MERDEKA BELAJAR PERLU,TAPI PENDIDIKAN MERDEKA LEBIH PERLU

Artikel Terbaru (ke-1.624)
Oleh : Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah lslamiyah lndonesia

Dewandakwahjatim.com, Madinah- “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan!”


Begitulah rumusan dan gagasan hebat yang digariskan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Kita merdeka, karena kita berani menjadi diri sendiri. Kita berani berpikir merdeka! Sebab, kemerdekaan memang harus dimulai dari merdeka berpikir. Lalu, anak-anak kita harus dididik dengan “Pendidikan Merdeka’ pula. Agar mereka menjadi manusia merdeka.
Karena itulah, para pendiri bangsa kita berani melawan penjajah yang memang menggunakan instrumen pendidikan untuk melestarikan penjajahan. Haji Agus Salim tidak mau menyekolahkan delapan anaknya ke sekolah kolonial. Ciri khas sekolah kolonial adalah menanamkan sikap rendah diri pada orang jajahan. Haji Agus Salim memilih mendidik sendiri anak-anaknya di rumah!


Ki Hadjar Dewantara emoh membebek pada model sekolah kolonial. Ia tidak membuat sekolah. Tapi, mendirikan TAMAN. Bagi Ki Hadjar, pendidikan itu menyenangkan laksana bermain dan belajar di taman. Bahkan, sejak pendirian Taman Siswa tahun 1922 di Yogyakarta, Ki Hadjar sudah mengatakan, bahwa sekolah bikinan kolonial hanya “mengembangkan intelektual dan fisik dan semata-mata hanya memberikan surat ijazah yang hanya memungkinkan mereka menjadi buruh.”


KH Ahmad Dahlan diberi gelar Pahlawan Nasional karena dinilai berjasa besar dalam mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. Kesadaran “masih terjajah” itu sangat penting sebagai modal dasar membangun semangat untuk merdeka. (Lihat Keputusan Presiden RI No 657 tahun 1961).
Bertahun-tahun sebelum memproklamasikan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, banyak pemimpin muslim di Indonesia sebenarnya sudah menyadari hal ini. Karena itulah, dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta, tahun 1944, para tokoh Islam memutuskan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam, bernama Sekolah Tinggi Islam (STI).
Gagasan hebat itu terwujud pada 8 Juli 1945 di Jakarta. Bertindak sebagai Ketua Panitia adalah Mohammad Hatta, dengan sekretarisnya Mohammad Natsir. Jadi, sebelum kita merdeka secara politik dan militer, maka yang dimerdekakan dulu adalah pendidikan kita. Para tokoh kita berani melakukan itu, sebab mereka berpikir merdeka, sehingga mampu mewujudkan “pendidikan yang merdeka!”
“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa!” tegas UUD 1945. Umat Islam dan bangsa Indonesia pasti cinta “kemerdekaan”; enggan dijajah, baik secara politik, militer, ekononi, budaya, apalagi pendidikan! Umat mulia berani berpikir merdeka; berani merumuskan “konsep keunggulan” pendidikannya sendiri.
Jenjang terpenting dalam pendidikan adalah jenjang pendidikan tinggi. Sebab, pendidikan tinggi mendidik orang dewasa, sehingga mereka menjadi manusia merdeka dan pendidik sejati (guru/pamong). Dalam konsep Ki Hadjar Dewantara, pendidikan tertinggi memang melahirkan pamong, yaitu orang yang bisa ngemong (mengasuh). Itulah yang disebut sebagai Taman Pamong atau Taman Guru. Ini tingkatan tertinggi, yaitu tingkat ma’rifat.
Sejak awal, Ki Hadjar merumuskan konsep Pendidikan Merdeka, bukan sekedar Merdeka Belajar. Kata Ki Hajar Dewantara: “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.”


Ki Hajar mengkritik keras sistem pendidikan Eropa yang sangat mengabaikan kecerdasan budi pekerti, hingga menimbulkan penyakit “intelektualisme”, yakni mendewa-dewakan angan-angan.


“Semangat mendewa-dewakan angan-angan itu menimbulkan “kemurkaan diri” dan “kemurkaan benda”; kemurkaan diri dan kemurkaan benda, atau “individualisme” dan “materialisme” itulah yang menyebabkan hancurnya ketenteraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat.”


Para ulama Islam sudah lebih dulu menerapkan Pendidikan Merdeka itu di pondok-pondok pesantren. KH Hasyim Asy’ari merumuskan konsep pendidikan melalui kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim dan pendirian Pesantren Tebu Ireng. Sebelum itu, sudah berdiri Pesantren Sidogiri yang sangat menanamkan jiwa merdeka dan mandiri, hingga kini!


Jadi, PENDIDIKAN MERDEKA adalah prasyarat kebangkitan bangsa. Tujuan kemerdekaan – mewujudkan negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur – tidak akan bisa terwujud tanpa adanya PENDIDIKAN MERDEKA. Yakni, pendidikan yang melahirkan manusia-manusia cerdas, bijak, dan pemberani untuk melakukan perubahan besar!


Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar, jika para pendidiknya, apalagi dosen-dosennya dipaksa untuk memiliki mental jajahan, jiwa penakut, jiwa rendah diri, dan jiwa munafik!
Sungguh aneh, pendidikan yang menanamkan iman, taqwa, dan akhlak mulia, dianggap sebagai pendidikan yang tidak bermutu, diberi perinkat rendah ! Sementara pendidikan yang mengajarkan sekulerisme, materialisme, bahkan individualisme dan hedonisme disebut sebagai pendidikan bermutu dan diberi peringkat tinggi !
Lebih lucu lagi, JIKA kita pun percaya dan mengikuti standar bikinan penjajah! KALAU BEGITU, KITA MAU MERDEKA ATAU MAU MATI? MERDEKA ! (Madinah, 15 Agustus 2023).

Admin: Kominfo DDII, Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *