PLURALISME DAN IBADAH LINTAS AGAMA

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah

Dewandakwahjatim.com, Depok -  Dalam sesi Kuliah Islamic Worldview di Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor (1/7/2022), seorang mahasiswa bertanya, apakah salam dan doa lintas agama termasuk bagian dari paham Pluralisme Agama. 

Saya menjawab, bahwa Pluralisme Agama adalah masalah pemikiran dan keimanan. Yakni, cara pandang seseorang terhadap agama-agama lain. Sedangkan doa dan salam adalah aspek perbuatan yang tercakup dalam ruang lingkup syariat. Tetapi, jika amalan itu menjadi pemahaman dan keyakinannya, maka hal itu terkait pula dengan masalah aqidah.
Alister E. Mcgrath, dalam bukunya, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), menulis bahwa: “In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God.”


Jadi, dalam Pluralisme Agama, semua agama dipandang sama saja. Semuanya dianggap sebagai jalan yang benar dan sah menuju Tuhan. Karena itu, dalam pandangan kaum Pluralis Agama, tidak ada perbedaan antara iman dan kufur, antara tauhid dengan syirik; tidak ada perbedaan antara shirathal mustaqim dengan shiratal maghdhub dan shirath al-dhaalliin.
Dalam perspektif aqidah Islam, menyamakan antara iman dan kufur adalah hal yang sangat bathil. Iman menjadi syarat diterimanya amal. Sebanyak apa pun amal orang kafir, tidak akan diterima oleh Allah SWT. Amalan orang kafir itu laksana fatamorgana. (QS An-Nur : 39).
Karena itu, seorang muslim tidak akan menyepelekan atau menganggap remeh urusan aqidah. Kewajiban seorang muslim yang pertama dan utama adalah terus menguatkan iman dan menjaga imannya agar tidak rusak, karena tercemar paham kemusyrikan.
Hal yang bisa merusak atau membatalkan iman seseorang disebut “riddah”. Manusianya disebut orang “murtad”. Ada tiga bentuk riddah, yaitu riddah dengan i’tiqad, dengan lisan, dan dengan perbuatan. Kaum musyrik Arab mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Tetapi, mereka juga mengakui Tuhan-tuhan lain dalam wujud berhala. Karena itu, mereka disebut musyrik. Dan dosa syirik adalah dosa terbesar dan tidak diampuni. (Lihat QS an-Nisa: 48).


Karena begitu pentingnya aspek penjagaan iman, maka para ulama dan organisasi Islam juga merumuskan panduan dalam hal-hal yang terkait dengan aktivitas antar pemeluk agama. Misalnya, fatwa MUI tahun 1981 yang mengharamkan umat Islam untuk menghadiri Perayaan Natal Bersama. 
Dalam soal “salam lintas agama”, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menghimbau umat Islam dan para pejabat untuk tidak mengucapkan salam pembuka agama lain dalam forum resmi. Kebiasaan itu dianggap perbuatan bid'ah yang dapat merusak kemurnian agama Islam. Imbauan itu diteken Ketua MUI Jatim, KH. Abdusshomad Buchori. 

Salah satunya menyerukan umat Islam dan para pejabat muslim cukup mengucapkan salam pembuka khas dalam Islam yakni kalimat “Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.” tanpa mengucapkan salam pembuka dalam agama lain yakni Syaloom, Om swasti astu, Namo buddaya yang lazim diucapkan diawal sambutan.
“Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, “Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.” “Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.” Demikian bunyi imbauan tersebut. (https://www.tempo.co/abc/4945/pejabat-muslim-indonesia-dihimbau-tidak-ucapkan-salam-lintas-agama).


Tentang doa bersama lintas agama, MUIjuga sudah mengeluarkan fatwa tentang hukum Doa Bersama antar Agama, dalam fatwa MUI Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 Tentang “DOA BERSAMA”. Bentuk-bentuk Do’a Bersama yang diharamkan MUI adalah:
(a) Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran. Dalam bentuk ini orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non-muslim. Mengapa haram mengamini doa non-muslim? Karena, sebagaimana telah dijelaskan, “mengamini” sama dengan berdoa; dan ketika yang berdoa adalah non-muslim, maka orang Islam yang mengamini tersebut berarti ia berdoa kepada tuhan yang kepadanya non-muslim berdoa. Padahal konsep dan aqidah mereka tentang tuhan, menurut al-Qur’an, berbeda dengan aqidah orang Islam (lihat antara lain QS. al-Ma’idah [5]: 73).


Dengan demikian, orang Islam yang mengamini doa yang dipanjatkan oleh non-muslim dapat dikategorikan kafir atau musyrik. Tetapi, orang Islam yang karena alasan tertentu harus mengikuti doa bersama, maka ketika non-muslim memanjatkan doa, ia wajib diam dalam arti haram mengamininya.


(b) Bentuk lain Doa Bersama adalah: Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak (misalnya mereka membaca teks doa bersama-sama). Doa Bersama dalam bentuk ini hukumnya HARAM. Artinya, orang Islam tidak boleh melakukannya. Sebab doa seperti itu dipandang telah mencampuradukkan antara ibadah (dalam hal doa) yang haq (sah, benar) dengan ibadah yang bathil (batal); dan hal ini dilarang oleh agama (lihat antara lain QS. al-Baqarah [2]: 42).


Doa Bersama dalam bentuk kedua ini pun sangat berpotensi mengancam aqidah orang Islam yang awam. Cepat atau lambat, mereka akan menisbikan status doa yang dalam ajaran Islam merupakan ibadah, serta dapat pula menimbulkan anggapan bagi mereka bahwa aqidah ketuhanan non-muslim sama dengan aqidah ketuhanan orang Islam. Di sini berlakulah kaidah; “sadd al-zari’ah” dan “daf’u al-dharar”.
(c) Bentuk lain, seorang non-Islam memimpin doa. Dalam Doa Bersama bentuk ketiga ini orang Islam HARAM mengikuti dan mengamininya; dengan alasan sebagaimana pada bentuk pertama.
Adapun bentuk-bentuk Doa Bersama yang MUBAH (Dibolehkan): (1) Seorang tokoh Islam memimpin doa. (2) Setiap orang berdoa menurut agama masing-masing. (Fatwa MUI secara lengkap, lihat: http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/27.-Doa-Bersama.pdf).


Masalah doa lintas agama juga ada Keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar XXX NU di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, 21-27 Nop. 1999, tentang “Doa Bersama Antar Umat Beragama”. Hasilnya, doa Bersama antar berbagai umat beragama, hukumnya tidak boleh. (Lihat: buku Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534).
Jadi, kewajiban para ulama adalah menyampaikan kebenaran. Selanjutnya terserah kepada para pejabat dan masyarakat, apakah bersedia mengikuti fatwa para ulama tersebut atau tidak. Tentu, segala akibatnya ditanggung masing-masing. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 2 Juli 2022).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *