KEKISRUHAN BANGSA BERAWAL DARI KEKACAUAN ILMU DI PENDIDIKAN TINGGI

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id), Ketua Umum DDII

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Setiap hari, seorang muslim berulang kali melantunkan doa: “Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat!”

Itulah doa kita setiap hari! Sadarkah kita bahwa jalan orang-orang yang diberi nikmat Allah adalah jalan hidup para Nabi, syuhada, shalihun dan shiddiqun! Jalan hidup mereka adalah jalan hidup paling mulia. Mereka hidup di jalan perjuangan; jalan dakwah; jalan tabligh! Jalan hidup dan jalan perjuangan mengajak manusia ke jalan Allah.

Karena itulah, sepatutnya kita sudah memahami dan menerima kebenaran ayat al-Quran yang menempatkan para pejuang di jalan Allah itu sebagai manusia-manusia terbaik: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim!” (QS Fushshilat: 33).

Bahkan, Allah menjanjikan, siapa yang menolong agama Allah, maka Allah pasti akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya! (QS Muhammad: 7). Allah juga mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam organisasi yang rapi. (QS Ash-Shaf: 4).

Umat Islam diberikan predikat sebagai umat terbaik (khaira ummah), jika mereka menjadi pejuang menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran. (QS Ali Imran:110).

Luqman al-Hakim menanamkan jiwa pejuang (jiwa dakwah) kepada anaknya, sejak dini. “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan berjuanglah untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran…” (QS Luqman: 17).

Jadi, begitu banyak ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang mengingatkan pentingnya seorang muslim menjadi pejuang dakwah (dai) dalam hidupnya. Bukan hanya itu. Untuk menjadi pejuang dakwah perlu persiapan yang matang; perlu ilmu dan hikmah, sebagaimana para nabi. Sebab, para dai itu pada hakikatnya adalah pelanjut perjuangan para nabi.

Dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali menempatkan bab khusus tentang amar ma’ruf nahi munkar. Disebutkan, bahwa jatuh bangunnya umat, hidup matinya umat, tergantung pada aktivitas dakwah ini. Dan penyebab utama kelemahan dakwah adalah terjangkitnya penyakit “hubbud-dunya”.


Jadi, itulah jalan hidup yang sepatutnya diidam-idamkan oleh anak-anak muda muslim: hidup mulia sebagai pejuang di jalan Allah! Tetapi, kita sadari, kita hidup di zaman yang dicengkeram oleh pemikiran materialisme-sekularisme; yang menempatkan kesuksesan duniawi dan capaian materi sebagai indikator kesuksesan hidup yang utama.

Negara pun disebut maju jika berhasil meningkatkan pendapatan rakyatnya. Sekolah atau kampus disebut maju jika murid dan mahasiswanya banyak sekali.

Apakah iman dan taqwa serta akhlak mulia dijadikan sebagai indikator untuk menentukan sekolah atau kampus fatvorit?

Apakah ketaqwaan dan akhlak mulia dijadikan sebagai indikator utama kesuksesan dan kemajuan suatu daerah atau bangsa ? Silakan dicermati!
Islam menjadikan kemajuan iman taqwa dan akhlak mulia sebagai indikator kemajuan, baik individu maupun sebagai bangsa. Bangsa yang rakyatnya beriman dan bertaqwa dijanjikan oleh Allah akan diberikan keberkahan hidup. Pasti rakyat akan hidup dalam keadilan dan kemakmuran, jika menjadikan iman dan taqwa sebagai landasan kehidupan. (QS al-A’raf: 96).

Karena itu, pasti akan menjadi musibah bagi bangsa kita, jika perguruan tinggi kita tidak serius dalam mendidik mahasiswanya menjadi orang-orang yang mukmin yang kuat imannya, semangat ibadahnya, dan mulia akhlaknya.
Sesungguhnya kekisruhan bangsa berawal dari sini. Yakni, pendidikan tinggi yang tidak menjalankan fungsi pendidikan yang sebenarnya! Sebab, Pendidikan Tinggi menjalankan pendidikan untuk anak-anak muda pilihan di Indonesia. Hanya sedikit rakyat Indonesia yang berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi. Para sarjana inilah yang akan menempati pos-pos kepemimpinan masyarakat.

Ketika mahasiswa dipandang sebagai komoditas atau alat produksi semata dan tidak dididik secara serius menjadi pecinta ilmu dan pejuang penegak kebenaran, maka dari situlah terjadinya awal kerusakan, baik secara individu maupun masyarakat. Mereka akan berlomba untuk merebut kekayaan dan jabatan dengan cara apa saja. Budaya kasih sayang dan tolong-menolong akan memudar, berganti menjadi budaya saling serang dan saling menjatuhkan.

Maka, benarlah yang dikatakan Prof. Syed Naquib al-Attad saat Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, bahwa kekacauan ilmu di peringkat pendidikan tinggi adalah masalah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Para tokoh kita pun tidak tinggal diam. Ribuan Perguruan Tinggi Islam sudah dididirikan.

Tapi, perjuangan di peringkat ini ini memang berat dan masih panjang. Kita bisa belajar dari Perang Badar. Ketika menyadari kekuatan musuh yang sangat dahsyat, disamping mengatur strategi yang jitu, Rasulullah saw pun berdoa dengan sangat khusyu’ dan sungguh-sungguh agar Allah memberikan pertolongan kepada kaum muslimin.

Janji Allah pasti ditepati: Jika kita menolong agama Allah, pasti Allah menolong kita! (Depok, 22 Maret 2025).

Admin: Kominfo DDII Jatim

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *