MERENUNGKAN KEMBALI MAKNA “KELAS BAWAH”,“KELAS MENENGAH” DAN “KELAS ATAS”

Artikel Terbaru ke-1.884
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Dakwah Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Suatu ketika di sebuah group WA, seorang Ustadz mengirimkan sebuah video berupa ajakan agar umat Islam Indonesia serius dalam perjuangan bidang ekonomi. Jumlah kelas menengah dan kelas atas perlu ditingkatkan. Ajakan seperti itu tentu sangat mulia dan perlu kita sambut dengan baik.

Akan tetapi, patutlah kita renungkan penggunaan istilah: “kelas bawah”, “kelas menengah”, dan “kelas atas”. Apakah istilah semacam ini tepat digunakan dalam menggambarkan strata sosial masyarakat muslim? Marilah kita telusuri makna istilah-istilah itu.

Dalam sebuah artikel bertajuk “Pengertian Kelas Sosial Bawah dan Macam-Macam Kelas Sosial Lainnya”, (Kumparan.com, 16/11/2023), disebutkan, bahwa kelas sosial bawah adalah golongan orang dalam masyarakat yang memiliki pendapatan rendah dan sering kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok.

Dalam KBBI, kelas sosial bawah merupakan golongan orang dalam masyarakat yang menduduki tingkat sosial terbawah. Mereka mendapat pendapatan yang jauh lebih sedikit daripada kebutuhan pokoknya, dan termasuk dalam orang miskin.

Masyarakat yang termasuk dalam golongan kelas sosial bawah, antara lain pengangkut sampah, pembantu rumah tangga, dan lainnya. Istilah kelas bawah digunakan untuk menggambarkan demografi sosioekonomi yang paling tidak beruntung.

Sedangkan kelas atas, adalah mereka yang termasuk orang kaya dan sudah berada di posisi tersebut untuk waktu yang lama. Mereka bisa dikatakan sebagai orang kaya dari garis keturunan dengan angka kekayaan jauh di atas rata-rata.

Mereka yang berada di kelas sosial atas sudah pasti mempunyai tingkat pendidikan yang tidak diragukan lagi. Misalnya, keturunan konglomerat, penguasa dunia bisnis, sampai pemilik perusahaan multinasional.
Sedangkan kelas menengah terbagi menjadi kelas menengah atas dan kelas menengah bawah. Kelas menengah atas merupakan mereka yang bekerja dengan gaji cukup menjanjikan. Tingkat pendidikan mereka sudah cukup tinggi untuk meraih gelar profesional di bidang tertentu.
Sedangkan, kelas menengah bawah terdiri dari berbagai pekerjaan dengan gaji tetap. Misalnya, pegawai negeri dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi, tetapi mampu bekerja di tempat layak.


Memang, pengertian kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas, seperti itulah yang biasa dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Di alam modern saat ini, kekayaan diri dan negara dijadikan sebagai standar untuk menentukan derajat kemuliaan dan kemajuan seseorang atau negara. Bahwa, yang mulia adalah yang punya kuasa, yang kaya, yang populer, dan yang cantik.

Marilah kita telaah makna istilah-istilah itu dalam perspektif worldview Islam (pandangan alam Islam). Islam menjadikan “taqwa” sebagai standar utama penentuan kemuliaan seseorang. Al-Quran menegaskan, bahwa yang paling mulia diantara umat manusia adalah yang paling bertaqwa kepada Allah SWT (QS al-Hujurat: 13).

Orang yang taqwa adalah yang paling taat kepada Tuhannya.
Dan itulah kesuksesan Rasulullah saw dalam mewujudan manusia-manusia terbaik dan sekaligus masyarakat terbaik di Madinah. Ketika itu, orang-orang seperti Bilal bin Rabah, Abdurrahman bin Masud, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Hurairah, radhiyallahu ‘anhum, dan sebagainya menempati posisi yang terhormat di tengah masyarakat.
Para sahabat Nabi itu sangat dihormati dan termasuk “KELAS ATAS” karena ketinggian ilmu, ketaqwaan, dan akhlak mereka, meskipun mereka bukan orang-orang kaya. Abu Hurairah termasuk orang yang sangat miskin dan pernah pingsan di Masjid Nabawi karena kelaparan. Tapi, ia sangat mulia derajatnya, karena semangat ilmu dan ibadahnya yang tinggi.

Itulah struktur masyarakat ideal. Kataqwaanlah, yang idealnya dijadikan sebagai standar utama dalam penentuan derajat manusia di tengah masyarakat. Maka, kelas bawah dalam Islam adalah para calon penghuni neraka. Yang paling bawah adalah kaum munafik (QS An-Nisa: 145). Kelas atas adalah manusia-manusia yang bertaqwa dan berakhlak mulia.

Jadi, program pendidikan dan pembangunan nasional kita seharusnya ditujukan untuk memperbanyak “kelas atas” dalam perspektif Islam, yang tentu saja sejalan dengan prinsip negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Yakni, kita harus memperbanyak manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa di Indonesia, sehingga Allah akan menurunkan berkah-Nya kepada masyarakat dan negeri kita.

Semoga itu bisa terwujud dalam tempo sesingkat-singkatnya. Amin. (Depok, 7 Mei 2024).

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *