Artikel Terbaru ke-1.882
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok –
Meskipun tidak dikehendaki, polemik dan ribut-ribut soal musik akhir-akhir ini, bisa saja kita ambil hikmahnya. Mungkin ada yang keheranan, mengapa begitu banyak ustadz dan tokoh yang bersemangat berbincang dan berdebat tentang musik. Sebab, di era modern ini, musik sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dan negara.
Tiap negara memiliki lagu kebangsaan. Indonesia punya lagu kebangsaan Indonesia Raya. Biasanya, lagu itu dinyanyikan dengan iringan musik. Jika diartikan sebagai suara yang berirama secara teratur, maka musik tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari menusia. Ada seorang ustadz terkenal yang mengaku ia memasang headset saat memasuki mal yang dipenuhi dengan suara musik.
Sejak kecil saya sudah mengaji kitab-kitab fiqih yang isinya mengharamkan musik. Bahkan, saat acara perpisahan SMP, saya tidak mau hadir, karena ada pentas musik. Di SMP itu saya mendapat pelajaran seni musik. Saya sangat enggan mempelajarinya karena kiai saya di kampung mengatakan musik itu haram.
Tak hanya itu. Di kampung saya, di era 1970-an, orang yang membawa gitar, akan dikecam oleh masyarakat. Bahkan, disamakan kelakuannya dengan orang non-muslim yang tinggal di kampung. Jadi, perbincangan soal musik sudah puluhan tahun lalu saya nikmati.
Nah, entah kenapa, lama-lama pemahaman saya tentang musik cenderung bergesar. Saya menerima pemahaman bahwa musik tidak tidak mutlak diharamkan. Bahkan, ketika aktif di Masjid al-Ghifari IPB, masjid itu mendatangkan Group Musik Bimbo. Mereka menyanyikan lagu yang sedang hit saat tahun 1980-an, yaitu Sajadah Panjang dan Aisyah Adinda Kita.
Kedua lagu itu betul-betul menyentuh nurani kami, para aktivis mahasiswa muslim. Lagu Aisyah Adinda Kita berkisah tentang mahasiswi cantik pintar yang berani mengambil langkah besar, yaitu mengenakan jilbab di kampusnya. Lagu itu merupakan bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang melarang para pelajar muslimah berjilbab di sekolah-sekolah umum.
Bersamaan dengan itu, Emha Ainun Najib pun meluncurkan puisinya berjudul: “Lautan Jilbab”, yang juga merupakan bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah itu.
Sepertinya ketika itu belum ada gerakan besar-besaran di kalangan aktivis kampus untuk mengharamkan musik dan lagu secara mutlak. Pemahaman yang dominan adalah bahwa musik dan lagu yang baik diperbolehkan. Sedangkan musik dan lagu yang digunakan untuk menyertai perbuatan maksiat, maka menjadi haram hukumnya.
Mengapa para ulama Islam sejak dulu begitu besar perhatiannya kepada soal musik dan lagu? Hal itu bisa dihapami dari corak ajaran dan peradaban Islam yang berporos kepada tauhid dan pensucian jiwa manusia. Bahwa, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Karena itu, semua aktivitas yang melalaikan manusia dari beribadah kepada Allah SWT perlu ditinggalkan dan dijauhi, meskipun aktivitas itu memuaskan syahwat manusia.
Tapi, manusia secara fitrahnya menyukai keindahan. Membaca al-Quran pun diperintahkan dengan irama yang indah, meskipun tetap dalam panduan adab-adab terhadap al-Quran. Islam mengakui kecantikan perempuan sebagai faktor keindahan yang menjadi daya tarik terhadap pihak lain. Begitu juga keindahan seni bangunan. Allah itu indah dan Allah suka pada keindahan.
Karena itulah, secara prinsip, Islam tidak melarang kesenian dan keindahan. Tapi, Islam mengaturnya, agar keindahan itu bisa mendorong manusia untuk meningkatkan ibadahnya kepada Allah. Itulah corak ajaran dan peradaban Islam. Islam bukan agama yang ekstrim yang mematikan syahwat manusia atau membebaskan manusia untuk melampiaskan syahwat sesuka hatinya. Islam mengatur urusan syahwat dengan seadil-adilnya, agar manusia tidak menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya. (QS al-Jatsiyah: 23).
Raja dangdut Rhoma Irama menyatakan, bahwa memang tidak mudah berdakwah melalui musik.
Karena itu, dalam sebuah tayangan videonya, ia menyatakan, musik bukan pintu untuk dakwah. Tetapi, ada celah untuk berdakwah melalui musik. Karena sekedar celah, maka hal itu tidak mudah dilakukan. Begitu kata Bang Haji.
Tentu saja pendapat Rhoma Irama itu akan ditolak mentah-mentah bagi yang memilih pendapat keharaman musik secara total.
Perdebatan tentang musik ini sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun. Bagi yang memilih meninggalkan musik secara total, patutlah kita apresiasi, karena bisa mengalokasikan waktunya untuk menelaah ayat-ayat al-Quran lebih intensif lagi.
Bagi yang mengikuti pendapat sejumlah ulama yang tidak mengharamkan musik secara total, tentu perlu juga menghormati saudara-saudara sesama muslim yang memilih untuk meninggalkan musik secara total. Silakan mengajukan argumentasi masing-masing dan tetap dalam suasana ukhuwah.
Selama masih sama-sama muslim, tetap memiliki kewajiban untuk saling berukhuwah dan dilarang saling membenci.
Perbedaan pendapat adalah hal yang selalu akan terjadi dalam kehidupan manusia. Ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang dirujuk untuk menetapkan hukum musik itu pun – sejak dulu hingga kini – masih sama. Kita buka pintu hati kita untuk menerima perbedaan dan membangun ukhuwah. Toh masing-masing akan bertangggung jawab atas amalnya sendiri.
Apalagi, kini kita hidup di bawah hegemoni peradaban sekularisme-materialisme yang begitu masih dan infiltratif penyebarannya. Kita ambil pelajaran berharha dari perdebatan soal musik ini. Bahwa, umat Islam masih sangat peduli dengan agamanya. Juga, itu satu bukti, betapa agungnya corak peradaban Islam. Yakni, peradaban yang membebaskan manusia dari penindasan syahwat dan perbudakan setan.
Semoga Allah SWT menyatukan hati kita semua dalam satu gerak langkah perjuangan yang padu, laksana satu bangunan yang kokoh. Itulah satu-satunya cara agar Allah cinta kepada kita semua (QS ash-Shaff: 4). Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 5 Mei 2024).
Admin: KOMINFO DDII Jatim