Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketus Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Lembaga negara sekaliber Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) — yang mengeluarkan peraturan melarang penggunaan jilbab bagi Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) putri – mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak. Akhirnya, BPIP mengubah kebijakannya dan mengijinkan paskibraka putri mengenakan jilbab saat pengibaran bendera saat Upacara Kemerdekaan 17 Agustus 2024, di IKN.
Kebijakan BPIP itu bukan hanya mengejutkan, tetapi juga menyulut kemarahan umat Islam se-Indonesia. Kebijakan itu pun mengherankan, karena bertahun-tahun sebelumnya penggunaan jilbab oleh paskibraka putri sudah menjadi hal yang biasa, dan tidak bermasalah.
Karena itulah, umat umat Islam dan bangsa Indonesia patut sangat prihatin dengan BPIP. Pada 15 Agustus 2024, MUI dan puluhan Ormas Islam meminta Presiden mencopot Kepala BPIP. BPIP dinilai tidak menghormati keyakinan umat Islam yang memandang pengenaan jilbab (menutup aurat) sebagai satu bentuk ibadah yang diyakini wajib dilaksanakan.
Jadi, BPIP saja masih bermasalah dalam pemahaman terhadap Pancasila. Bagaimana dengan sekolah-sekolah, pesantren dan kampus-kampus kita? Apakah para guru dan dosen di lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah memiliki pemahaman yang benar tentang Pancasila?
Pertanyaan itu harus dijawab. Jangan sampai para pelajar, santri, dan mahasiswa muslim menjadi korban dari pembelajaran yang salah tentang Pancasila. Kesalahan memahami Pancasila dapat memicu tumbuhnya dua sikap ekstrim.
Pertama, ekstrim kiri liberalisme dan sekulerisme. Pancasila ditempatkan sejajar dengan agama. Pancasila dijadikan sebagai alat untuk menggusur peran agama dalam kehidupan. Para pelajar di sekolah diajarkan bahwa Pancasila mengandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang mungkin saja berbeda dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Misalnya, seorang muslim di Indonesia bisa dikatakan sebagai “Pancasilais sejati” selama dia tidak korupsi, rajin bayar pajak, dan tidak mengganggu ketertiban umum. Meskipun, pada saat yang sama, ia tidak melaksanakan shalat lima waktu, tidak puasa Ramadhan, rajin mengumbar aurat, berzina, dan bahkan melakukan perbuatan syirik.
Pemahaman Pancasila semacam ini sangat tidak baik bagi pendidikan para pelajar, santri, atau mahasiswa muslim. Seharusnya, setiap muslim yang baik, yang rajin mengamalkan ajaran agamanya, maka ia sekaligus juga merupakan Pancasilais sejati. Pancasila jangan dibenturkan atau dipertentangankan dengan agama. Orang muslim yang baik, pasti ia seorang Pancasilais sejati.
Kedua, ekstrim kanan, yang berlebihan dalam memandang Islam dan Pancasila. Karena Indonesia tidak mendeklarasikan diri sebagai nagara Islam atau negara bersyariat Islam, maka mereka menganggap, Indonesia ini negara kafir. Bahkan, disebarkan pemahaman yang berlebihan, bahwa para anggota DPR dan pejabat pemerintah adalah kafir dan harus dimusuhi.
Kedua pemahaman tersebut sama-sama ekstrim dan perlu dihindari. Setidak-tidaknya ia perlu diberikan pemahaman tentang Islam dan Pancasila secara adil.
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam memiliki ajaran yang utuh yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam pun memiliki uswah hasanah (suri tauladan) yang baik – yaitu Nabi Muhammad saw – dalam seluruh bidang kehidupan. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, ada ajaran dan panduan dari Rasulullah saw.
Sifat ajaran Islam seperti itu berbeda dengan sifat agama-agama lain.
Karena itulah, para pengelola lembaga pendidikan Islam perlu sangat berhati-hati dan cermat dalam mengajarkan Pancasila kepada para murid mereka. Jangan sampai salah ajar atau tidak diajarkan sama sekali. Silakan ditelaah buku saya: Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: GIP, 2009).
Inilah pentingnya rumusan hubungan antara Islam dan Pancasila sebagaimana diputuskan oleh para ulama dalam Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983, yang antara lain menetapkan: “Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.”
Khusus untuk pimpinan dan pengelola pondok pesantren, sebaiknya menyiapkan guru-guru dan dosen-dosen Pancasila yang secara serius mendalami masalah Islam dan Pancasila. Sebagai contoh, di Pesantren At-Taqwa Depok, ada Dr. Suidat, guru Pancasila yang menulis disertasi doktornya tentang pemikiran Pancasila para tokoh Islam. Juga ada beberapa guru sejarah yang disiapkan secara khusus untuk memberikan pemahaman tentang Islam, Pancasila, dan sejarah peradaban Islam di Indonesia dan Asia Tenggara.
Dengan guru dan kurikulum yang baik tentang pendidikan Pancasila, insyaAllah akan terwujud para murid dan santri yang bersikap adil dalam memahami Islam dan Pancasila. Mereka memiliki pandangan dan sikap nasionalisme yang adil, yang bersumber dari hikmah. Semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga dari kasus BPIP soal paskibraka ini. Amin. (Depok, 19 Agustus 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim