pria, dapat menjadi suatu dambaan yang mendatangkan ketidakadilan. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa kaum feminis yang didukung oleh UNDP, ingin agar jumlah wanita yang menjadi anggota DPR harus sama dengan pria. Konsep ini akan adil bagi wanita yang mempunyai ambisi menjadi politikus, tetapi merupakan konsep yang tidak adil bagi mereka yang tidak berambisi sama sekali. Dalam praktiknya, konsep ini dituangkan dalam kampanye feminis untuk membebaskan perempuan dari ”penjara rumah tangga”. Karena memang menurut mereka faktor biologis yang mengantarkan wanita ke ”penjara rumah tangga” dapat menghalangi para wanita untuk berkiprah setara dengan pria di sektor publik. Para feminis ingin mengubah pandangan masyarakat terhadap pekerjaan domestik. Bahwa peran wanita sebagai ibu rumah tangga adalah peran yang ”merampok hidup perempuan”, ”perbudakan perempuan”, dan sebagainya.”
Konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan semacam ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Seyogyanya kaum Muslim memberikan perhatian yang serius. Gegap gempitanya kampanye kesetaraan gender di Indonesia saat ini yang didukung oleh kekuatan dana internasional yang sangat besar memiliki tujuan yang jelas: mendekonstruksi konsep keluarga dan masyarakat Muslim.
Maka, adalah sangat ajaib, jika kemudian ada aktivis organisasi Islam dengan bersemangat mengembangkan ajaran dan program ini, nyaris tanpa kritis. Bahkan, beberapa diantaranya secara khusus menyerukan agar perempuan membebaskan diri pemahaman-pemahaman keagamaan yang menurut mereka telah membelenggu dan menempatkan mereka di bawah hegemoni laki-laki.
Seorang Muslimah biasanya bahagia dengan aktivitas mengelola rumah tangga, mencuci baju suami dan anak-anaknya, membersihkan rumah, dan sebagainya. Dia meyakini semua pekerjaan itu bernilai ibadah, sehingga dia bahagia menjalaninya, meskipun mungkin saja dia harus menjalankan peran ganda sebagai seorang profesional.
Dengan konsep ”kesetaraan sekular” yang mencoba menghapus ”peran ganda” tersebut, maka perempuan diajak untuk memberontak. Pekerjaan ”melayani suami” dianggap sebagai pekerjaan hina yang merupakan bentuk penindasan laki-laki atas perempuan.
Islam menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama sebagai hamba Allah SWT. Tetapi, mereka diberi peran yang berbeda dalam berbagai hal. Laki-laki berkewajiban mencari nafkah, mencari ilmu, dan berdakwah. Perempuan tidak wajib mencari nafkah, tetapi tetap wajib mencari ilmu dan berdakwah.
Tetapi, Islam adalah agama yang adil. Islam tidak melarang perempuan bekerja. Syaratnya, mendapat ijin orang tua atau suaminya. Setelah menikah, perempuan memang wajib mentaati suaminya. Ini bukan bentuk penindasan atau subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Tetapi, ini adalah konsep pembagian tugas secara adil, sesuai dengan ketentuan Sang Maha Pencipta. Dan di akhirat nanti, masing-masing akan mempertanggungjawabkan tugas dan perannya masing-masing. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 17 Desember 2023).
Admin: Kpmonfo DDII Jatim/ss