Idul Fitri : Menegakkan Nilai-Nilai Keadilan

Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Krtua Bidang MPK DDII Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Tegaknya keadilan hanya bisa dicapai ketika warga masyarakat berjuang untuk tunduk dan patuh terhadap aturan Allah. Tunduk dan patuh pada aturan Allah merupakan problem besar yang dihadapi oleh para nabi dan rasul. Karena dalam kenyataannya, manusia cenderung bebas tanpa diatur-atur oleh norma tertentu. Al-Qur’an menarasikan kemarahan Allah ketika penduduk suatu negeri menolak ajaran yang disampaikan utusan-Nya. Allah pun menyampaikan ancaman itu kepada utusan-Nya dengan membiarkan menjalani hidup tanpa petunjuk-Nya. Bilamana ini terjadi, maka masyarakat akan hidup di tengah rimba keganasan dan kedzaliman dari mereka yang memiliki kekayaan dan kekuasaan.

Kepasrahan Total

Menegakkan keadilan merupakan misi besar diutusnya para nabi dan rasul di muka bumi ini. Para khalifah (penguasa) menjadi sasaran utama tegaknya keadilan ini. Mereka memerintah dengan memutuskan perkara pelik yang dihadapi rakyatnya. Oleh karenanya, Allah memerintahkan kepada rasulnya untuk menegakkan keadilan dengan menyingkirkan keinginan-keinginan jahat yang akan merusak tatanan masyarakat. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَ رْضِ فَا حْكُمْ بَيْنَ النَّا سِ بِا لْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَا بٌ شَدِيْدٌ بِۢمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَا بِ

“(Allah berfirman), “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS. Sad : 26)

Sebagai pemimpin memiliki kewajiban moral untuk memerintahkan rakyatnya untuk mematuhi aturan Allah. Hal ini disebabkan Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta ini, dan kepada-Nyalah seluruh pertanggungjawaban akan diserahkan. Hari perhitungan merupakan hari pertanggungjawaban atas berbagai tindakan dan perilaku di dunia.
Sebagai pemimpin negara, bertanggung jawab terhadap hitam putihnya masyarakat. Pemimpin yang mengikuti aturan Allah dan hendak menerapkannya, berarti menjadikan masyarakatnya seperti yang diinginkan Allah. Tegaknya keadilan di tengah masyarakat dengan hukum-hukum yang telah disiapkan, merapakan cara Allah untuk membuat model masyarakat yang ideal. Itulah yang disebut Al-Qur’an sebagai celupan (shibgah) sebagaimana firman-Nya :

صِبْغَةَ اللّٰهِ ۚ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ صِبْغَةً ۖ وَّنَحْنُ لَهٗ عٰبِدُوْنَ

“”Sibgah Allah”. Siapa yang lebih baik Sibgahnya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 138)

Ketika Allah menginginkan terwujudnya masyarakat yang adil, dengan tegaknya aturan-aturan Allah, tdak mudah dan senantiasa mengalami kendala. Kendala utama adalah banyaknya pemuka atau tokoh masyarakat yang menolak dan ingin mempertahankan cara beragama yang telah mereka jalani selama ini. Ketika Al-Qur’an memerintahakan untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan berhala, maka pemimpin-pemimpin lokal memerintahkan untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi itu. Hal ini sebagaimana firman-Nya :

وَا نْطَلَقَ الْمَلَاُ مِنْهُمْ اَنِ امْشُوْا وَا صْبِرُوْا عَلٰۤى اٰلِهَتِكُمْ ۖ اِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ يُّرَا دُ

“Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.” (QS. Sad 38: 6)

Apa yang dilakukan oleh para pemuka masyarakat berdasarkan kepentingan-kepentingan sesaat. Mereka mempertahankan tradisi dengan menolak mentauhidkan Allah, telah menguntungkan hidup mereka selama ini. Selama ini hidup dengan meminta kepada berhala dipandang menguntungkan secara ekonomi. Dengan membiarkan masyarakat menyembah berhala, para pemuka masyarakat banyak mendapatkan keuntungan, termasuk keberuntungan finansial.
Ketika pola pemberhalaan ini berlangsung lama, datang seorang utusan Allah untuk membongkar dan membuang tradisi ini. dengan serta merta pihak-pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan melakukan perlawanan.

Perlawanan Kolektif

Perlawanan itu tidak lain sebagai upaya mempertahankan supremasi hukum yang selama ini menguntungkan para pemuka masyarakat. Petunjuk yang datang ini dianggap sebagai ancaman atas cara hidup yang telah menguntungkan hidup para pemuka masyarakat. Mereka menolak petunjuk dan mengedepankan hawa nafsu untuk berkuasa terhadap masyarakatnya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰٮهُ وَاَ ضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً ۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jasiyah : 23)

Allah menunjukkan bahwa petunjuk yang telah datang bukan membuat mereka tersadar, tetapi justru memompa perlawanan untuk menolak petunjuk. Atas penolakan dan perlawanan terhadap ajaran itu, maka Allah pun mengancam mereka untuk memnghentikan petunjuk dan membiarkan mereka hidup sesuai dengan hawa nafsunya. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :

قُلْ لَّوْ شَآءَ اللّٰهُ مَا تَلَوْتُهٗ عَلَيْكُمْ وَلَاۤ اَدْرٰٮكُمْ بِهٖ ۖ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِّنْ قَبْلِهٖ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

“Katakanlah (Muhammad), “Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu.” Aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum turun Al-Qur’an). Apakah kamu tidak mengerti?” (QS. Yunus : 16)

Hidup tanpa aturan yang berkeadilan hanya akan menimbulkan ketidakpastian dan kekisruhan berkepanjangan. Negara ini telah mengalami getirnya kehidupan tanpa kepastian hukum. Mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan menentukan arah bangsa ini dengan membuat norma baru yang berbeda dengan norma yang telah disepakati.

Contohnya, Mahkamah Konstitusi (MK) yang selama ini dipandang sebagai pengambil keputusan yang berwibawa dan dianggap simbol keadilan telah berubah menjadi Mahkamah Keluarga. MK dipandang berubah menjadi Mahkamah Keluarga setelah meloloskan salah seorang anak presiden menjadi calon wakil presiden (Cawapres) 2024. Padahal aturan tertulisnya bahwa seorang calon presiden/wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun. Sementara anak presiden itu baru berusia 36 tahun.

Akibat pelanggaran terhadap norma ini, maka energi masyarakat pun terkuras untuk memperdebatkan. Satu pihak menyalahkan dan mempersoalkan ke pengadilan. Namun pihak lain membenarkan dan membela habis-habisan. Hal inini melahirkan konflik berkepanjangan hingga menghabiskan seluruh energi bangsa ini. Orang yang pintar dan cerdas dalam hitungan waktu menjadi bodoh dan culas membela norma baru yang mendukung kecurangan.
Hilangnya rasa keadilan sangat terasa dalam konteks ini. Masyarakat pun diliputi ketidakpastian terhadap lahirnya pemimpin. Pemimpin yang dilahirkan atas praktek keculasan dan kecurangan akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang curang. Situasi seperti inilah yang akan melahirkan kekacauan. Karena seluruh produk yang dihasilkan berdasarkan keuntungan untung rugi, bukan atas dasar rasa keadilan.

Surabaya, 10 April 2024

Admin: Kominfo DDII Jatim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *