PAHAM RELATIVISME KEBENARAN YANG ABSURD

Artikel ke-1.772
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Dalam buku berjudul ‘Menembus Batas Tradisi : Menuju Masa Depan yang Membebaskan’ ditulis: ‘’Kebenaran adalah absolut benar bagi masing-masing pemeluknya. Kedua, tidak ada penafsiran yang mutlak benar, karena penafsiran hanyalah hasil penalaran dan pemahaman manusia terhadap agama, karenanya kebenaran yang dikandungnya pun niscaya relatif.”
Pemikiran “relativisme akal” dan “relativisme kebenaran” seperti itu patut dicermati dan dikritisi. Jangan sampai anak-anak terpengaruh paham seperti itu. Paham relativisme semacam itu memang keliru dan menyesatkan. Paham ini absurd (senseless); tidak masuk akal. Paham ini memang bertentangan dengan akal sehat.

Kita dengan mudah bisa mengkritik paham relativisme tersebut. Allah SWT mengkaruniai akal manusia dengan kemampuan untuk memahami dan meyakini kebenaran.

Pemahaman kita tentang al-Quran yang qath’iy bisa bernilai qath’iy dan mutlak, bukan hanya untuk orang Islam, tetapi juga untuk semua umat manusia.
Misalnya, kita memahami dan menafsirkan al-Quran Surat an-Nisa ayat 147 dengan satu pemahaman yang pasti dan yakin, bahwa Nabi Isa a.s. tidak mati di tiang salib. Kebenaran kita itu bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi juga berlaku untuk umat manusia lainnya.
Kita tentu akan menyatakan salah terhadap paham yang menyatakan bahwa Nabi Isa mati di tiang salib.

Dengan membaca surat al-Ikhlas kita memahami dan meyakini dengan pasti – tanpa ragu-ragu – bahwa Allah SWT tidak punya anak dan tidak diperanakkan.

Jadi, akal manusia bisa meraih kebenaran yang mutlak, dalam batas akal manusia. Manusia bukan Tuhan. Karena itu, kemutlakan manusia adalah kemutlakan secara insani. Allah telah menurunkan kebenaran yang pasti melalui para utusan-Nya, dan manusia bisa memahami dan meraih kebenaran dari Allah tersebut.

Dalam buku Menembus Batas Tradisi juga disebutkan: “ketika agama menjadi eksklusif dan tertutup, menganggap agama lain salah dan menyesatkan, maka agama akan menjadi pemantik timbulnya bentuk-bentuk kekerasan yang berujung konflik.”

Pernyataan semacam itu pun sangat keliru dan a-historis. Sejak awal, al-Quran sudah menegaskan, bahwa dalam pandangan Allah, ad-Din yang benar hanyalah Islam; dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima oleh Allah, dan di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi (Lihat: QS Ali Imran:19, 85).

Tetapi, pada saat yang sama, al-Quran juga melarang kaum Muslimin untuk memaksa orang lain masuk Islam. Bahkan, banyak sabda Nabi saw yang melarang kaum Muslim menyakiti kaum non-Muslim. Dalam sejarah, umat Islam telah menunjukkan keteladanan yang tinggi dalam penghormatan terhadap agama lain, meskipun umat Islam tetap meyakini kebenaran agamanya sendiri.

Pernyataan bahwa ketika agama bersifat eksklusif maka menjadi pemantik timbulnya kekerasan adalah kasus yang pernah terjadi dalam sejarah Eropa. Ketika itu mereka menganut jargon ‘extra ecclesiam nulla salus’ (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Jadi, siapa saja yang tidak memeluk agama Kristen, maka tidak akan selamat dan tidak bisa masuk sorga.

Di zaman Pertengahan itu banyak masyarakat – terutama kaum perempuan Eropa – yang menjadi korban mahkamah Gereja yang disebut Inquisisi. Begitu juga dengan nasib beberapa ilmuwan yang menjadi korban pengadilan Gereja itu, seperti Galileo-Galilei.

Galileo Galilei lahir tahun 1564 M. Ia melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.
Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris (mata hari pusat tata surya) secara resmi dilarang Gereja.

Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya. Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.

Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada siding Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Galileo dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.
Jadi, itulah yang terjadi dalam sejarah Eropa. Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diterima Allah SWT. Dalam hal ini, keyakinan umat Islam itu bersifat eksklusif.

Tetapi, pada saat yang sama, umat Islam tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk Islam, dan bahkan dalam sejarah terbukti, selama berabad-abad peradaban Islam menjadi teladan bagi umat manusia dalam hubungan dengan umat beragama lainnya.

Semoga anak-anak kita semua selamat dari aneka bentuk kesesatan, meskipun dibungkus dengan kemasan-kemasan yang indah! Amin! (Depok, 12 Januari 2024).

Admin: Kominfo DDII Jattim/ss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *