PENINDASAN PEREMPUAN DI ERA KAPITALISME

Artikel ke-1.745
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Tahun 2004. UGM Yogyakarta meluluskan sebuah Tesis S2, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, karya Kasiyan, (Yogya: Ombak, 2008).
Deborah Lupton, dalam bukunya, Medicine as Culture: Illness, Disease and The Body in Western Societies (1994), seperti dikutip Kasiyan, mengungkapkan, bahwa tubuh perempuan dalam media massa menjadi alat yang sangat penting dalam berbagai proses sosial ekonomi, guna memberikan daya tarik erotis berbagai produk. “Di negeri kami, tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan paha sudah dijatahkan buat biro iklan dan wartawan,” tulis budayawan Ariel Haryanto.

Menganalisis begitu dominannya pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan, dalam Tesisnya itu, Kasiyan mencatat, “… maka setiap potensi micro desire yang ada pada tubuh dan diri perempuan, telah dimanipulasi serta dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga menjadi tanda-tanda, dan akhirnya menjadi objek komoditas.”
Lalu, mengutip, pendapat Piliang (1998), ia paparkan, “Di sinilah para kapitalis lewat salah satu mesin provit-itas terefektifnya, berupa iklan di media massa, akhirnya mengejawantahkan dirinya menjadi seperti sesosok ‘mucikari’, yakni menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido publik, demi mendapatkan nilai tambah yang sebesar-besarnya secara ekonomis.” (Kasiyan, 247-248).

Era industrialisasi kapitalistik yang menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi berusaha mengakitkan segala objek kecantikan dengan konotasi seksual. Lihatlah, begitu banyak perempuan cantik dan seksi dijadikan sebagai simbol produk-produk yang sama sekali tidak ada terkait dengan tubuh perempuan. Iklan ban mobil, cat pembersih mobil, ban mobil, cat dinding, dan sebagainya dipaksakan dibintangi iklannya oleh perempuan seksi. Artinya, segala sesuatu harus diseksualkan dan dikaitkan dengan libido.
Komodisikasi nafsu libido dalam bentuk pengendalian organ-organ tubuh perempuan untuk kepentingan pasar, telah mengakibatkan keberadaan perempuan sebagai sesosok insan – dalam istilah Michel Foucault dalam buku The History of Sexuality (1990) – yang mengalami “the death of reality”. Sebagai subjek, ia telah mati, karena dikendalikan oleh ideologi pasar. (Kasiyan, 249).

Dalam tesisnya, Kasiyan melukiskan fenomena tersebut: “… ketika perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa disadari, akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang didominasi oleh budaya patriarkhis. Pada sisi lain, untuk memenuhi tuntutan tubuh yang harus selalu tampak muda, segar, mulus, montok, menggairahkan, serta sederetan kualitas kesan citra artifisial lainnya tersebut, ia (perempuan) akhirnya menjadi korban stadium lanjut berikutnya, dari sistem kapitalisme… padahal dibalik semua itu, eksploitasi terhadapnya nyaris bersifat total, sehingga tubuh perempuan akhirnya terjerumus ke dalam apa yang dikatakan oleh Foucault, menjadi semacam power machinery yang harus selalu dieksplorasi, dibongkar, dan dirombak ulang. Bukankah perempuan akan selalu memeriksa dandanannya berkali-kali di setiap saat, hanya untuk sekedar melihat, misalnya, apakah alas bedak dan lipstiknya masih lengket atau mascara-nya sudah rusak. Oleh karena itu, di bawah kuasa ideologi patriarkhi yang terefleksi dalam representasi iklan di media massa tersebut, tubuh perempuan dieksploitasi secara sistemik, hanya untuk semata-mata menghadirkan dan memberikan gairah kenikmatan (jouissance).” (Kasiyan, 275-277).

Bisa dipahami, di alam “hegemoni syahwat-kapitalistik”, kecantikan perempuan menjadi komoditas tinggi untuk dijual. Sebagian ilmuwan menyebut “kecantikanisme” justru menjadi alat ampuh untuk mengendalikan perempuan. Perempuan cantik adalah objek yang menggiurkan untuk dijual para “mucikari kecantikan”. Ironisnya, kini, bisnis kapitalis itu dikemas dengan kata-kata indah “demi kepentingan bangsa”.

Dalam buku “The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women”, Naomi Wolf mengemukakan, bahwa tekanan untuk senantiasa menjadi cantik telah menjadi sebentuk control efektif bagi budaya kontemporer untuk mengendalikan perempuan. Lebih jauh lagi, Mary Wollstonecraft dalam “Vindication of The Rights of Woman” (1972), menyatakan, perempuan seringkali sebagai budak ‘kecantikan’, untuk dilihat, dipuja, dan ditinggikan laki-laki, namun tidak sederajat dalam hak dan kekuasaan. (Kasiyan, 280).

Untuk membuat membangun imajinasi tentang keabsahan derajat kecantikan perempuan, maka dibuatlah aneka kontes kecantikan, seperti miss ini miss itu dan sebagainya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr.Daoed Joesoef, memberikan kritik keras terhadap acara kontes-kontes ratu kecantikan, seperti ditulis dalam memoarnya “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).

Ia mencatat: “… setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?” (Depok, 15 Desember 2023).

Admin: Kpmimfo DDII Jatim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *