Oleh: Dr. Nirwan Syafrin
(Direktur Eksekutif At-Taqwa College Depok)
Dewandakwahjatim.com, Depok – lstilah “Islam Liberal” sudah terlanjur populer. Pro-kontra sudah terjadi dimana-mana. Tetapi, uniknya para pencetus dan aktivisnya masih saja kesulitan untuk mendefinisikannya. Makhluk jenis apakah “Islam Liberal” itu?
Sulit untuk disangkal bahwa popularitas istilah Islam liberal di Indonesia sangat terkait dengan terbitnya karya Charles Kurzman Liberal Islam: A Source Book. Buku inilah sesungguhnya yang telah melejitkan istilah ini dalam dikursus pemikiran keagamaan di negeri ini.
Kurzman sendiri sadar akan sulitnya untuk mendefiniskan istilah ini. Disamping kedua kata tersebut (Liberal dan Islam) terkesan saling bertentangan, ia juga berkonotasi negatif di banyak negara Muslim. Oleh sebab itu, kata Kurzman, dia hanya mengikut jejak langkah Asaf Ali Asghar Fyzee, penulis Muslim asal India, yang dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan, “we need not bother about nomenclature, but if some name has to be given to it, let us call it “Liberal Islam.” (Kita tidak peduli dengan nomenklatur. Tapi jika sebuah nama ingin diberikan kepadanya, kita sebut saja dia “Islam Liberal.). (Charles Kurzman, Liberal Islam (New York: Oxford Unniversity Press, 1998).
Jauh sebelum Kurzman, Albert Hourani telah menggunakan istilah yang sama untuk bukunya Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939. (Cambridge: Cambridge University Press, 1988). Hourani merujuk istilah ini kepada pergolakan pemikiran yang terjadi di dunia Arab pada era Kebangkitan (‘asr al-nahdah).
Beberapa tahun kemudian, Leonard Binder kembali menggunakan terma yang sama dalam karyanya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, (Chicago: The University of Chicago Press, 1988). Hourani tidak memberikan definisi definitif atas terma liberal ini seperti hanya juga dengan mereka yang tergabung dalam gerakan Jaringan Islam Liberal.
Dalam salah satu artikelnya, Kurzman menulis seperti berikut: “Liberal Islam” refers to interpretations of Islam that have a special concern regarding such issues as democracy, separating religion from political involvement, women’s rights, freedom of thought, and promoting human progress.” (Liberal Islam merujuk pada interpretasi Islam yang memiliki perhatian khusus berkenaan dengan isu-isu seperti demokrasi, pemisahan Agama dari terlibat dalam politik, hak asasi perempuan, kebebesan berpikir, dan mempromosikan kemajuan manusia.)
Definisi ini jelas sangat tidak komprehensif dan definitif. Disebabkan oleh ketidakjelasannya inilah maka akhirnya dia memasukkan tokoh-tokoh Islam yang gigih mempertahankan Islam seperti Yusuf al-Qaradawi dan Mohammad Natsir dalam kategori ini. Disamping itu definisi ini juga tidak memberikan garis demarkasi yang bisa membedakannya degan gerakan Islam lain seperti gerakan modernisme ataupun neo-modernisme Islam.
Leonard Binder dalam bukunya, Islamic Liberalism, mencoba sedikit mendefinsikan liberalisme berdasarkan cara pandang mereka terhadap al-Qur’an. Katanya: For Islamic Liberals, the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of the revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effrot beyond them, seeking that which is represented or revealed by language. (Bagi Islam liberal, bahasa al-Qur’an sejalan dengan esensi wahyu. Akan tetapi kandungan dan arti dari wahyu tersebut tidak semestinya verbal seperti apa yang terucapkan). Karena perkataan al-Qur’an tidak dapat mencakup seluruh makna wahyu, maka diperlukan usaha untuk melangkaui kata-kata (yang tertulis tadi), dengan mencari apa yang direpresentasikan dan yang diwahyukan dengan bahasa)
Definisi Binder ini pun juga agak kabur. Andaikan ini yang dijadikan ukuran liberalisme maka keseluruhan ulama Islam akan masuk kategori liberal. Sebab pada prinsipnya tidak ada seorang ulama pun yang sepenuhnya berpegang pada tekstual al-Qur’an dalam memahami al-Qur’an terkecuali mungkin mazhab Zahiriyyah.
Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn Taimiyyah, yang sering disebut sebagai tokoh ‘literalis’pun bukan orang yang secara membabi buta berpegang pada harfiyyah al-Qur’an tanpa mengindahkan makna yang terkandung dibaliknya. Banyak fatwa-fatwa tokoh ini yang selalu melampaui apa yang tersurat seperti yang dapat dalam karya-karyanya.
Mungkin atas ketidakjelasan definisi “Islam Liberal” ini jugalah maka akhirnya mereka pun melabel sahabat Nabi seperti ‘Umar bin Khattab dan ‘ulama seperti Abu Hanifah sebagai orang yang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir liberalisme. (Lihat artikel berjudul “Umar bin Khattab dan Islam Liberal,” Tempo, 7 April 2002).
Inilah salah satu contoh pentingnya kita menentukan definisi yang jelas tentang sesuatu sebelum memberikan penilaian terhadapnya. Jangan sampai sudah berdebat sampai berbusa-busa, pada ujungnya ternyata tidak memiliki definisi yang sama tentang sesuatu. Dalam hal ini, para ulama Islam memberi teladan yang sangat baik. Mereka memberikan definisi yang jelas, sebelum memberikan keputusan tentang sesuatu. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 29 Juni 2022).