Ahmad Syafii Maarif: Yang Maha Esa Melambangkan Ajaran Tauhid

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum Dewan Dakwah

Dewandakwahjatim.com, Depok – Dalam bukunya, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhammadiyah. Akhirnya melalui Mohammad Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”.


Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.” Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hlm. 31).
Tokoh Muhammadiyah yang juga Pahlawan Nasional, Kasman Singodimedjo, dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, mengusulkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara. Ia secara kritis mengkhawatirkan Pancasila diangkat sebagai suatu agama yang suci yang mengkafirkan orang yang berani menyangsikannya dengan cap-cap pengkhianatan.


Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: “Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak kemana-mana.” Kasman Singodimedjo berkomentar: “Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka.”
Majelis Konstituante akhirnya dibubarkan dan dikeluarkan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Kasman dan para tokoh Islam lainnya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman menulis: “… seluruh rakyat Indonesia, termasuk seluruh umat Islam yang meliputi mayoritas mutlak dari rakyat Indonesia itu kini harus mengindahkan Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya.” (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967).


Dalam Sidang BPUPK, Ketua Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo mengatakan: “… supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya Negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam. Sebab inilah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak; sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 90 persen dari rakyat itu diabaikan saja tidak diperdulikan. Saya kuatir apabila Negara Indonesia ini tidak berdiri atas agama Islam, kalau-kalau umat Islam yang terbanyak itu nanti bersikap pasif atau dingin tidak bersemangat, sebagaimana yang dikuatirkan juga oleh Tuan Kyai Sanusi tadi. Tetapi saya mengharap janganlah sampai kejadian demikian, Tuan-tuan! Sudah banyak pembicara yang berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan suci. Sekarang bagaimana kalau orang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi dan suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci? Kalau jiwa manusia tidak mau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan suka bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang buruk? Pikirkan dan camkanlah, Tuan-tuan!” (RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, hlm. 147-148).


Para tokoh Islam yang berjuang untuk kemerdekaan dan kejayaan Indonesia memiliki pemikiran dan kecintaan terhadap Indonesia. Tetapi, mereka juga tidak kehilangan komitmen dan kecintaannya kepada agamanya (Islam). Mereka memperjuangkan cita-cita Islam. Sebab, mereka memiliki keyakinan bahwa Islam adalah agama yang membawa misi mewujudkan kehidupan yang damai dan bahagia (rahmatan lil-alamin). 

Nabi Muhammad saaw diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Beliau memberi contoh sebagai manusia yang paling mulia akhlaknya. Bukan hanya itu. Rasulullah saw berhasil mendidik satu generasi terbaik yang melanjutkan perjuangan dakwah Islam, sehingga Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Cina melewati kepualauan Nusantara.
Uniknya, para tokoh Islam juga memperhatikan budaya lokal. Mereka tidak melakukan Arabisasi, tetapi melakukan Islamisasi. Itulah yang dilakukan para ulama di Nusantara dengan melahirkan bahasa Arab-Melayu. Budaya-budaya yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam tetap dijaga. Tetapi, budaya-budaya yang tidak baik – seperti makan daging manusia – diupayakan untuk ditinggalkan. Semua dilakukan dengan bijak dan bertahap.
Karena itu, untuk memajukan dan menjayakan Indonesia, tidak bisa dilakukan dengan proses sekularisasi dan pendangkalan aqidah Islam. Para tokoh Islam sudah mengingatkan sejak jauh sebelum masa kemerdekaan. Adalah kerugian besar jika umat Islam yang mayoritas di Indoenesia dijauhkan dari agamanya. 

Bangsa Indonesia akan kehilangan potensi atau energi besar dalam pembangunan bangsa. Sebab, dengan keimanan yang kuat, maka seorang akan rela berkorban untuk bangsa dan negaranya. Ia tidak akan mau korupsi atau menzalimi manusia mana pun, karena takut kepada Allah SWT dan azab di akhirat. Ia bukan hanya takut dengan hukum dunia atau takut atasannya.


Jadi, itulah potensi agama bagi kemajuan dan pembangunan bangsa. Dasar pijakannya adalah Tauhid. Dalam Pancasila, nilai Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) itu diletakkan di posisi pertama. Karena itulah, para tokoh Islam tidak pernah berhenti dan tidak pernah lelah dalam usaha memperjuangkan terwujudnya insan-insan mulia melalui dakwah dan pendidikan. Alhamdulillah, upaya ini terus menampakkan kemajuan di Indonesia.


Pada saat yang sama, umat Islam Indonesia harus mencegah munculnya pemahaman ekstrim yang bisa memecah belah umat Islam dan merusak keharmonisan kehidupan masyarakat. Dakwah Islam harus dilakukan dengan cerdas dan bijak. Yakni, bil-hikmah wal-mauidhatil hasanah wa mujadalah hiya ahsan (QS an-Nahl: 125).
Semoga Indonesia terus berkembang menjadi negeri adil makmur dalam naungan ridha Allah SWT. Aamiin. (Depok, 28 Juni 2022).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *