Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwah.com, Deppk - Pada hari Senin (11/4/2022), saya mengisi Kajian Dhuhur di Masjid Maghfirah, Pusdiklat Mahkamah Agung, Megamendung Bogor. Peserta kajian itu adalah puluhan hakim muda yang sedang mengikuti pendidikan di tempat tersebut. Temanya tentang Ramadhan dan Pendidikan Jiwa.
Seperti kita ketahui, tujuan puasa dan ibadah kita di bulan Ramadhan sangatlah jelas, yakni kita diharapkan menjadi orang yang taqwa. Yang menonjol pada puasa adalah ibadah fisik. Tapi, dampak yang diharapkan adalah dampak kejiwaan: la’allakum tattaqun; semoga kita menjadi taqwa. Taqwa jelas kondisi jiwa, yang diwujudkan dalam bentuk ibadah badan. Karena itu, pada hakikatnya, puasa Ramadhan adalah ibadah pembersihan kejiwaan yang dikenal dengan istilah “tazkiyyatun nafs”.
Tazkiyyatun nafs menjadi satu tugas penting yang diemban oleh Nabi Muhammad terhadap umat beliau. “Dialan (Allah) yang telah mengutus kepada ummat yang ummi, seorang Rasul dari kalangan mereka; dia membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah.” (QS 62:2).
Karena itu, kewajiban besar manusia pengikut Nabi Muhammad saw adalah melakukan upaya pensucian jiwanya. “Sungguh telah meraih kemenangan, orang yang mensucikan (jiwa)nya, dan merugikan orang yang mengotorinya.” (QS 91:9-10).
Nabi Muhammad saw bersabda: “Allah SWT berfirman bahwa sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif, kemudian datanglah setan kepada mereka, maka kemudian setan pun menyelewengkan mereka dari agama mereka.” (HR Muslim).
Jiwa manusia memang diberi kemampuan oleh Allah untuk memilih yang baik dan yang buruk. (QS 91:8). Maka, beruntunglah orang yang mau mensucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotori jiwanya. Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan, bahwa maksud mensucikan jiwa adalah menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Ada doa khusus yang dibaca Rasulullah saw saat membaca ayat ini: “Allahumma Ẩti nafsiy taqwâhâ Anta waliyyuhâ wa-mawlâhâ wa khayru man zakkâhâ.” (Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketaqwaannya, Engkaulah wali dan Tuannya; dan Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya).
Manusia adalah makhluk yang terdiri atas jiwa dan raga. Keduanya merupakan satu kesatuan yang unik dalam membentuk sosok bernama “manusia”. Islam tidak mengenal pemisahan yang ekstrim antara tubuh dan jiwa, sehingga ibadah dalam Islam juga memadukan dimensi jiwa dan raga. Sholat, haji, puasa, dan sebagainya, merupakan paduan yang harmonis dan unik antara aspek jiwa dan raga. Dalam shalat, orang diwajibkan suci lahir dari hadats dan najis. Secara batin, dia pun harus suci dari penyakit jiwa, seperti riya’ dan ujub. Puasa dalam Islam adalah ibadah yang secara ketat melatih badan untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Namun, pada saat yang sama, puasa harus didasarkan pada aspek kejiwaan, seperti niat yang ikhlas karena Allah. Begitu pula berbagai jenis ibadah lainnya.
Dalam Islam, jiwa-raga merupakan satu kesatuan yang unik. Seorang yang melacurkan tubuhnya, misalnya, tetap dipandang berdosa dan mengotori jiwanya, meskipun ia melacur demi membantu ekonomi keluarganya. Laki-laki dan perempuan yang berzina, meski tidak saling merugikan, tetap merupakan kejahatan serius dalam Islam. Sama halnya, tangan yang mencuri harta orang lain, tetap dipandang berdosa, meskipun ia mengaku jiwanya tetap suci selama mencuri, sebab ia mencuri untuk tujuan pembangunan musholla.
Itulah indahnya ibadah dalam Islam. Begitu ketat dan jelasnya petunjuk Rasulullah saw dalam pelaksanaan ibadah puasa, baik secara jasmani maupun rohani. Selama puasa, kita dilatih secara fisik, menahan lapar dan dahaga, dan pada saat yang sama, diharuskan menjalani puasa batin agar menjaga diri dari berbagai penyakit hati yang dapat merusak ibadah puasa. Niat baik saja tidak cukup. Niat baik harus juga disertai dengan cara yang baik, yang sesuai dengan ajaran Nabi saw.
Saat Ramadhan, kita dilatih dengan keras untuk mensucikan jiwa dengan cara menundukkan hawa nafsu kita. Nafsu harus ditundukkan oleh manusia, bukan dibunuh. Jangan sebaliknya, manusia dikendalikan oleh hawa nafsunya. “Adapun orang yang durhaka, dan mengutamakan kehidupan dunia, maka neraka Jahim-lah tempat dia. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sorgalah tempat dia.” (QS 79:37-41)
Nabi saw bersabda: “al-mujaahid man jaahada nafsahu” (HR Tirmidzi). Seorang mujahid adalah orang yang berjuang menundukkan nafsunya. Menundukkan nafsu adalah jihad yang besar, sehingga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dengan segala macam latihan ibadah yang sungguh-sungguh (mujahadah), kita berharap menjadi mukmin yang bahagia, memiliki nafsu yang tenang (nafsul-muthmainnah). “Wahai nafsul-muthmainnah (wahai jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha dan diridhai.” (QS 89:27-28).
Imam Ibn Katsir menyatakan, bahwa saat sakaratul maut, dan saat di akhirat nanti, hamba Allah dengan jiwa yang tenang (muthmainnah) akan mendapatkan seruan: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu,” dengan hati yang ridha dan diridhai, yakni “dia rela menjadikan Allah sebagai Tuhannya dan Allah pun ridha menjadikan dia sebagai hamba yang dikasihi-Nya. Ibnu Katsir mengutip sebuah doa Rasulullah saw: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan jiwa yang tenang yang beriman akan perjumpaan dengan-Mu dan ridha atas keputusan-Mu dan merasa puas dengan pemberian-Mu.” (Allahumma inniy as’aluka nafsan muthmainnatan tu’minu bi-liqâika wa-tardha bi-qadhâika wa-taqnau bi-‘athâika).
Kemuliaan jiwa itulah yang ditekankan oleh Islam; agar manusia mencapai taraf tinggi sebagai manusia, dan tidak terjebak dalam peradaban yang memuja syahwat dan menuhankan hawa nafsu, sebagaimana dibudayakan oleh paham sekularisme dewasa ini.
Dengan berbasiskan jiwa-jiwa yang bersih dan tenang itulah peradaban yang mulia dapat ditegakkan. Karena itu, benarlah apa yang disebutkan dalam lagu Indonesia Raya: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Tanpa jiwa yang bersih dan sehat, maka pembangunan fisik akan melahirkan kehidupan yang dipenuhi dengan keserakahan dan saling permusuhan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 11 april 2022).
Editor: Sudono/Humas DDII JATIM