Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus DDII, Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Kerusuhan Rempang di Batam membuat Indonesia menjadi sorotan dunia. Menjadi sorotan karena negara telah mengerahkan segala kekuatan untuk mengosongkan lahan yang telah ditempati oleh masyarakat secara turun temurun.
Negara memiliki alasan kuat untuk membuka investasi demi kepentingan ekonomi. Warga masyarakat lokal pun menolak dan mengadakan perlawanan dengan menghadang aparat keamanan yang berusaha memasuki wilayahnya. Namun aparat keamanan yang sudah menyiapkan segala kekuatan berhasil merangsek masuk, sehingga terjadi korban meninggal dan luka-luka, serta sesak nafas karena tembakan gas air mata. Negara telah melakukan legalisasi pengosongan atau penggusuran, sehingga abai terhadap nyawa sehingga ada kesan, rela membunuh warganya, demi alasan meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan bersama.
Narasi Mental Rendah
Untuk menggambarkan betapa rendahnya mental pengayoman negara kepada warganya, aparatur negara membenarkan aksi kekerasan terhadap rakyatnya. Hal ini karena negara telah melegalkan kepada aparat di lapangan untuk mengorbankan warganya untuk kepentingan investasi. Mereka tanpa belas kasihan menghabisi warganya sendiri, dan ini menggambarkan betapa sesama warga negara Indonesia tega mengorbankan pihak-pihak yang pernah berjasa kepadanya.” Berikut narasinya :
Seorang jenderal masuk ke sebuah wilayah baru yang ingin dijajahnya, lalu dia melihat seorang gembala domba dan anjingnya. Lalu dia menyuruh prajuritnya memanggil si penggembala, lalu dia bertanya : Eh. mau kah kamu menyembelih anjingmu ? nanti aku beri kamu 1 shilling. Si penggembala langsung mau, karena 1 shilling dapat hampir separuh kawanan ternaknya itu. Dia langsung menyembelihnya. Padahal anjing itu sangat membantunya untuk menjaga dari bahaya serigala maupun pencuri domba. Lalu si Jenderal tanya lagi. “Mau nggak kamu menguliti anjingmu itu untuk 1 shilling lagi ? ” Wah langsung dikuliti oleh si penggembala demi 1 shilling. Terus dia ditanya lagi. “Mau nggak kamu memotong-motong daging anjingmu kecil-kecil untuk 1 shilling ? wah Langsung dipotong-potong lagi jadi potongan kecil-kecil anjing yang telah membantunya menjaga kawanan ternaknya. Kemudian si penggembala malah ngomong. “Kalau kamu tambahi aku 1 shilling, aku akan makan daging anjing ini” si Jenderal langsung berkata “Kamu ya, demi uang, demi 1 shiling meskipun jumlahnya banyak kamu rela membunuh sahabatmu yang terbaik. Yang membantumu bekerja, yang sangat setia kepadamu.” Kamu sanggup untuk menguliti, memotong dan bahkan siap memakan sahabat terbaikmu. Lalu si Jenderal berkata kepada prajuritnya. “Kita pasti bisa menjajah negeri ini. karena ini orang-orang yang siap mengkhianati sahabat terbaiknya, orang-orang yang paling setia dengannya. Orang-orang yang selama ini sudah membantunya tanpa pamrih. Ini negara yang mudah sekali dihabisi, dijajah dan kita kuasai karena mereka tidak punya kesetiaan sama sekali bahkan kepada orang yang mencintai mereka.
Terbukti benar, negara tersebut akhirnya dikuasai karena petinggi-petingginya, pejabat-pejabatnya, pemimpin-pemimpinnya semuanya gila harta, mereka lebih senang pundi-pundi yang gemuk di rumahnya, di tabungannya daripada menjaga kesetiaan terhadap negaranya, terhadap orang-orang yang dicintainya.”
Negeri Incaran dan Ujian Kesetiaan
Ilustrasi narasi di atas menunjukkan bahwa dimanapun akan muncul imperialis yang siap mendatangi wilayah baru atau negeri lain untuk melakukan kolonisasi. Seorang jenderal yang keluar masuk suatu negeri memiliki pengalaman untuk melanjutkan masuk dan menjajah suatu negeri atau menghentikannya. Bila wilayah baru yang ingin dijajahnya memiliki penduduk yang amanah, melekat kesetiaan pada pihak-pihak yang pernah berjasa kepadanya, maka penjajahan itu akan diurungkannya. Namun ketika penduduknya mudah khianat dan mudah mengorbankan orang terdekatnya, maka penjajahan itu akan dilanjutkan. Negeri yang tak memiliki kesetiaan pada warganya akan mudah untuk dibujuk rayu, hingga mudah dipengaruhi untuk menghancurkan negerinya sendiri.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa penggembala yang mau membunuh anjingnya begitu mudah merupakan ilustrasi bahwa penduduk negeri ini mudah menjual nasionalismenya. Nasionalismenya dijual dengan kerelaan untuk membunuh orang-orang yang pernah berjasa kepadanya. Ketika anjing yang pernah berjasa melindungi dirinya dan dombanya dari serangan orang luar, namun begitu mudah dibunuhnya, hal ini demi mendapat keuntungan sesaat secara berlipat.
Orang seperti ini akan mudah menjadi mata-mata sekaligus pintu masuk bagi pihak-pihak eksternal untuk menggulingkan negerinya. Tidak peduli negerinya hancur dan dikuasai asing. Yang penting dia memperoleh kekayaan dan menikmati kemapanan hidup.
Pihak kolonial (penjajah) akan dengan mudah mengeluarkan modal sedikit untuk mendapatkan kekayaan yang jauh lebih fantastik. Hanya dengan memberi suap, yang nilainya kecil kepada orang dalam, maka hal itu tidak ada artinya. Karena di depan mata sudah siap panen besar ketika mampu memanfaatkan warga masyarakat yang mudah disuap. Dengan kata lain, penjajah akan mudah memberi apapun kepada satu orang warga yang berhasil membunuh teman setianya sendiri.
Mereka yang tak mampu membaca potensi hancurnya negara mau diperalat dengan insentif kekayaan yang sedikit. Mereka inilah yang memberi jalan bagi para kolonial untuk melakukan pembunuhan massal. Bahkan mereka rela sebagai eksekutornya sendiri untuk membuka pintu hilangnya kedaulatan negerinya. Betapi tidak, seorang gembala rela menyembelih, memotong-motong daging, hingga mau memakannya terhadap hewan yang pernah memiliki jasa terbaik pada dirinya.
Dalam konteks Rempang, aparat negara menggusur tanah warganya sendiri untuk membuka kesempatan kepada pihak asing memperluas investasinya. Ketika investor sudah masuk ke negara ini, maka kolonisasi sudah terjadi. Betapa tidak, warga lokal yang memiliki hak tinggal harus disingkirkan dari wilayah yang pernah diperjuangkan oleh para pejuang sebelumnya.
Para petinggi, pejabat, dan pemimpinnya semuanya berlomba-lomba mengumpulkan harta, pundi-pundi dan uang tabungannya. Mereka rela menjual negerinya untuk memberi jalan bagi orang asing untuk menjarah kekayaan alamnya. Mereka rela hidup dengan para penjajah hingga menjual kesetiaan sesama wargnya yang dahulu pernah berjuang dan mengusir para penjajah.
Kasus Rempang bisa menjadi cermin bahwa wilayah ini telah diserahkan orang asing dengan dalih memperoleh nilai investasi tinggi. Investor mereka unggul-unggulkan dan rakyatnya seolah tak memiliki harga, dan bahkan dikorbankan sebagai tumbal. Mereka tidak peduli rakyat teraniaya dan terusir dari tanah kelahirannya. Rakyat Rempang yang sudah tinggal secara turun temurun harus mau direlokasi di suatu wilayah baru yang berbeda dengan wilayah mereka sebelumnya.
Surabaya, 14 September 2023
Admin: Kominfo DDIl, Jatim