➖➖➖➖➖➖
Ketika Goenawan Muhamad Anti Islamisme
“Pancasila sakti? Bukan. Yg sakti tekad rakyat utk menjaga demokrasi, kemerdekaannya, dari komunisme maupun “Islamisme,” kata pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad (GM). Tweet GM yang ditulis pada 1 Oktober 2017 ini, saat itu dikomentari 488 orang, diretweet 482 orang dan disukai 876 orang.
GM nampaknya terpengaruh dengan Prof Bassam Tibi yang bukunya diterbitkan Mizan 2016 lalu, yang berjudul Islam dan Islamisme. Menurut Tibi, Islamisme sebagai kategori politik keagamaan adalah dua entitas yang berbeda.
Islamisme, kata Tibi, bukanlah bagian dari Islam. Islamisme merupakan tafsir politis atas Islam. Dasar dari Islamisme bukan pada Islam (sebagai keyakinan), tetapi pada penerapan ideologis atas agama di ranah politik.
Lebih jauh Tibi menyatakan bahwa Islamisme tidak hanya sekadar masalah politik.
Islamisme berkaitan dengan politik yang diagamaisasikan (religionized politics). Oleh Tibbi, model tersebut dianggap sebagai contoh yang paling kuat dari global phenomenon of religious fundamentalism. Menurutnya, Islam memang “… menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun tidak mensyaratkan suatu tata pemerintahan khusus.”
Haidar Bagir dalam diskusi tentang buku ini di UIN Walisongo Semarang 2016 lalu, menyatakan bahwa bahwa, fenomena Islam politik, yang disebut ‘Islamisme’ dalam karya Bassam Tibi ini, harus direspon secara jernih. Islamisme itu mendukung demokrasi, namun hanya sebagai kamuflase, hanya demokrasi kotak suara, padahal sebenarnya mereka bergerak untuk menegakkan sistem khilafah. Inilah yang harus diwaspadai.
“Jika kelompok Islamiyyun mementingkan gerakan politik sebagai puncak keberislaman, maka saya lebih setuju jika puncak keislaman adalah ihsan, yakni tindakan kebaikan,” tegas Haidar. Ia merujuk pada pemikirannya, bahwa muslim Indonesia harus memahami rukun islam, rukun iman dan rukun ihsan.
Sementara itu, Jalaluddin Rahmat dalam diskusi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (14/4/2016), menyatakan hal senada perbedaan Islam dan Islamisme.
Islam menurutnya adalah agama, sedangkan Islamisme berarti regionalisasi politik atau pengagamaan politik. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh kalangan ekstrimis adalah Islamisme, bukan Islam. Tibbi, pemikir Islam yang bermukim di Jerman mengatakan situasi dunia saat ini mengalami apa yang disebutnya ‘benturan antara fundamentalisme dan akal sehat’.
Bagaimana agama memberikan kontribusi kepada masyarakat dan negara, kepada nilai-nilai sosial yang positif dalam kehidupan?
Jalal menawarkan jalan kebaikan itu sebagai Islam Madani, tipologi keberislaman yang pluralis, inklusif,fokusnya pada isu-isu kemanusiaan, dan orientasi keberagamaannya intrinsik, lebih pada memperbaiki diri sendiri dan cinta kasih. Mengajarkan nilai-nilai moral universal dan hubungannya dengan negara adalah mendukung nation state.
00
Jadi ringkasnya menurut para cendekiawan di atas, Islam adalah agama dan Islamisme adalah pengagamaan politik (Islam politik). Cara pandang seperti ini sebenarnya cara pandang khas ilmuwan Barat. Mereka ingin memisahkan Islam dengan politik.
Islam diharapkan seperti agama lain, hanya mengurusi masalah ibadah dan tidak campur tangan dalam masalah muamalah, termasuk politik. Meskipun dalam kenyataannya, tokoh-tokoh mereka aktif melakukan kegiatan politik.
“Di dunia Barat pada umumnya, agama (religion) diartikan sebagai faith, yaitu keyakinan pribadi yang dapat dilihat dari berbagai bentuk ekspresi.
Dengan demikian jika menerima Islam sebagai keyakinan pribadi –yang hanya berkaitan dengan kesalehan individu- berarti telah membatasi wilayah pengaruh dan geraknya hanya pada masalah-masalah ibadah praktis, upacara keagamaan dan ucapan religius yang tidak berdampak pada konsep-konsep mengenai wilayah-wilayah lain,”kata Dr Muhammad Imarah dalam bukunya ‘Ma’rakatul Musthalahat bainal Gharbi wal Islami (Perang Terminologi Islam versus Barat).
Lebih lanjut Imarah menyatakan, ”Islam lebih dari sekedar agama seperti yang ketat dipahami oleh Barat sekuler pada umumnya.
Sebab misi utama Islam, diantaranya adalah membangkitkan gerakan perubahan sosial dan meluruskan pola pikir umat manusia dengan acuan pandangan dunia tauhid –yaitu menerjemahkan tauhid dalam sikap, perilaku dan pemikiran- dalam rangka menegakkan keadilan di bawah bimbingan Ilahi di muka bumi.”
Maka menurut cendekiawan Islam Mesir ini, ”Secara etimologis istilah ad Din dalam bahasa Arab memberi empat macam arti (Ibnu Manzhur, Lisan al Arab, entry dana). Pertama, mempunyai arti hak untuk menguasai, mendominasi, memerintah dan menaklukkan. Kedua, memberi arti mirip dengan arti pertama akan tetapi berbeda penekanannya, yaitu patuh, tunduk, pasrah dan merendahkan diri. Ketiga, memberi arti syariah dan rambu-rambu jalan yang harus dipatuhi, hukum, adat istiadat dan kebiasaan. Keempat, memberi arti batasan atas perbuatan, pengadilan dan perhitungan neraca amal.”
Dalam bukunya ini, sayangnya Imarah tidak membahas tentang Islam politik.
Islam politik atau Islamisme memang istilah baru yang dihadirkan intelektual Barat untuk memojokkan Islam.
Mereka menginginkan Islam hanya sebagai nilai ruhiyah, sebagaimana agama-agama lain. Mereka trauma ketika Islam pernah berjaya membentuk peradaban yang agung lebih dari 1300 tahun di dunia.
Tentu saja, wajar kelompok-kelompok Islam berbeda dalam memahami hubungan Islam dan politik.
Contohnya dalam konsep demokrasi. Partai Masyumi di Indonesia, Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat Islami di Pakistan misalnya, tidak serta merta menolak demokrasi. Tapi mereka mencoba meng-Islamkan demokrasi. Mencari titik temu antara demokrasi dan Islam.
Mohammmad Natsir, tokoh Masyumi, misalnya mengajukan konsep teistik demokrasi, demokrasi yang berketuhanan.
Abul A’la Maududi mengajukan konsep teodemokrasi. Yakni sistem politik Islam itu gabungan dari teokrasi dan demokrasi. Syekh Yusuf Qaradhawi ulama yang sangat dihormati pengikut Ikhwanul Muslimin menyatakan hal yang senada.
Natsir menyatakan bahwa hal-hal yang tidak bertentangan dengan ‘prinsip Islam’ bisa dimusyawarahkan. Hal yang bertentangan dengan prinsip Islam, tidak bisa dimusyawarahkan.
Misalnya judi, minuman keras dan pelacuran yang jelas haram dalam Islam, tidak bisa dimusyawarahkan untuk legalisasinya dan seterusnya…
Hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir. Dalam konsepnya mereka menolak mentah-mentah demokrasi, tapi di lapangan politik praktis mereka ,’menerima demokrasi’.
Selain Hizbut Tahrir kelompok ‘Salafi Haraki’ juga menolak demokrasi.
Tapi, baik Masyumi, Hizbut Tahrir, Salafi, Ikhwanul Muslimin dan Jamaat Islami sama-sama menginginkan dunia ini kembali Islami.
Mereka sama-sama merasakan dunia yang kini dikuasai peradaban Barat, melahirkan peradaban materialisme. Peradaban yang cenderung menghormati materi dan mengesampingkan jiwa. Peradaban yang lebih menonjolkan adu senjata daripada ‘adu ilmu’.
Dan sayangnya sekulerisme peradaban Barat ini melanda juga di dunia Arab.
Bila ditelaah secara mendalam, maka konsep politik Islam penuh dengan adab atau akhlak yang mulia.
Hampir semua kelompok Islam, termasuk Hizbut Tahrir, menginginkan sebuah pemerintahan yang Islami diraih dengan cara damai.
Negara Madinah yang dibentuk Rasulullah bersama sahabat-sahabat yang mulia, berhasil mewujud dengan cara damai dan tanpa kekerasan sama sekali.
Tapi mereka yang anti Islam biasanya dengki bila kaum Muslimin berhasil mengendalikan pemerintahan.
Lihatlah FIS di Aljazair ketika tahun 1991 berhasil menang dalam pemilu, kemudian dibubarkan dan anggota-anggotanya dibunuh dan diburu oleh militer di sana (kerjasama dengan Barat). Erdogan yang kini memegang pemerintahan Turki dan mencoba melakukan Islamisasi di sana, terus diguncang prahara.
Tahun 2016 lalu, ada gerakan kudeta untuk mendongkelnya. Saddam Husein –meski pemerintahannya tidak Islami—tapi karena membangun angkatan bersenjata yang digdaya yang dapat mengancam Israel dan Amerika, tahun 2003 diinvasi dan dihancurkan. Sehingga timbul ISIS dan Irak mengalami krisis sampai sekarang, karena Amerika memaksa dirinya menguasai ladang-ladang minyak di negara 1001 malam itu.
Di Mesir, Ikhwanul Muslimin berhasil menang dalam pemilu yang demokratis pada tahun 2013. Tapi kemudian dikudeta paksa oleh Jenderal as Sisi sehingga Presiden Mursi lengser (hingga kini mendekam dalam tahanan).
Kudeta berdarah as Sisi dan tindakan-tindakan kejamnya kemudian menewaskan ribuan kaum Muslimin di Mesir, khususnya jamaah Ikhwanul Muslimin.
Di negeri kita, Partai Islam Masyumi pernah berjaya meraih nomor dua dalam pemilu 1955.
Tapi karena Presiden Soekarno terlalu dekat dengan komunis, maka pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan. Masyumi direhabilitasi tahun 1967, tapi tokoh-tokohnya tidak boleh berpolitik di masa Presiden Soeharto.
Jadi pengalaman di banyak negara, dan khususnya negeri kita, gerakan Islam politik senantiasa melakukan gerakan dengan damai (gerakan PRRI dan Di/TII timbul karena presiden terlalu dekat dengan komunis dan kekosongan pemerintahan saat itu).
Malahan, sejarah dunia mencatat, Islam masuk dan mewarnai Nusantara ini abad ke-7 dengan damai.
Gerakan kekerasan, biasanya timbul, karena musuh-musuh Islam yang memulai.
Seperti ketika Belanda dan Portugis datang ke tanah air, melakukan penjajahan dan tindak kekerasan, sehingga tampil pahlawan-pahlawan Islam dari seluruh pelosok tanah air.
Dalam politik, memang seringkali terjadi adu argumentasi, adu gagasan bahkan kadang adu kekuatan dan seterusnya.
Beda dengan dunia tasawuf, yang cenderung ‘manusia bersepakat’.
Dalam politik, kaum non Muslim biasanya menyatu dengan kaum sekuler (Muslim) untuk mengegolkan pemikiran-pemikirannya agar mewujud dalam kebijakan negara.
Begitu pula kaum Muslim akan berusaha sekuat tenaga mewujudkan gagasan-gagasan Islaminya. Di sinilah benturan itu terjadi.
Maka menyadari kenyataan ini, politisi-politisi Islam sejak kemerdekaan 1945 sepakat menempuh jalur demokrasi dalam perjuangannya. Mayoritas tokoh-tokoh Islam dan ormas-ormas Islam saat itu, dua bulan setelah merdeka (November 1945) sepakat membentuk Partai Islam Masyumi.
Mereka sadar bahwa di masyarakat Indonesia yang majemuk ini, ada kekuatan-kekuatan minoritas –yang didukung asing- yang tidak bisa diremehkan kekuatannya.
Walhasil, bila Islamisme atau gerakan Islam politik ini dihilangkan di tanah air, maka non Muslim dan kaum sekuler akan menguasai seluruh sektor di negeri ini.
Setelah sebelumnya mereka menguasai sektor ekonomi, budaya, media massa dan lain-lain.
Dan itulah tampaknya yang diinginkan Barat dan cendekiawan pembebeknya.
Entah mengapa Haidar Bagir dan Jalaluddin Rahmat ikut-ikutan mengampanyekannya. Mungkin karena mereka berdua sepakat bahwa faham pluralisme agama itu benar adanya. Wallahu a’lam.
Sihir ‘pemikiran Barat’, memang menyilaukan mata dan fikiran.
Kita mungkin sepakat bila dinyatakan bahwa Islam menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun tidak mensyaratkan suatu tata pemerintahan khusus.
Tapi bila dinyatakan Islam tidak berurusan dengan politik (Islam Politik/Islamisme dalam pengertian ini), maka itu menyalahi ijmak ulama yang shalih.
Yang paling aneh, adalah ketika Goenawan Mohamad –tokoh penting Jaringan Islam Liberal- menyamakan komunisme dan Islamisme.
Komunisme dalam doktrinnya menyatakan bahwa revolusi itu adalah bagian penting (rukun) dari meraih kekuasaan. Dan revolusi dalam pemikiran komunisme bermakna membunuh orang berapapun tidak masalah.
Karena aqidah mereka, ateisme, menghilangkan pertanggungjawaban di akhirat dari perilaku di dunia.
Sedangkan Islamisme atau Islam Politik, sebagaimana bisa kita gali dari para ulama/cendekiawan Islam yang shalih, sangat menghargai jiwa manusia.
Misalnya, jihad dalam al Quran mempunyai makna yang luas dan mulia. Jihad dengan fisik (kekerasan), bila musuh lebih dulu menggunakan kekerasan.
Jihad fisik bermakna defensif. Sedangkan jihad ilmu (dakwah), bermakna ofensif, karena dakwah adalah jalan yang mulia, yang akan menerangi manusia menuju jalan Allah (cahaya di atas cahaya).
Jadi keliru besar, bila GM samakan Islamisme dan Komunisme. GM nampaknya perlu belajar kembali Islam dan sejarah yang benar.
Memang tidak mudah menyatukan tasawuf dan politik. Wallahu alimun hakim. II
Nuim Hidayat (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok, 2012-2021).