Artikel ke-1.775
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
dewandakwahjatim.com, Depk – Tahun 2000, saya meluncurkan satu buku berjudul: “Sekularisme Penumpang Gelap Reformasi.” Melalui buku itu, saya menyampaikan pesan penting, bahwa Reformasi akan berujung kepada kegagalan jika pemikiran sekularisme turut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketika itu, menyusul tumbangnya pemerintah Orde Baru, harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik begitu kuat. Pada saat yang sama, arus liberalisasi terasa semakin menguat. Demokratisasi digaungkan dimana-mana. Otonomi daerah digalakkan. UUD 1945 pun diamandemen.
Dan kini, setelah 25 tahun berlalu, banyak orang menyatakan, reformasi gagal. Upaya untuk memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dianggap gagal. Bahkan, setelah Gibran R. Raka❤️ menjadi cawapres 2024-2029, KKN dianggap bertambah kuat dan nekad. Korupsi dan kolusi bisa disaksikan terjadi dimana-mana.
Para ahli politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya sedang sibuk merumuskan kembali konsep-konsep kenegaraan agar kita bisa memperbaiki diri dan tidak putus asa menyambut masa depan. Reformasi tetap digaungkan, meski tidak lagi sekuat tahun 200-an awal. Bahkan, ketika itu ada Fraksi Reformasi di DPR.
Sebenarnya, untuk memahami kegagalan reformasi tidaklah susah. Banyak faktor penyebabnya. Tapi, sebab paling utama adalah “sekularisme”. Mungkin belum banyak yang mengakuinya. Sekularisme adalah biang keladi kerusakan kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara kita.
Inilah yang pernah diingatkan Mohammad Natsir dalam pidatonya tanggal 12 November 1957 di Majelis Konstituante. Baiklah, kita kutip kembali penjelasan Pak Natsir tentang bahaya sekularisme bagi bangsa kita: “Apa itu sekulerisme, tanpa agama, la-dieniyah? Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb.”
Camkanlah benar-benar kata-kata Pak Natsir itu: “Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb.” Jadi, dalam pandangan seorang sekular, segala amal perbuatannya hanya berdampak pada aspek keduniaan semata. Tidak ada hubungannya dengan kehidupan akhirat dan tidak ada hubungannya dengan aspek Ilahiyah.
Dalam pandangan seorang sekular, Tuhan dianggap tidak ada; setidaknya ia enggan Tuhan mencampuri urusan hidupnya. Ia ingin bebas dari Tuhan. Ia ingin hidup bebas menurut kehendak pikiran dan hawa nafsunya.
Kaum sekularis tidak tahu atau tidak mau menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan dalam membangun diri, keluarga, dan masyarakat. Mereka lebih percaya para ilmuwan sekular dan menjadikan masyarakat sekular Barat sebagai model masyarakat ideal. Mereka belum tertarik untuk mengkaji serius dan menjadikan masyarakat Nabi Muhammad saw di Madinah sebagai model masyarakat ideal.
Sebagai contoh, salah satu hasil reformasi adalah berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini mencontoh pembentukan institusi serupa di sejumlah negara. Kabarnya, setelah berdirinya KPK, angka korupsi di negara itu menurun.
Tetapi, hal itu tidak terjadi di Indonesia. Kompas.com (23/1/2023), menulis berita: “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot Tajam.” Disebutkan, bahwa indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 tercatat 34 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini memburuk empat poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38.
Nilai ini sama dengan capaian pada tahun 2014. Penurunan tertajam terjadi pada korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor. IPK merupakan indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik pada skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) di 180 negara dan wilayah.
Orang yang melakukan korupsi – sangat mungkin – tahu bahwa korupsi itu dilarang oleh agamanya. Tetapi, kesadaran itu tidak sampai berdampak kepada perilaku mencegah perilaku korup. Faktor utamanya adalah kegagalan penanaman nilai-nilai keimanan dan akhlak mulia, sehingga lingkungan yang korup menyeretnya untuk ikut-ikutan korupsi juga.
Artinya, ketika melakukan tindakan korupsi, ia menjadi sekular. Ia sengaja atau tidak telah melupakan Tuhan dan pertanggungan jawab di akhirat. Ia lupa, bahwa harta dan jabatan yang dia raih adalah amanah Tuhan yang sangat berat pertanggungjawabannya di akhirat.
Jadi, inilah bahasa sekularisme – ketika diam-diam menelikung masuk ke dalam sistem berpikir para elite bangsa kita. Reformasi Pendidikan kita akan berujung kepada kegagalan jika masih diwarnai pemikiran sekular.
Karena itu, Reformasi Pendidikan untuk kemajuan bangsa kita baru akan berhasil jika sejak awal kita menghadirkan Tuhan Yang Maha Esa dalam sistem berpikir kita dan memiliki visi akhirat.
Dengan kata lain, kita akan berhasil menjadi Khalifatullah fil-ardl (pemimpin yang baik) jika kita meneladani Nabi Adam a.s., dan bukan mengikuti langkah-langkah Iblis. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 16 Januari 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim/ss