DISKUSI ISLAMISASI ILMU DI UNPAD, ITB, DAN UI

Oleh: Dr. Adian Husaini(www.adianhusaini.id)

Editor: Sudono Sueb

Pada tahun 2008, saya berkesempatan mendampingi Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, mengisi acara diskusi di sejumlah kampus di Pulau Jawa. Pada 16 Desember 2008, Prof. Wan Mohd Nor memenuhi undangan diskusi terbatas dengan dosen-dosen Fakultas Sastra Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung. 
Sore harinya, beliau menghadiri undangan diskusi terbatas di Masjid Salman-ITB. Bagi Prof. Wan Mohd Nor, kunjungan pertamanya ke Masjid Salman ITB memiliki nuansa tersendiri, karena dia bersahabat cukup akrab dengan Bang Imad (Dr. Imaduddin Abdurrahim, alm.) tokoh Salman-ITB yang dikenal memiliki semangat tinggi dalam perjuangan Islam. Diskusi dihadiri oleh dosen-dosen ITB, Unikom, Unpad, dan juga mahasiswa dari berbagai kampus di Bandung.  
Bagi para akademisi Muslim di ITB dan juga kalangan akademisi muslim lainnya di Indonesia, ide Islamisasi Ilmu bukanlah hal yang baru.  Tahun 1981, penerbit Pustaka-Salman ITB, telah menerbitkan buku Islam dan Sekularisme, karya Prof. Naquib al-Attas. Tahun 1984, juga diterbitkan buku Islamisasi Pengetahuan karya Prof. Ismail Raji al-Faruqi. 
Pada kesempatan ini, Prof. Wan Mohd Nor juga sempat mengklarifikasi gagasan Islamisasi Ilmu dan kesalahpahaman yang selama ini terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, sehingga gagasan yang sempat berkembang pada tahun 1980-an itu kemudian tenggelam. Ide Islamisasi, menurutnya, terburu-buru menjadi populer tanpa disertai penjelasan dan konsep yang mendasar. Padahal, konsep itu sebenarnya telah dipikirkan dan dijabarkan bahkan diaplikasikan dengan matang oleh Prof. Naquib al-Attas. Pada bab berjudul “Dewesternisasi Pengetahuan” dari  buku terbitan Pustaka-Salman ITB tahun 1981, dikutip kata-kata Prof. Naquib al-Attas tentang karakter keilmuan Barat: “Saya memberanikan diri untuk menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam telah timbul dalam zaman kita adalah tantangan pengetahuan, memang, tidak sebagai tantangan terhadap kebodohan, tetapi pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Pengetahuan Barat itu sifatnya telah menjadi penuh permasalahan karena ia telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ia juga telah menyebabkan kekacauan dalam kehidupan manusia, dan bukannya perdamaian dan keadilan. Pengatahuan Barat tersebut berdalih betul, namun hanya memberi hasil kebingungan dan skeptisisme. Barat telah mengangkat peraguan dan pendugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistemologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran.” (hal. 195-196). 
Dua hari berikutnya, pada 18 Desember 2008, Prof. Wan Mohd Nor menghadiri diskusi ilmiah di Kampus UI Depok. Sifat dan karakter ilmu-ilmu sekuler Barat inilah yang juga dibahas oleh Prof. Wan saat berbicara dalam diskusi di FISIP UI ketika itu.  Acara diskusi di UI ini dibuka oleh Prof. Dr. Maswadi Raud, ketua Program Studi Ilmu Politik UI dan dimoderatori oleh Prof. Dr. Ahmad Suhelmi (alm.) Hadir juga sebagai pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dari UIN Jakarta dan Dr. Khalif Muamar. Menjawab pertanyaan seorang wartawan dalam diskusi tersebut, Prof. Wan menjelaskan, bahwa problem paling mendasar umat Islam adalah problem kekeliruan dalam keilmuan (confusion of knowledge), bukan problem kebodohan. Saat ini begitu banyak para cerdik pandai yang dimiliki umat Islam, tetapi memiliki ilmu yang keliru.  Akibatnya, konsep adil dan adab sebagaimana dikehendaki oleh Islam tidak bisa diterapkan. Sebagai contoh,  konsep demokrasi yang menempatkan semua manusia pada derajat yang sama dalam pengambilan keputusan. Orang yang saleh disamakan dengan orang jahat; orang pandai disamakan derajatnya dengan orang bodoh. “Jika untuk masuk UI ada seleksi, apakah tidak perlu dipikirkan, untuk memberikan suara pun nantinya perlu ada seleksi,” kata Prof. Wan, sambil mengimbau agar para pakar politik memikirkan masalah ini lebih lanjut. 
Pada kesempatan seminar di UI tersebut, Prof. Mulyadhi mempresentasikan aplikasi dari konsep Islamisasi Ilmu dalam bidang psikologi. Dia memulainya dari kritik terhadap Psikologi modern, yang menurutnya, justru telah menafikan “jiwa” manusia. Aneh, katanya, Ilmu jiwa, justru tidak membahas “jiwa” itu sendiri. Guru besar UIN Jakarta ini memang tengah serius dengan proyek terjemahan berbagai kitab-kitab klasik dalam berbagai bidang keilmuan, karya para ilmuwan Muslim terdahulu. Dengan itu, dia berharap, kaum Muslim memahami apa yang pernah dicapai oleh para ilmuwan Muslim terdahulu, yang sangat luar biasa. 
Dr. Khalif Mu’ammar, pada kesempatan yang sama,  memaparkan lebih lanjut implikasi dari hegemoni sekularisasi pada bidang politik dalam makalahnya yang berjudul “Dewesternisasi Politik Kontemporer: Islam dan Konstitusionalisme”. Menurutnya, demokrasi tak dapat dipisahkan dari sekularisme dan liberalisme karena memang eksistensinya tergantung pada kedua filsafat tersebut. Karenanya penilaian terhadap demokrasi tidak dapat dipisahkan pula dari penilaian terhadap sekularisme dan liberalisme.
Sejak kemunculan sekularisme, bidang yang pertama mendapat serangan ialah bidang politik. Karena tujuan sekularisme adalah agar supaya agama dan gereja tidak campur tangan dalam urusan dunia yang murni diserahkan kepada penguasa politik. Pemikiran sekuler telah memisahkan antara wahyu dan akal, agama dan sains dan seterusnya. Sekularisme berasumsi bahwa kedua perkara tersebut dilihat saling bertentangan dan tak dapat dipadukan, keduanya dilihat secara dikotomik. Dengan dualisme ini sekularisme telah menempatkan manusia dan Tuhan sebagai entitas yang berlawanan dan terpisah. Inilah yang dimaksud dengan desakralisasi politik. 
Desakralisasi politik memutuskan kuasa dunia dari kuasa transenden. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa pemerintahan agama akan menghalangi perubahan dan kemajuan. Manusia mengatur kehidupannya tanpa melibatkan bimbingan Allah SWT.Akhirnya keberhasilan sekularisasi politik  berimplikasi pada terkikisnya tatanan akhlak, etika dan moral. Dengan demikian jadilah para politisi terjun bebas ke jurang nalar Machiavelis ”al-ghayah tubarriru al wasilah” (tujuan menghalalkan segala cara). Politik bukan didasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama dan akhlak yang mulia, tetapi dipandang sebagai faktor keduniaan semata-mata, sebagai cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, dengan cara apa pun. Dr. Khalif Muamar juga memaparkan prestasi kaum Muslim dalam membangun negara berdasarkan konstitusi. Ia membandingkan Piagam Madinah (622 M) dan Magna Carta (1215).  
Peristiwa keilmuan di sejumlah kampus itu masih sangat relevan untuk kita renungkan maknanya. Hegemoni keilmuan sekuler yang begitu kuat terbukti telah sampai pada jalan buntu untuk memberikan solusi bagi keadilan, peradamaian dan kesejahteraan umat manusia. Umat Islam dituntut untuk memberikan solusi pemikiran dan keteladanan yang nyata dalam berbagai aspek peradaban. Wallaahu A’lam bish-shawab. (Depok, 8 Agustus 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *