Artikel Terbaru ke-1.905
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok - Dari semua tahap pendirian Pesantren At-Taqwa Depok, tahap yang terberat adalah pendirian At-Taqwa College (ATCO). Jenjang ini dimaksudkan sebagai tahap lanjutan dari pendidikan tinggi (SMA) bernama PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization).
Kami menyebut “SMA PRISTAC” sebagai pendidikan tinggi, sebab para santrinya rata-rata berumur 14-16 tahun. Mereka sudah dewasa; sudah akil baligh; sudah mukallaf. Artinya, mereka sudah terkena beban syariah dan sudah bertanggung jawab terhadap perbuatan (amalnya) sendiri. Tugas akhir mereka adalah menulis dan mempresentasikan makalah sebanyak empat kali.
Jenjang terakhir pendidikan di Pesantren At-Taqwa Depok adalah At-Taqwa College, yang berlangsung selama enam semester (2 tahun). Santrinya rata-rata berumur 17-19 tahun. Pada jenjang ini, para santri mengambil sekitar 40 mata kuliah. Mereka dilatih dengan tradisi literasi yang tinggi dan ketrampilan menulis. Tugas akhir mereka mempresentasikan makalah di satu universitas di Malaysia.
Lulus At-Taqwa College, para santri juga lulus pendidikan formal setingkat SMA. Mereka pun sudah berpikir untuk melanjutkan kuliah. Ketika itulah kami bersepakat -- para santri dan orang tuanya – agar mereka melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, dengan membuka rombongan belajar (kelas khusus) di Pesantren At-Taqwa.
Program Studi (Jurusan) yang diambil adalah Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), dengan kekhususan bidang jurnalistik dan pemikiran Islam. Alhamdulillah, angkatan pertama ini sudah memasuki tahun terakhir. Beberapa mahasiswanya hampir menyelesaikan penulisan skripsinya. Aktivitas utama mereka adalah sebagai guru dan pembimbing santri serta aktiv dalam berbagai kegiatan dakwah dan pendidikan.
Kelas khusus jurnalistik dan pemikiran Islam STID Mohammad Natsir ini kami jadikan sebagai embrio sebuah kampus beradab. Kelas mahasiswa masih menyewa di Pesantren At-Taqwa Depok. Di kelas ini, konsep “universitas ideal” sebagaimana digagas Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dicoba untuk diterapkan.
Sementara itu, dalam sejarahnya yang hampir 50 tahun, STID Mohammad Natsir telah terbukti melahirkan banyak guru dan dai pejuang. Mohammad Natsir adalah pelopor pendirian perguruan tinggi di Indonesia. Pada 8 Juli 1945, untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki universitas sendiri, yaitu Sekolah Tinggi Islam. Kampus ini didirikan oleh para tokoh, dengan ketua panitia Mohammad Hatta dan Sekretarisnya Mohammad Natsir.
Sosok Mohammad Natsir menjadi inspirator dan teladan dalam dakwah dan pendidikan. Ia seorang guru teladan, dai teladan, dan juga negarawan teladan. Negara memberinya gelar Pahlawan Nasional. Pemikiran-pemikirannya terhimpun dalam 70 lebih judul buku. Organisasi yang didirikannya, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) terus berkembang dan menyebarkan dakwah di seluruh pelosok Nusantara.
Karena itulah, kami tidak ragu-ragu untuk mendorong anak-anak kami dan juga santri kami untuk melanjutkan kuliah di STID Mohammad Natsir. Alhamdulillah, banyak santri dan orang tuanya memiliki idealisme yang tinggi untuk bersama-sama berjuang mewujudkan satu perguruan tinggi ideal. Yakni, satu perguruan tinggi yang benar-benar menerapkan konsep pendidikan tinggi yang ideal, yang mendidik para mahasiswanya menjadi manusia seutuhnya (al-insan al-kulliy atau universal man).
Pada angkatan pertama, hampir semua alumni Pesantren At-Taqwa bergabung di kampus ini. Ada Azzam Habibullah, yang pada tahun 2023, terpilih sebagai salah satu “Inovator Sosial Muda Top Dunia” oleh lembaga kewirausahaan sosial dunia, Ashoka. Profil Azzam Habubullah dimuat dalam buku “Ideas That Are Changing The World: Leading Social Entrepreneurs” yang dirilis Ashoka secara global pada Kamis (12/1/2023).
Sebelumnya, Azzam menempuh pendidikan di At-Taqwa College, Pesantren At-Taqwa Depok, dan menulis skripsi berjudul: “Kritik terhadap Netralitas Ilmu.” Beberapa tahun sebelumnya, Azzam adalah anggota delegasi muda Indonesia pada pergelaran konferensi kepemudaan dunia Caretakers of the Environment Intenational yang digelar di tiga negara, USA, Austria, dan Turki pada 2017-2019.
Selain itu, ia juga pernah mendapat penghargaan sebagai Duta Lingkungan oleh Wali Kota Medan. Dan pada tahun 2021, dinobatkan sebagai 9 Anak Muda Pembaharu Indonesia oleh Ashoka.
Selain Azzam, ada Fatih Madini, Faris Ranadi, Zein Addin, Rofiq, Faiz Rasyidi dan lainnya. Saat nyantri, Fatih Madini sudah menerbitkan dua bukunya, Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia (2018) dan Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita (2020). Saat menjadi mahasiswa STID Mohammad Natsir, ia menerbitkan bukunya: Solusi Kekacauan Ilmu (2022). Faris Ranadi memiliki kemampuan menulis dan Bahasa Inggris yang baik. Ia pernah menerbitkan novelnya yang berjudul “The Rosemary” dan Kumpulan tulisannya telah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Pemikiran Islam dan Tantangannya di Era Globalisasi”.
Angkatan kedua dan ketiga kelas Jurnalistik dan Pemikiran Islam semakin banyak diisi oleh alumni Pesantren At-Taqwa yang memiliki berbagai potensi untuk dikembangkan menjadi dai yang unggul. Ada yang berpotensi sebagai wirausahawan, penulis, juga pemimpin politik dan militer.
Di Angkatan kedua, mahasiswi STID Mohammad Natsir bernama Reisya Callista telah menerbitkan bukunya berjudul: Kebebasan dalam Perspektif Barat dan Islam (2024). Di angkatan ketiga, sejumlah mahasiswanya juga siap menerbitkan buku mereka. Yang segera terbit adalah buku berjudul “Pandangan Hamka tentang Islam dan Budaya” karya Nabil Abdurrahman (19 tahun). Sehari-hari, Nabil juga menjadi guru di SD At-Taqwa yang bernama PADI (Pesantren Adab dan Ilmu).
InsyaAllah, setelah tiga tahun berjalan, kelas Jurnalistik dan Pemikiran Islam STID Mohammad Natsir mulai menampakkan hasilnya, sebagai satu kampus beradab. Tentu saja, banyak yang masih harus ditingkatkan kualitas pendidikannya. Mohon doanya.
Kami sangat menekankan agar para mahasiswa memiliki aktivitas dakwah dan perkuliahan secara bersamaan. Intinya, pendidikan yang memadukan aspek intelektualisme dan aktivisme secara proporsional. Model pendidikan seperti inilah yang telah melahirkan banyak intelektual dan ulama pejuang, seperti Mohammad Natsir, Buya Hamka, dan sebagainya.
Walhasil, perjuangan membangun satu kampus beradab, sangatlah berat. Godaan dan jebakan materialisme dan sekularisme begitu kuat menggoda para santri, sehingga mereka lupa tujuan mencari ilmu yang sebenarnya. Semoga hal itu tidak banyak terjadi pada santri-santri kita. Dan semoga Allah menolong kita semua. Amin….
Admin: Kominfo DDII Jatim