19 ANAK MUDA PEMBERANI PENDOBRAK TRADISI

Artikel Terbaru (ke-1.654)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Solo - lnilah 19 anak muda pemberani, pendobrak tradisi. Mereka adalah mahasiswa baru Angkatan ke-3, Kelas Jurnalistik dan Pemikiran Islam STID Mohammad Natsir. Saya menyebut “pemberani”, karena mereka berani memilih jalan hidup yang tidak biasa. Mereka berpikir dan memilih jalan “sukses” yang berbeda dengan banyak anak muda lainnya.

Konsep “sukses” dalam pendidikan di kampus ideal adalah sukses dunia-akhirat. Bahkan, sukses akhirat lebih diutamakan. Sukses dunia jangan ditinggalkan. Menjadi dai atau guru – yang mengajak manusia kepada kebaikan – adalah aktivitas terbaik yang dilakukan seorang hamba Allah. (QS Fusshilat: 33).


Karena itulah, ke-19 anak-anak muda itu berani memilih kuliah di Kampus Dakwah yang oleh banyak orang dianggap tidak bergengsi dan tidak prospektif untuk mendapatkan lapangan kerja yang menghasilkan banyak uang. Bahkan, di sejumlah Perguruan Tinggi Islam, kuliah jurusan ilmu dakwah atau jurusan ilmu pendidikan sangat kurang diminati, meskipun sudah dimurahkan biayanya atau digratiskan. Tapi, opini seperti itu tidak berlaku bagi 19 anak-anak muda yang memilih kuliah di Kelas Khusus STID Mohammad Natsir.


Pada awal September 2023 lalu, 19 anak muda menjalani program MASTAMA (Masa Taaruf Mahasiswa) di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir. Di era disrupsi, komunikasi adalah salah satu keahlian yang sangat diperlukan untuk berkiprah di era disrupsi, disamping critical thinking, creativity, and collaboration. Kemampuan komunikasi merupakan syarat mutlak bagi kader-kader pemimpin umat di masa mendatang. Menurut rektor STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji, bahwa STID Mohammad Natsir bukan sekadar lembaga pendidikan tapi juga kaderisasi dai berbasis iman, taqwa, dan akhlak mulia.
Di kelas khusus ini, para mahasiswa dididik lahir batin dan profesonalitas mereka dalam memahami masalah umat dan bangsa, serta bagaimana mencarikan solusinya. Jiwa dan raganya dilatih agar beradab. Pemikirannya diisi dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Dalam perspektif pendidikan, STID Mohammad Natsir sejatinya telah memenuhi kriteria “Universitas yang sebenarnya” dalam Islam. Sebab, di sinilah mahasiswa dididik menjadi manusia sempurna (al-insan al-kulliy). Mereka dididik menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan berguna bagi sesama.
Dan kini, zaman memang telah berubah! Kita memasuki era disrupsi. Maraknya model pembelajaran online tak terhindarkan lagi. Informasi dan ilmu pengetahuan melimpah ruah di dunia internet. Di era seperti ini, yang utama dicari adalah kampus yang mengutamakan pembentukan kepribadian yang unggul, berdasar iman, taqwa, dan akhlak mulia. Jangan sampai kita terlambat sadar!


Pada 12 September 2023, saya mengisi acara Kuliah Perdana untuk 19 anak muda pemberani itu. Tema kuliah saya: “UNIVERSITAS IDEAL DAN TANTANGANNYA DI ERA DISRUPSI.”  Ada seorang mahasiswa dari 19 mahasiswa itu yang menulis catatan kuliah perdana itu dengan baik. Namanya: Muhammad Nabil Abdurrahman. Berikut ini catatannya yang ia beri judul: RENUNGAN PENDIDIKAN TINGGI KITA (Oleh: M. Nabil Abdurrahman, Mahasiswa Semester I, STID Mohammad Natsir): 
 //Kesalahan dalam cara pandang, kerancuan dalam memaknai istilah-istilah kunci, dan  kekacauan dalam transmisi keilmuan menjadi masalah dalam tubuh masyarakat yang belum banyak disadari. Ketiganya menjadi faktor munculnya 'para pemimpin palsu' yang bertanggung jawab atas banyaknya masalah yang muncul di berbagai lini kehidupan. Di sisi lain, ketiga tantangan tersebut sebetulnya dapat dijawab sekaligus dengan memperbaiki pendidikan. 

Hal tersebut sudah lama diingatkan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam karyanya, Islam and Secularism: “I venture to maintain that the greatest challange that has surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated throught the world by western civilization.”


Ilmu dan pendidikan pada dekade ini menjadi tantangan terbesar. Bukan karena banyaknya orang bodoh, melainkan rusaknya makna yang terkandung dalam ilmu yang disebarkan melalui rahim peradaban Barat.


Di antara tahapan pendidikan, Perguruan tinggi telah kita sadari mengambil peranan yang cukup vital dalam menentukan nasib generasi selanjutnya. Pada tahapan ini, satu generasi dibentuk dan disiapkan untuk menjadi pemimpin di tiap lini dan bidang. Di sisi lain, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyoroti masalah yang ada di perguruan tinggi modern. Al-Attas menegaskan, “The modern university is the epitome of man in a condition of zulm”. Universitas modern yang semestinya menghasilkan para pemimpin yang sepatutnya adil, justru dipandang merepresentasikan kedzaliman.


Allan Bloom, ilmuwan Barat sendiri mengakui, perguruan tinggi modern justru menyuburkan relativisme dan skeptisisme. Memasuki perguruan tinggi, para mahasiswa diarahkan untuk ragu dan membuktikan keyakinannya secara empiris semata. Berseberangan dengan itu, tujuan pendidikan tinggi dalam Islam sudah sepatutnya membentuk ‘manusia sempurna’ atau ‘manusia universal’. Pendidikan Islam bermaksud mengarahkan manusia untuk mendekati sifat-sifat Nabi Muhammad saw. sebagai al-Insan al-Kamil.
Universitas – merujuk makna secara istilah – pada dasarnya bertujuan melahirkan ‘a universal man’. Kuliah mengarahkan mahasiswa untuk menjadi ‘al-insan al-kulliy’. Lebih jelas, Prof. Naquib al-Attas menguraikan, “Seorang (ulama) muslim bukanlah seorang spesialis dalam satu bidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.”


Sudah sangat tepat apa yang telah dirumuskan Syed Naquib al-Attas. Sebab Jacques Maritain, seorang pemikir Katolik terkemuka asal Perancis – seperti disebutkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya, Budaya Ilmu — sekalipun turut mengingatkan, “Pendidikan yang terlalu cenderung ke arah spesialisasi sebenarnya melatih manusia untuk menjadi binatang, sebab binatang memang memiliki keahlian yang sangat khusus dalam suatu bidang tertentu.”


Maka sejatinya pendidikan kita tengah mejumpai persimpangan, hendak mengarahkan manusia menjadi al-Insan al-Kamil seumpama Nabi Muhammad saw., atau melahirkan manusia yang berkeahlian sempit dan cenderung seperti binatang. Wallahu A’lam bish-Shawaab.// (M. Nabil)


Seperti itulah pola pikir rata-rata 19 anak muda pemberani yang diwakili dalam artikel M. Nabil tersebut. Kita doakan untuk kesuksesan pendidikan mereka dan angkatan berikutnya. Sebab, sangat berat usaha utuk melaksanakan program pendidikan tinggi yang ideal di tengah-tengah arus besar sekulerisme-materialisme dewasa ini. Laksana “Perang Badar”, program ini mengharuskan kesungguhan, kecerdikan, kebijakan, dan tentu juga keikhlasan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Solo, 15 September 2023).

Admin: Kominfo DDII Jatim/SS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *