SETELAH 78 TAHUN MERDEKA, MAKIN TAMPAK PERLUNYA PERSATUAN JIWA BANGSA

Artikel Terbaru (ke-1.615)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketum Dewan Da’wah lslamiyah lndonesia

Dewandakwahjatim.com, Depok – Pada 17 Agustus 2023, genap 78 tahun kita merdeka. Usia 78 bukan lagi usia muda. Sudah tua. Seharusnya kita sudah menjadi negara hebat, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Harusnya, negara kita sudah menjadi negara yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur!”


Seperti ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah untuk: “… mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Sudahkah tujuan kemerdekaan itu tercapai? Kita menjawab tegas: BELUM. Dan kita harus terus berjuang untuk mewujudkannya! Masalahnya, melihat kondisi negara kita saat ini, dalam berbagai bidang – bukan hanya aspek ekonominya – patutlah kita merenungkan kembali perjalanan bangsa kita ini. Pasti ada yang salah dengan perjalanan kita sebagai bangsa saat ini!
Kita dikaruniai sumber daya alam yang sangat melimpah. Tetapi, ironisnya, sebagian besar rakyat kita masih hidup di bawah standar hidup yang layak. Jutaan rakyat kita harus mengais rejeki ke negeri orang, menjadi buruh-buruh pabrik dan pembantu rumah tangga penduduk negara lain. Bahkan, begitu banyak istri dan ibu yang terpaksa berpisah dengan suami dan anak-anak mereka, karena harus bekerja di luar negeri.
Belum lagi soal kesenjangan ekonomi yang begitu tajam! Sebagian kecil warga negara menguasai tanah sampai ribuan dan jutaan hektar, tetapi banyak rakyat kita masih harus tidur di bilik-bilik bambu yang sempit. Bahkan tak sedikit pula yang untuk tidur saja, harus menumpang di emper toko atau kolong jembatan.


Sebagai satu bangsa, yang sudah diikrarkan oleh para pemuda tahun 1928, setelah 78 tahun merdeka, sepatutnya kita semakin kokoh persatuannya. Bukan hanya dari segi wilayah teritorial, tetapi juga jiwa kita – sebagai satu bangsa – sepatutnya sudah semakin menyatu. Persatuan dan kesatuan ini perlu kita kuatkan untuk berjuang bersama meraih cita-cita kemerdekaan.


Tapi, faktanya, kondisi jiwa bangsa ini masih saja terbelah. Konflik sosial mudah terjadi. Kebencian antar kelompok belum sirna. Mudah tersulut. Caci maki begitu banyak diumbar di media sosial. Cara berbangsa seperti ini perlu diakhiri, setidak-tidaknya terus dikurangi dengan memperbanyak merajut tali silaturrahim.

Secara fisik kita memang sudah merdeka; tentara penjajah sudah pergi. Perjuangan mengusir tentara penjajah bukanlah hal mudah. Tapi, setelah penjajah pergi secara fisik, patut kita bertanya: “Apakah kita sudah benar-benar berdaulat; apakah kita sudah benar-benar bersatu; apakah kita sudah benar-benar berhasil mewujudkan negeri yang adil dan makmur?”


Persatuan hati antar warga bangsa ini perlu menjadi perhatian serius para elite bangsa kita. Bung Karno, dalam satu tulisannya di buku Dibawah Bendera Revolusi mengutip pendapat Ernest Renan (1882), bahwa yang disebut “bangsa” itu adalah suatu nyawa, suatu asas-akal, yang terjadi dari dua hal. Pertama, rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani SATU riwayat. Kedua, rakyat itu sekarang harus punya kemauan, keinginan hidup menjadi satu.
Jadi, kata Bung Karno, “Nasionalisme itu suatu iktikad; suatu keinsafan rakyat bahwa rakyat itu satu golongan, satu “bangsa”!”


Setelah kita merdeka 78 tahun, kita perlu melakukan evaluasi. Selama 78 tahun itu sudah begitu banyak pengalaman pahit dan sekaligus berharga yang kita jalani. Kesalahan itu bukan untuk diratapi dan bukan pula untuk dilestarikan apalagi diulangi kembali.


Kita sudah sepakat, bahwa soal “persatuan jiwa bangsa” itu merupakan masalah yang serius. Tidak dapat dipungkiri, bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas bangsa selama ini telah berperan menjadi perekat utama bersatunya jiwa rakyat Indonesia ke dalam NKRI.


Masalah bangsa bukan hanya soal ekonomi dan kesehatan badan, tapi masalah agama. Sebab, umat Islam memandang Indonesia sebagai amanah warisan yang harus dijaga dan dikokohkan, bahkan dimuliakan.


Inilah jalan kebangkitan yang disebutkan dalam al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Bahwa, siapa saja yang mensucikan jiwanya maka akan meraih kejayaan. Dan siapa yang mengotori jiwannya, maka kebinaanlah yang akan mereka terima. Maka tepatlah amanah lagu kebangsaan kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”


Rasulullah saw mulai membangun negara Madinah tahun 622 M. Empat tahun setelah itu, kaum muslimin sudah berhasil mengatasi Romawi, dan mendirikan satu peradaban tinggi di Yerusalem. Dan hanya dalam waktu 89 tahun setelah Hijrah Nabi itu, umat Islam sudah membangun peradaban tinggi di Andalusia (Spanyol).


Selama hampir 800 tahun, Andalusia menjadi mercusuar dunia. Berbagai pemeluk agama hidup bersama membangun satu peradaban mulia. Bahkan, kaum Yahudi pun mengakui, kejayaan Islam di Spanyol itu juga merupakan kejayaan bangsa Yahudi. Karen Armstrong, dalam bukunya, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997). menulis: “Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al-Andalus.”


Apa pun kondisi kita saat ini, kita tetap wajib bersyukur, Allah masih melindungi bangsa kita. Kita masih ada. Dan yang lebih penting, kita tetap optimis untuk menyambut masa depan yang gemilang. Merdeka! Allahu Akbar! (Jakarta, 6 Agustus 2023).

Adm8n: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *