Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok - Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah mengingatkan, bahwa: “I venture to maintain that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated throughout the world by Western civilization.”
Jadi, menurut Prof. Al-Attas, tantangan TERBESAR yang secara halus menyeruak di zaman kita ini adalah tantangan ilmu. Tantangan dan bahaya besar itu bukanlah berupa kebodohan, tetapi ilmu yang salah yang dipahami dan disebarkan oleh peradaban Barat.
Peradaban Barat, menurut Prof. Al-Attas, adalah peradaban yang paling merusak dalam sejarah manusia. Peradaban ini mengusung konsep ilmu sekular, yang menolak wahyu sebagai sumber ilmu. Bahkan, dalam peradaban Barat modern, Tuhan dimanusiakan, dan manusia diposisikan sebagai Tuhan. (Man is deified and Deity humanised). Manusia
ditempatkan sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Tuhan – maksudnya nilai-nilai agama -- dipandang tidak boleh lagi mencampuri urusan kehidupan manusia. (Lihat, Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002).
Muhammad Asad (Leopold Weiss) –tokoh Yahudi yang masuk Islam -- mencatat, bahwa Peradaban Barat modern adalah peradaban yang materialistis dan anti-agama. Peradaban Barat tidak mengenal pertimbangan akhirat. Kata Mohammad Asad: ”But modern western civilization does not recognize the necessity of man’s submission to anything save economic, social, or national requirements. Its real deity is not of a spiritual kind: it is comfort. And its real living philosophy is expressed in a will for power for power’s sake.”
Peradaban Barat modern, kata Asad, adalah peradaban yang tidak memberikan ruang untuk Tuhan dalam sistem berpikirnya. “Such an attitude is irreligious in its very essence,” tulis Asad. (Dikutip dari buku Safwat M. Halilovic, Islam and the West: From Asad’s Point of View, (Cairo: Dar Al-Salam, 2005).
Kini, lihatlah ilmu-ilmu yang disebarkan kepada anak-anak kita di lembaga-lembaga pendidikan kita. Ilmu tentang asal-usul manusia, ilmu tentang kebutuhan manusia, ilmu tentang pembangunan dan kemajuan bangsa, semuanya masih mengikuti konsep keilmuan sekular yang menolak al-Quran sebagai sumber ilmu.
Ilmu-ilmu itu dipaksakan kepada anak-anak muslim, sehingga tujuan pendidikan yang utama – meraih derajat mulia dan hidup bahagia — tidak tercapai. Pendidikan secara umum tidak melahirkan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Jika ini terjadi, maka budaya dan perilaku yang dominan di tengah masyarakat, adalah budaya keserakahan, egoisme, cinta harta dan jabatan yang berlebihan, dan penindasan antar sesama manusia.
Tak hanya itu! Ilmu yang salah akan menyebabkan hilangnya jiwa kasih sayang. Kekerasan akan muncul dimana-mana. Bahkan, banyak orang tak segan-segan untuk saling menghina, saling mencaci, saling melecehkan satu sama lain. Akibatnya, hilang pula kebahagiaan pada diri seorang insan.
Itulah dampak serius dari kerusakan ilmu. Jika kerusakan ilmu tidak diperbaiki, maka ilmu – yang rusak itu — akan digunakan oleh siapa saja, termasuk para pemimpin masyarakat. Mereka tidak sadar bahwa pemikirannya telah dirusak oleh ilmu yang diraihnya dengan susah payah. Kerusakan itu bisa tidak disadari. Tanpa ilmu yang benar, siapa saja yang menjadi pemimpin, akan kehilangan jalan untuk memperbaiki masyarakatnya.
Mereka menyangka, jika masyarakat kenyang dan meningkat penghasilannya, maka masyarakat akan lebih baik. Padahal, ilmu yang rusak tidak akan mengantarkan manusia kepada tujuan hidupnya, yaitu meraih kebahagiaan hakiki. Dalam Islam, tujuan utama dari ilmu adalah untuk mengenal Allah SWT dan meraih kebahagiaan (sa’adah), dunia-akhirat.
Puncak kebahagiaan manusia adalah ketika ia mengenal (makrifat) Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Bijaksana, dan dengan ikhlas beribadah kepada-Nya. Itulah hidup bahagia. Ketika masyarakat bersedia menerima dakwah Islam dan mengikuti petunjuk Allah, maka pasti mereka akan bahagia hidupnya. Allah janjikan, mereka akan mendapatkan kucuran berkah dari langit dan dari bumi. (QS Al-A’raf: 96).
Karena itu, para pelajar perlu sangat berhati-hati dalam memilih kampus untuk melanjutkan kuliah. Telitilah dengan cermat, ilmu apa saja yang akan dipelajari oleh pelajar itu di jurusan kuliahnya; dan siapa saja dosen yang akan mengajarnya. Juga, siapa saja yang akan menjadi teman pergaulannya.
Jangan sampai karena mengejar harapan akan mendapatkan pekerjaan yang layak, sampai-sampai memandang remeh keselamatan iman dan akhlak sang calon mahasiswa. Juga, jangan sampai seorang pelajar melanjutkan kuliah di suatu Perguruan Tinggi, tetapi berdampak pada rusaknya akhlak dan melemahnya kecintaan kepada ilmu, menguatnya penyakit cinta dunia, dan pudarnya jiwa dakwah atau semangat perjuangan menegakkan kebenaran.
Cengkeraman peradaban sekular-materialis masih begitu kuat dalam konsep keilmuan dan pendidikan modern saat ini. Waspadalah! Semoga Allah membimbing kita semua agar tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus dan selamat dari jalan kaum al-maghdhub dan al-dhaallin. Amin. (Depok, 29-2-2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim