Artikel ke-1.799
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok - Diantara tugas pemerintah Indonesia, sesuai dengan amanah para pendiri bangsa dalam Pembukaan UUD 1945, adalah: “mencerdaskan kehidupan bangsa!” Tujuan bernegara ini diletakkan pada paragraf keempat Pembukaan UUD 1945.
Artinya, makna mencerdaskan itu jangan dimaknai secara sekular, lepas dari panduan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab, pada paragraf ketiga, bangsa Indonesia berkomitmen untuk mengakui, mensyukuri, dan menerima tuntunan Allah Yang Maha Kuasa: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Jadi, bangsa Indonesia harus cerdas. Tapi, kecerdasan itu tetap dalam rangka untuk mensyukuri rahmat Allah SWT. Raja Ali Haji, dalam Gurindam 12, membuat rumusan dan ringkas dan bernas: “Diantara tanda orang berakal, di dalam dunia ia mengambil bekal.”
Artinya, orang cerdas adalah orang yang paham arti dan tujuan hidupnya di dunia ini. Bahwa, dunia ini bukan tujuan. Dunia ini adalah “barang yang terperdaya” (Gurindam 12 pasal 1). Maka, sungguh tidak cerdas – alias dungu — orang yang menjadikan kesenangan-kesenangan dunia sebagai tujuan akhir aktivitas hidupnya.
Harta, tahta, popularitas bukanlah tujuan, tetapi merupakan sarana untuk ibadah kepada Allah agar dirinya selamat di akhirat. Dalam al-Quran, orang cerdas disebut Ulul Albab (orang yang berpikir). “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, sungguh merupakan ayat-ayat Allah bagi ulil albab. Yaitu orang-orang selalu berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka selalu memikirkan penciptaan langit dan bumi (sehingga mereka berkata) Ya Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia.” (QS Ali Imran: 190-191).
Jadi, orang cerdas (ulul albab) adalah orang yang mampu membaca ayat (tanda-tanda) di alam semesta ini, dan juga dalam dirinya sendiri, sehingga ia menemukan Tuhan dan ia pun selalu ingat kepada Tuhannya. Orang yang tidak mengenal Tuhannya dan tidak mau beribadah kepada Tuhannya, tentu dia tidak cerdas. Sebab, dia tidak menjadikan dunianya sebagai bekal untuk akhiratnya.
Maka, perintah Pembukaan UUD 1945 agar pemerintah Indonesia “mencerdaskan kehidupan bangsa”, tak cukup dipahami dengan makna sekular atau makna duniawi atau inderawi semata. Bahwa, cerdas itu yang penting anak bisa sekolah, bisa kuliah, dan bisa mencari nafkah. Tidak cukup dengan itu.
Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti mendidik anak-anak bangsa agar menjadi “Ulil Albab”. Yakni orang yang selalu berzikir dan berfikir. Kecerdasannya harus mengantarkannya sampai pada menemukan Tuhannya dan ia kemudian menundukkan dirinya kepada Sang Maha Pencipta. Ia tidak sombong dan angkuh, tidak peduli pada tuntunan Tuhannya.
Silakan saja anak-anak mendapat makan siang gratis, biaya pendidikan gratis, atau gratis-gratis lainnya. Yang penting mereka dididik untuk menjadi hamba yang saat pada Tuhannya. Kita sudah menyaksikan banyaknya kasus perusakan masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang cerdas. Yang bisa korupsi trilyunan rupiah bukan orang dungu secara intelektual. Yang bisa curang dalam berbagai urusan kemasyarakatan dan kenegaraan pun bukan orang bodoh. Mereka punya ilmu tetapi tidak bermanfaat.
Semua kejahatan itu bermula dari kesalahan dalam memandang realitas. Ia lupa Tuhannya dan lupa pula akan tanggung jawab di akhirat. Akhirnya, ia gunakan kekuasaan atau kekayaannya untuk merusak diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Betapa dungunya orang yang tahu pasti akan mati, tetapi menumpuk-numpuk kekayaan dengan cara yang haram. Mengapa dungu? Sebab, harta benda yang dia tumpuk-tumpuk itu pun akan dia tinggalkan dan tidak dia nikmati. Ada yang memiliki tanah ribuan hektar. Tetapi, ia biarkan saja tidak diwakafkan atau diinfakkan untuk bekal akhiratnya. Ketika menjelang ajal, ia menyesal dan minta waktu sebentar saja untuk beramal baik di dunia. Tetapi, itu sudah terlambat. Ajalnya sudah tiba dan Allah tidak memberikan perpanjangan waktu hidupnya, sedikit pun.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (Lihat QS al-Munafiqun: 9-10).
Jadi, semoga presiden Indonesia 2024-2029 memiliki program mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti yang sebenarnya! Amin. (Depok, 9 Februari 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim/ss