Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjatim.com, Depok - Dalam satu ceramahnya yang diberi judul “Menfokuskan Masa Lampau ke Depan”, tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito mengingatkan, bahwa meskipun jumlah umat Islam Indonesia mencapai 90 persen, tetapi peran mereka tidak sampai 10 persen. Menghadapi kondisi seperti itu, Prawoto mengajak umat Islam untuk melakukan introspeksi.
“Kesalahan tidak bisa dilemparkan kepada golongan lain. Harus menyalahkan kepada diri sendiri,” kata Prawoto. Lebih jauh, ketua Partai Masyumi terakhir itu menyatakan: “Kalau kita sesudahnya mengalami pengalaman-pengalaman yang begitu pahit, masih tidak mawas diri untuk menengok ke dalam, di manakah kekurangan-kekurangan kami, ya Allah, dan beristighfar untuk mendapatkan petunjuk, jangan harapkan bahwa hari yang akan datang adalah hari untuk umat Islam Indonesia. Saya khawatir kalua masih tetap begitu umat Islam Indonesia, mungkin akan diganti oleh umat yang lain.”
Prawoto menyebutkan, bahwa PKI yang sudah memberontak dua kali, bisa meraih suara besar dalam pemilu tahun 1955. Itu terjadi karena umat Islam kurang memperhatikan kaum dhu’afa wal-masakin. Jika umat Islam tidak juga memberi perhatian kepada kaum yang lemah dan miskin, kata Prawoto, bukan tidak mungkin PKI akan bangkit untuk ketiga kalinya.
“… saya rasa kita sudah cukup diberi kesempatan oleh Allah Subhanahu wa-Ta’ala untuk memperbaiki diri. Tetapi kalau untuk ketiga kalinya masih tidak berubah begitu apa yang saya katakan, itulah yang saya khawatirkan,” ujar Prawoto. (Sumber: S.U. Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, Jakarta: Kompas, 2014).
Peringatan seorang pejuang Islam yang sangat berpengalaman itu penting untuk kita renungkan dalam menghadapi berbagai problematika umat dan bangsa Indonesia. Dan memang, perubahan manusia itu harus dilakukan dari dalam dirinya sendiri.
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi yang ada pada satu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS ar-Ra’d:11).
Nabi Muhammad saw pun menyatakan: ”Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh. Namun, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, itu adalah qalb.” (HR Muslim).
Era kejayaan dan kekuatan sepanjang sejarah Islam tercipta ketika terjadi kombinasi dua unsur, yaitu unsur keikhlasan dalam niat dan kemauan serta unsur ketepatan dalam pemikiran dan perbuatan. Jika strategi ini direfleksikan dalam perjuangan umat Islam Indonesia, maka sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan introspeksi terhadap kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka, terutama para elite dan lembaga-lembaga perjuangannya.
Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi total terhadap kondisi internal umat Islam, khususnya mendiagnosa penyakit yang sangat
membahayakan umat dan telah menghancurkan umat terdahulu, yaitu sikap hubbud dunya, fanatisme kelompok, dan kerusakan ilmu. Introspeksi dan koreksi internal ini jauh lebih penting dilakukan dibandingkan meneliti kondisi faktor eksternal, sehingga ’kondisi layak terbelakang dan kalah’ (al-qabiliyyah lit-takhalluf wa al-hazimah) bisa dihilangkan.
Kita bisa melakukan evaluasi internal, apakah para elite dan lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah menerapkan profesionalitas dalam pendidikan mereka? Apakah tradisi ilmu dalam Islam sudah berkembang di kalangan para profesor, dosen-dosen, dan guru-guru bidang keislaman? Apakah konsep ilmu dalam Islam sudah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam? Apakah para pelajar mencari ilmu untuk mencari dunia atau untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah? Apakah budaya kerja keras dan sikap ’zuhud’ terhadap dunia sudah diterapkan para elite umat? Apakah ashabiyah (fanatisme kelompok) masih mewarnai aktivitas umat? Pada tataran keilmuan, bisa diteliti, apakah sudah tersedia buku-buku yang mengajarkan Islam secara benar dan bermutu tinggi pada setiap bidang keilmuan?
Semua ini membutuhkan kerja yang berkualitas, kerja keras, kesabaran, ketekunan, kerjasama berbagai potensi umat, dan waktu yang panjang. Karena itu, disamping berbicara tentang bagaimana membangun masa depan Indonesia yang ideal, yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi kondisi internal umat Islam dan lembaga-lembaga dakwahnya, agar menjadi sosok-sosok dan lembaga yang bisa diteladani oleh umat manusia.
Jadi, tugas umat Islam bukan hanya menunggu datangnya pemimpin yang akan mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat Islam dituntut untuk bekerja keras dalam upaya membangun satu generasi baru yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas ’Salahuddin al-Ayyubi’.
Dan itu tidak mungkin terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia – terutama lembaga-lembaga dakwah dan pendidikannya – amat sangat serius untuk membenahi konsep ilmu dan para ulama atau cendekiawannya. Dari sinilah diharapkan lahir satu generasi baru yang tangguh (khaira ummah): berilmu tinggi dan beraklak mulia, yang mampu mewujudkan kehidupan yang mulia.
Jika generasi baru itu lahir, maka akan lahirlah sebuah peradaban baru, sebagaimana pernah terjadi di masa-masa lalu. Untuk itulah, selama bulan Ramadhan 1443 H, saya melakukan kajian setiap habis Subuh, tentang kebangkitan Generasi Gemilang 2045. Kajian ini sangat penting agar kita tidak terlambat dalam menyiapkan lahirnya satu generasi gemilang pada saat Indonesia berumur 100 tahun. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 13 April 2022).
Editor: Sudono Syueb