KETIKA PENDEKAR PEMECAH BATU DAN ANAK-ANAK MUDA POTENSIAL INIMEMILIH KULIAH DI KAMPUS DAKWAH

Artikel Terbaru (ke-1.620)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusiani.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah lslamiyah lndonesia

Dewandakwahjatim.com, Jakarta - Namanya Ali Sina Albasyiri (18 tahun). Ayahnya seorang pengusaha, yang juga alumni IPB Bogor. Ali mendapat penghargaan sebagai lulusan “terfavorit” dalam acara Wisuda Pesantren At-Taqwa Depok, 19 Juli 2023 lalu. Di Pesantren, Ali memimpin Badan Eksekutif Santri (BES). Ia juga termasuk penanggung jawab keamanan pondok. 

Tak hanya itu. Ali termasuk yang sukses dalam menekuni ilmu bela diri. Ia dipercaya sebagai asisten pelatih silat. Saat acara wisuda, ia tampil mengagumkan, dengan aksinya memecahkan lima batu hebel, dengan satu tangan. “Padahal, biasanya ia hanya mampu memecahkan empat hebel,” kata teman-temannya. Gara-gara kemampuannya itu, Ali diberi julukan pendekar pemecah batu. 
Secara intelektual, Ali cukup menonjol. Ia lulus ujian skripsi dengan judul “Nilai Positivisme dalam Pendidikan IPA Tingkat SMA di Indonesia.”  Tahun 2022 lalu, ia menulis makalah berjudul “Wajah Islam Liberal dalam Kebijakan Publik di Indonesia.”  Makalah ini ia presentasikan di hadapan dosen dan mahasiswa Indonesia di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM). 

Sebelum lulus pesantren, Ali sempat bercita-cita kuliah ke luar negeri untuk mendalami agama. Dalam beberapa kali diskusi dengan orang tuanya, akhirnya diputuskan,  Ali melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir. Ia mengambil kelas khusus jurnalistik dan pemikiran Islam. 
 Salah satu pertimbangannya, saat ini Ali sudah aktif di masjid bersama anak-anak muda komplek kediaman orang tuanya, di Bogor.  Aktivitas mengajar dan memimpin semacam ini sayang jika ditinggalkan. Tidak banyak anak muda di usia 17-an tahun sudah dipercaya oleh anak-anak muda sebayanya. Potensi kepemimpinan seperti ini perlu dikembangkan. 
    Bersama Ali Sina, tahun ini ada lebih dari 15 santri lulusan Pesantren At-Taqwa Depok yang melanjutkan kuliah ke STID Mohammad Natsir. Salah satunya bernama Muhammad Nabil Abdurrahman. Ayahnya seorang Ustadz terkenal. Beliau wafat beberapa tahun lalu, di sebuah masjid di Jakarta, beberapa saat sebelum menyampaikan khutbah Jumat. 

Di Pesantren, Nabil tergolong santri yang cerdas dan tekun menuntut ilmu. Ramadhan lalu, ketika para santri lain sudah balik ke rumah, pada hari ke-20 Ramadhan, Nabil tetap tinggal di pesantren, dan melakukan mulazamah, mengkhatamkan satu kitab bersama Mudir Pesantren, Dr. Muhammad Ardiansyah.


Karena penguasaan bahasa Arabnya yang cukup baik, maka Nabil banyak diminta membantu teman-temannya untuk mengajar membaca “Kitab Kuning”. Nabil lulus ujian skripsi dengan judul: “Budaya dalam Pandangan Islam: Telaah Pemikiran Hamka atas Kebudayaan Minangkabau.”


Tahun 2022 lalu, ia menulis makalah berjudul “Pendidikan Integral Mohammad Natsir: Sebagai Solusi Bagi Pendidikan Nasional.” Bersama Ali Sina dan teman-teman lainnya, ia mempresentasikan makalahnya di kampus IIUM Kuala Lumpur.


Setelah lulus, Nabil ditugaskan untuk mengajar di Pesantren Adab dan Ilmu (PADI), satu lembaga pendidikan tingkat SD di Perguruan At-Taqwa Depok. Ia bisa mengajar bahasa Arab, kitab Arab Melayu, dan juga mengajar silat. Pada saat yang sama, ia juga kuliah di STID Mohammad Natsir.
Berikut ini sejumlah nama mahasiswa baru STID Mohammad Natsir beserta judul karya ilmiah (skripsi/makalah) yang ditulisnya saat duduk di pendidikan tingkat SMA di Pesantren At-Taqwa Depok:


(1) Alima Pia Rasyida (Islamisasi Kebudayaan menurut Sayyid Uthman bin Yahya), (2) Nuswatul Adiba (Konsep Dewasa Persepktif Barat dan Islam serta Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental Remaja), (3) Habiba Zahra (Lesbianisme dalam Tinjauan Pancasila), (4) Qzzahra Azka Salsabila (Kiprah Perempuan dalam Bidang Hadits: Kajian Buku al-Muhaditsat), (5) Raihan Dzikri Hakim (Islamic Worldview dalam Untaian Puisi Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud), 6) Yasmin Khoirunnisa Fauzi (Peran Dakwah Rohana Kudus dalam Perubahan Sosial), (7) Ghaitsa Sahira Putri (Studi Analisis Nusyuz dan Solusi terhadap Pendidikan Pra-Nikah), (8) Athifa Fauzia (Konsep Pendidikan Karakter Thomas Lickona dalam Timbangan Adab), (9) Vaisal Rahmat Hidayat (Perjuangan KH Hasyim Asy’ari dalam Pendidikan Islam), (10) Aufa Azizah (Konsep Alam dalam Perspektif Worldview Barat dan Islam), (11) Nailufar Afif Albary (Konsep Negara Bahagia versi Barat dalam Perspektif Islam), (12) Shofiyah Hafizhah Irfan (Jejak Pemikiran Orientalisme-Nativistik: Praktek dan Dampaknya di Indonesia), (13) Muhammad Miftah Hasan (Judul makalah: Kajian Ayat Tazkiyatun Nafs: Solusi Diri dalam Mengobati Penyakit Hati), (14) Denniz Syaikhani Muttaqin (Judul makalah: Jawaban terhadap Tuduhan Muhammad Sa’id Asymawi Mengenai Asbabun Nuzul), (15) Muhammad Ayaz Malik Asytar (Judul makalah: Kristenisasi di Indonesia dalam Pandangan Mohammad Natsir).


Sejak di pesantren, anak-anak muda ini telah biasa dilatih berpikir besar; memahami dan mencintai pemikiran para ulama besar! Masuknya mereka ke kampus dakwah menjadi berkah dan sekaligus tantangan besar bagi kampus dakwah, seperti STID Mohammad Natsir. 

Dengan ini, kita berharap, dunia pendidikan tinggi kita – khususnya kampus dakwah dan pendidikan – semakin dibanjiri oleh anak-anak muda yang cinta ilmu, cinta perjuangan, dan berkhlak mulia. Di kampus dakwah mereka dididik agar menjadi manusia terbaik, manusia seutuhnya. Yakni, manusia yang berguna bagi sesama.


Mereka bukan hanya dididik bagaimana bisa hidup. Tetapi, lebih dari itu, mereka dididik agar memahami tujuan dan makna hidup, serta menjadi pemimpin. Aktivitas terbaik adalah mengajak manusia ke jalan Allah, agar menjadi hamba Allah yang baik. (Lihat QS 41:13). Untuk dapat menjalankan aktivitas terbaik itu, diperlukan llmu dan kecakapan komunikasi yang mumpuni. Mereka juga dituntut menjadi teladan bagi masyarakatnya.


Karena itu – sesuai dengan makna “universitas” dalam Islam — kuliah dakwah sejatinya bukan kuliah biasa-biasa saja; bukan sekedar menyelesaikan perkuliahan 140-an SKS dalam beberapa tahun. Tetapi, para mahasiswa dididik sepanjang waktu, dengan memadukan aspek intelektualisme dan aktivisme dengan adil.
Inti pendidikan, menurut Prof. Naquib al-Attas, adalah penanaman adab (inculcation of adab). Karena itu, mereka harus memiliki adab yang baik dan menjadi pembelajar sejati. Juga, mereka harus menguasai bahasa-bahasa yang diperlukan untuk berkomunikasi secara global. Jika anak-anak muda potensial berani memilih dan menjalani pendidikan terbaik, maka kita optimis akan masa depan umat dan bangsa kita.


Semoga Allah memberikan bimbingan dan pertolongan kepada para mahasiswa itu agar sukses menjadi sarjana unggul, yang mampu mewujudkan satu peradaban mulia di bumi Indonesia. Aamiin. (Jakarta, 11 Agustus 2023).

Admin: Kominfo DDII, Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *