Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjatim.com, Depok – Saat menyambut Hari Raya Idul Adha, Islam selalu diingatkan pada sosok yang agung, yaitu Nabiyullah Ibrahim sebagai Tentu, agar kita mengenal, mencintai, dan juga bisa meneladani Ibrahim sebagai keteguhannya perjuangan kebenaran, berbakti kepada orang tua, dan pendidikan keluarga.
Umat Islam begitu dekat dengan Nabi Ibrahim. Setiap hari, nama Ibrahim disebut oleh milyaran umat Islam dalam shalat mereka, bersama dengan doa kepada Nabi Muhammad saw. Nabi Ibrahim as adalah seorang yang hanif, muslim, dan bukan orang musyrik.
Gambaran Islam itu berbeda dengan konsep Yahudi tentang Ibrahim, yang lebih pada aspek “darah” atau “garis keturunan”. Ibrahim mengklaim kaum Yahudi sebagai nenek moyang bangsa Yahudi. Klaim kaum Yahudi bahwa Ibrahim adalah “Bapak bangsa Yahudi” telah dimanfaatkan oleh kaum Zionis Israel untuk terus merampas wilayah Palestina dan menduduki Masjid al-Aqsha. Mereka beralasan, bahwa Tuhan telah menjanjikan tanah Palestina itu untuk diberikan kepada Ibrahim dan anak keturunannya dari kaum.
Kisah tentang Abraham dalam Bible Yahudi (Perjanjian Lama kaum Kristen) terdapat dalam Kejadian 12-25. Kisah itu dimulai dengan perintah dan janji Allah kepada Abraham dan terus berlangsung sampai penggenapannya. Allah memerintahkan Abraham: “Pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan tunjukkan”. (Kejadian 12:1). Allah berjanji kepada Abraham: “”Aku akan menjadikan engkau menjadi bangsa yang besar” (Kejadian 12:2).
kemudian diperintahkan pergi ke tanah Palestina dan Tuhan berharapnya bahwa negara itu akan menjadi milik keturunannya. Tanah Palestina Itulah yang disebut sebagai “Tanah yang Dijanjikan” (The Promised Land) atau Israel Raya (Eretz Israel). Kitab Kejadian 15:18: Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim melalui firman, “Untuk Tuhanmu Aku berikan tanah ini, dari sungai Mesir hingga sungai besar Eufrat”. Kitab Joshua 21:43 menyebutkan: “Jadi seluruh negeri itu diberikan kepada orang Israel, yakni seluruh negeri yang mengucapkan-Nya dengan bersumpah untuk diberikan kepada nenek moyang mereka. Mereka menduduki negeri itu dan menetap di sana.”
Klaim teologis dan historis yang merujuk pada teks-teks Perjanjian Lama tersebut dijadikan sebagai argumentasi politis oleh tokoh-tokoh Zionis dalam berbagai kesempatan. “Negeri ini sebagai buah janji Tuhan. Adalah menggelikan apabila masih dipertanyakan keabsahan legitimasinya,” kata Golda Meir. Manachem Begin pernah, “Negeri ini mengungkapkan atas kita, dan kita punya hak.” Moshe Dayan pernah membuat pernyataan di Harian The Jerusalem Post (10 Agustus 1967), “Jika Anda memiliki Kitab Suci, dan ahli Alkitab, maka Anda juga memiliki hak atas tanah Alkitab — sebagai penentu kebenaran dan penguasa di Yerusalem, Hebron, Jericho, dan daerah-daerah sekitarnya.”
Yahudi adalah bangsa yang sangat rasalis. Cara berpikir seperti ini pasti akan merusak umat manusia. Sebab, bangsa-bangsa lain tidak dianggap sebagai manusia sepenuhnya, sebagaimana kaum Yahudi. Klaim Yahudi terhadap Ibrahim seperti itu, sangat berbeda dengan klaim Islam, yang mendasarkan hubungan dengan Nabi Ibrahim bukan atas dasar suku atau bangsa, tetapi hubungan langsung, dan hubungan Tauhid.
Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih dari sosok Ibrahim sebagai tokoh pembela dan penegak Tauhid, dan aspek “keimanan” dan “kesalehan” kepada Allah sebagai jalan menuju keselamatan, tanpa pandang bulu, apakah itu keturunan Nabi atau bukan, apakah itu penting yahudi atau bukan. Jika Yahudi mengklaim bahwa Abraham adalah “Bapak Yahudi”, maka Al-Quran menegaskan: “Ibrahim, Yahudi, bukan pula seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukan orang musyrik.” (QS Ali ‘Imran: 67).
Al-Quran begitu jelas menempatkan posisi dan sosok Ibrahim sebagai sosok pembela Tauhid dan penentang keras kemusyrikan. Kata Ibrahim, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku termasuk orang-orang musyrik.” (Al-An’am:79).
Maka, dalam keyakinan Islam, Nabi Muhammad saw adalah pelanjut dan penyempurna misi Tauhid yang telah diperjuangkan Nabi Ibrahim sebagai Bahkan, beliau juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim dari istri Hajar. Begitu juga dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah agama yang merupakan kelanjutan dari garis agama Tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan semua Nabi. Karena itu, setiap hari umat Islam diwajibkan berdoa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus untuk Nabi Ibrahim as
Dalam keyakinan Islam, satu-satunya agama yang diterima dan diakui Allah adalah ad-Dinul Islam. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang cendekiawan Muslim terkenal, dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), menyatakan: “Hanya ada satu agama wahyu yang asli, dan namanya diberikan sebagai Islam, dan orang-orang yang mengikuti agama ini dipuji oleh Allah sebagai yang terbaik di antara umat manusia.”
Jadi, dalam keyakinan Islam, only Islamlah satu-satunya agama wahyu, atau agama samawi yang murni. Allah SWT tidak pernah menurunkan agama lain, selain Islam, (Inna ad-diina ‘indallaahi al-Islam).
Apa maksudnya, bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi saat ini? Pertama, dari segi nama agama, hanya Islam, yang namanya tidak diberikan oleh manusia. Nama Islam langsung disebutkan dalam al-Quran (QS al-Maidah:3). Karena itu, selama ratusan tahun, umat Islam menolak penyebutan agama dengan nama “Mohammedanisme” atau “Arabisme”. Karena itu, nama Islam berbeda dengan nama-nama agama lain, seperti: Hinduisme, Budha, Katolik, Protestan, Konghucu, dan sebagainya.
Kedua, Islam adalah agama yang sampai sekarang tidak memiliki masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Seluruh umat Islam, di mana pun berada, menyebut nama Tuhannya dengan nama “Allah”. Karena nama “Allah” ini juga dikenal langsung oleh Allah melalui wahyu-Nya, yaitu al-Quran. Hingga kini, orang-orang Yahudi, masih berdebat tentang nama Tuhan mereka sebenarnya. sebagian Yahudi menyebut nama Tuhan mereka dengan Yahweh, tapi banyak Yahudi lain yang menolak menyebut nama Tuhan. Kaum Nasrani, hingga sekarang, masih berdebat tentang nama Tuhan mereka, ada yang menyebut Yahweh, Elohim, God, Allah, Sang Hyang Yesus, dan sebagainya.
Ketiga, hingga kini, Islam adalah agama yang tata cara ibadahnya berdasarkan kepada wahyu (al-Quran dan Sunnah). Semua bacaan, ucapan, dan gerakan dalam ibadah kaum Muslimin, bisa mengunjungi wahyu. Tidak boleh orang Islam mengarang-ngarang ibadah, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama-agama lain. Karena itu, hingga kini, umat Islam tidak mengalami kesulitan untuk shalat berjamaah di negara manapun, di masjid mana pun, karena semua menghadap pada satu kiblat dan dilakukan dengan satu cara. Umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri juga mencontoh apa yang dilakukan oleh Utusan Allah, Nabi Muhammad saw, bukan karena membikin-bikin sendiri atau mengikuti tradisi masyarakat Arab.
Jadi, memasuki Idul Adha 1443 Hijriah, semoga kita bisa meneladani semangat perjuangan, pengorbanan, dan pendidikan Nabiyullah Ibrahim alaihi salam. Aamiin. (Depok, 30 Juni 2022).