Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Dewandakwahjatim.com, Depok – Data Riskesdas (riset kesehatan dasar) tahun 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia.
Pada usia remaja (15-24 tahun), persentase depresi mencapai 6,2%. Depresi berat akan mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri (self harm) hingga bunuh diri. Sebesar 80 – 90% kasus bunuh diri merupakan akibat dari depresi dan kecemasan. Kasus bunuh diri di Indonesia bisa mencapai 10.000 atau setara dengan setiap satu jam terdapat kasus bunuh diri. Menurut ahli suciodologist, 4.2% siswa di Indonesia pernah berpikir bunuh diri. Pada kalangan mahasiswa sebesar 6,9% mempunyai niatan untuk bunuh diri sedangkan 3% lain pernah melakukan percobaan bunuh diri. Depresi pada remaja bisa diakibatkan oleh beberapa hal seperti tekanan dalam bidang akademik, perundungan (bullying), faktor keluarga, dan permasalahan ekonomi.
Data menunjukkan, bahwa sebesar 91% masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa tidak tertangani dengan baik dan hanya 9% sisanya yang dapat tertangani. Tidak ditangani dengan baik bisa menjadi indikasi akan kurangnya fasilitas kesehatan mental ditambah kurangnya pemahaman akan kesehatan mental. (https://egsa.geo.ugm.ac.id/2020/11/27/darurat-kesehatan-mental-bagi-remaja/).
Jadi, menurut data itu, 4,2 % siswa-siswa di Indonesia mempunyai niatan untuk bunuh diri. Sedangkan di kalangan mahasiswa, sebesar 6,9 % punya niat untuk bunuh diri, dan 3 % nya pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Itu bukan angka kecil. Tahun 2021, jumlah mahasiswa Indonesia mencapai 8.956.184. Mungkin tahun ini sudah melewati angka 9 juta orang. Jadi, ada sekitar 600 ribu mahasiswa yang punya niat untuk bunuh diri. Sedangkan yang pernah melakukan percobaan bunuh diri ada 270 ribu.
Kondisi kesehatan jiwa para pelajar dan mahasiswa kita itu patut untuk diperhatikan. Sebab, merekalah generasi penerus bangsa. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya sudah mengamanahkan: bangunlah jiwanya bangunlah badannya.
Sepatutnya para pelajar dan mahasiswa adalah manusia-manusia yang paling bahagia, sebab mereka sedang dalam proses mencari ilmu secara intensif. Ilmu itu laksana asupan jiwa yang membuat jiwa menjadi tenang. Jika ilmu-ilmu yang diajarkan tidak berdampak positif bagi jiwa insan, maka pasti ada yang salah dengan pendidikannya.
Untuk meraih jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah), perlu dilaukan berbagai macam latihan ibadah yang sungguh-sungguh (mujahadah). Dengan itu, diharapkan akan menjadi mukmin yang bahagia, memiliki jiwa yang tenang (nafsul-muthmainnah). “Wahai nafsul-muthmainnah (wahai jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha dan diridhai.” (QS 89:27-28).
Imam Ibn Katsir menyatakan, bahwa saat sakaratul maut, dan saat di akhirat nanti, hamba Allah dengan jiwa yang tenang (muthmainnah) akan mendapatkan seruan: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu,” dengan hati yang ridha dan diridhai, yakni “dia rela menjadikan Allah sebagai Tuhannya dan Allah pun ridha menjadikan dia sebagai hamba yang dikasihi-Nya.
Ibnu Katsir mengutip sebuah doa Rasulullah saw: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan jiwa yang tenang yang beriman akan perjumpaan dengan-Mu dan ridha atas keputusan-Mu dan merasa puas dengan pemberian-Mu.” (Allahumma inniy as’aluka nafsan muthmainnatan tu’minu bi-liqâika wa-tardha bi-qadhâika wa-taqnau bi-‘athâika).
Kemuliaan dan ketenangan jiwa itulah yang ditekankan oleh Islam; agar manusia mencapai taraf tinggi sebagai manusia, dan tidak terjebak dalam peradaban yang memuja syahwat dan menuhankan hawa nafsu, sebagaimana dibudayakan oleh paham sekularisme dewasa ini. Peradaban materialisme seperti ini tidak akan mengantarkan manusia untuk meraih ketenangan dan kebahagiaan hidup.
Al-Quran menggambarkan manusia-manusia yang berinteraksi dengan alam (ayat-ayat Allah), tetapi tidak sampai mengenal Tuhan yang sesungguhnya, maka mereka itu laksana binatang ternak, bahkan lebih sesat dari pada binatang ternak itu sendiri. (QS Al-A’raf:179). Juga disebutkan: “Orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan-makan sebagaimana makannya binatang-binatang, dan neraka adalah tempat mereka.” (QS Muhammad:12).
Orang mukmin juga makan-makan dan bersenang-senang menikmati makanan serta kesenangan hidup lainnya. Tetapi, orang mukmin tidak menjadikan makan dan segala kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidup dan kenikmatan tertinggi, sebab mereka memiliki tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yaitu mengenal dan beribadah kepada Allah. Itulah kebahagiaan yang sejati. Zikir kepada Allah adalah menentramkan jiwa.
Betapa banyak manusia tertipu dengan kenikmatan duniawi. Ia menyangka akan bahagia saat mereguk segala syahwat dunia. Ternyata kesenangan dunia itu menipunya. (QS Ali Imran: 185). Lihatlah, betapa banyak manusia tersohor dan bergelimang harta serta kebebasan, akhirnya hidup dalam keresahan dan berujung kepada obat-obatan terlarang bahkan berakhir dengan bunuh diri.
Banyak manusia terkecoh oleh kenikmatan duniawi sehingga melupakan kehidupan yang sesungguhnya di akhirat. Pada hakikatnya, itulah kesuksesan setan dalam menghiasi hal-hal maksiat dan kejahatan, sehingga tampak indah dan menawan di mata manusia. “Iblis berkata: Ya Tuhanku, karena Engkau telah sesatkan aku, maka pasti akan aku jadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS Al-Hijr:39).
Demikianlah kondisi jiwa manusia yang tidak mendapatkan asuman ilmu yang menyehatkan dan membahagiakan. Yakni, asupan ilmu yang benar. Sebaliknya, ilmu yang salah akan semakin menambah keresahan jiwa, dan pasti itu bukan ilmu yang bermanfaat. Semoga kita semua diberikan bimbingan oleh Allah WT dalam memilih teman. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 3 Juli 2022).
Editor: Sudono Syueb