Oleh Nuim Hidayat
Dosen Akademi Dakwah Indonesia, Depok
Dewandakwahjatim.com – Heboh soal rencana penggantian nama di jalan Menteng dengan nama Kemal Attaturk, mengingatkan kunjungan Presiden Jokowi ke Turki.
Ketika berkunjung ke Turki, pada 6 Juli 2017, Jokowi meletakkan karangan bunga berwarna merah putih yang berbentuk lingkaran ke makam presiden pertama Turki, Kemal Attaturk.
Pada 2017 itu, Jokowi meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama. Menurut Presiden, pemisahan tersebut untuk menghindari gesekan antarumat.
“Memang gesekan kecil-kecil kita ini karena pilkada, karena pilgub, pilihan bupati, pilihan wali kota, inilah yang harus kita hindarkan,” kata Presiden saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3/2017,).
Karena rentan gesekan itulah, Presiden meminta tidak ada pihak yang mencampuradukkan politik dan agama.
“Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,” kata Jokowi. Jokowi berpesan kepada masyarakat untuk menghindari konflik horizontal, seperti antarsuku atau antaragama. Keberagaman suku, agama, dan bahasa, kata Kepala Negara, justru harus jadi kekuatan NKRI.
000
Pernyataan Jokowi bahwa agama harus dipisah dengan politik seolah-olah indah dan keren. Pernyataannya ini mirip dengan pendapat Soekarno dan Kemal Attaturk.
Ketika agama dipisah dari politik apa yang terjadi? President of Hayrat Foundation perwakilan Turki di Indonesia, Cemal Sahin, mengungkapkan fakta tentang kondisi Turki selama menjadi negara sekuler. Dia mengatakan bahwa saat itu, Turki justru dalam kondisi tidak baik.
“Turki, semakin sekuler semakin miskin, semakin lemah, semakin diktator,” kata Cemal saat menjadi pembicara dalam acara “2nd International Conference on Social Science (ICSS) 2019” yang digelar di Gedung FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, 5 November 2019. (Lihat republika.co.id).
Cemal menuturkan Turki menjadi negara sekuler dimulai sejak kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk yang menjabat sebagai presiden pertama Turki pada 1923 hingga kematiannya pada tahun 1938. Ia yang juga merupakan pendiri Republik Turki itu berhasil membangun Turki dalam sekularisme secara besar-besaran. Dia juga pernah menjabat sebagai perdana menteri pertama di 1920-1921.
“Selama memimpin Turki, Mustafa Kemal Ataturk membubarkan kesultanan dan kekhilafahan di Turki. Sebab menurutnya yang menyebabkan ketertinggalan umat Islam, adalah Islam itu sendiri. Ia juga menutup sekolah-sekolah Islam di Turki,” katanya.
Pada tahun 1925, lanjut Cemal, Kemal Ataturk mewajibkan masyarakat Turki untuk memakai pakaian Eropa. Anggapannya karena kiblat kemajuan Turki adalah Barat. Kemudian, pada 1927, Turki jadi negara sekuler. Lalu pada 1928, huruf Arab dilarang di Turki dan pada 1929, belajar Alquran dilarang.
Siapa yang mengajar Alquran akan dihukum mati,” terangnya. Cemal mengisahkan saat aturan itu berlaku, ada seorang nenek tua yang mengajarkan Alquran kepada cucunya. Hal itu terdengar oleh pemerintah pusat. “Seorang ibu di timur Turki, mengajarkan Alquran kepada cucunya. Ketika pemerintah datang, dia sudah meninggal, karena usianya memang sudah tua, tapi ternyata keluarganya dihukum mati juga,” katanya.
Tidak berhenti di sana, Cemal mengatakan bahwa pada tahun 1930, azan dilarang. Jilbab juga dilarang saat itu. Menurutnya semua itu dilakukan untuk memajukan Turki. Padahal faktanya, di saat sekuler, Turki lemah dan miskin.
Kondisi yang mengenaskan itu berlangsung sampai sekitar 70 tahun. Setelah tahun 80-an, aturan-aturan buatan Mustafa Kemal Ataturk perlahan dicabut dan saat ini di bawah kepemimpinan Erdogan yang Islami, Turki mengalami kemajuan pesat dan luar biasa.
Di masa Soekarno rakyat Indonesia juga banyak yang tidak bahagia. Kemiskinan ‘merajalela’, Partai Islam Masyumi dibubarkan dan tokoh-tokohnya banyak dipenjara.
Bila pemerintah Jokowi memaksakan jalan di daerah Menteng itu bernama Kemal Attaturk, berarti istana rabun sejarah dunia. Tapi bagi umat Islam mungkin lebih baik, karena semakin jelas musuh dan kawan.
Dalam Islam, politik adalah bagian dari ajaran Islam. Yakni umat Islam dalam berpolitik, mesti dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Nilai keadilan, kejujuran, keikhlasan dan lain-lain. Dengan landasan Al Qur’an dan Sunnah Nabi, maka ketika berpolitik umat Islam tidak menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan. Intinya umat Islam dalam berpolitik memadukan akal dan wahyu. Sementara itu kaum sekuler dalam berpolitik memadukan akal dan hawa nafsu. Sehingga yang terjadi adalah kerusakan. Presiden dan konco-konconya bisa bersenang-senang, sementara jutaan rakyat berada dalam kemiskinan.
Semoga pimpinan negara kita menyadari bahaya sekulerisasi dalam kehidupan bernegara. Wallahu azizun hakim. II Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia, Depok
Sumber: gwa dewan dakwah jatim
Ed. Sudono Syueb