Oleh: Slamet Muliono Redjosari
Pengurus Dewan Da’wah, Jawa Timur
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Begitu Jokowi kehilangan kekuasaannya, dia jadi rakyat biasa, nggak ada yang peduli nanti. Tetapi, ambisi Jokowi adalah mempertahankan legasinya. Dia mesti pergi ke China buat nawarin IKN. Dia mesti mondar-mandir dari satu koalisi ke koalisi yang lain untuk mencari kejelasan nasibnya. Dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia nggak mikirin nasib kita. “Itu bajingan yang tolol. Kalau dia bajingan pintar, dia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat. Tapi bajingan tolol itu sekaligus bajingan yang pengecut. Ajaib, bajingan tapi pengecut.”
Kontestasi Otot dan Otak
Sepenggal narasi Rocky Gerung (RG) di atas telah memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Satu pihak terbakar dan marah, sehingga melahirkan sejumlah aksi untuk mengkriminalisasi RG. Mereka menuntut RG diadili dan dipenjara karena dia telah melecehkan kepala negara. Sementara di pihak lain, muncul aksi simpati dan empati karena RG dipandang sebagai representasi kelompok kritis terhadap pemerintah yang dipandang telah menyimpang ketika mengendalikan kekuasaan.
Berita terbaru dari mereka yang terbakar adalah pernyataan Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko yang sangat geram terhadap pernyataan RG. Dia menyatakan “Jangan main-main itu. Sekali lagi saya ulangi jangan main-main. Kalau bersinggungan dengan itu, saya akan berdiri paling depan itu.” Dia juga menegaskan agar penegak hukum mengambil langkah-langkah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, Moeldoko menggunakan otot kekuasaan untuk merespon apa yang dikatakan RG dengan pasang badan dan memerintahkan penegak hukum.
Apa yang dilakukan Moeldoko telah dilakukan para relawan Jokowi, seperti organisasi sayap PDIP Perjuangan, Dewan Pimpinan Nasional Relawan Demokrasi Perjuangan (REPDEM), dan juga politikus PDI-P, Ferdinand Hutahaean. Mereka melaporkan RG ke Polda Metro Jaya karena dianggap mengucapkan kata-kata penghinaan pada presiden. Mereka dengan kekuasaan massa dan politiknya ikut melakukan tekanan politik dengan melaporkan RG ke polisi agar diproses secara hukum.
Beberapa komponen masyarakat juga melakukan persekusi RG dengan melarangnya untuk berbicara di beberapa kampus, seperti di Surabaya dan Yogyakarta baru-baru ini. Mereka beralasan bahwa apa yang dilakukan RG telah menghinakan martabat presiden dengan perkataan yang tak pantas. Dengan menggunakan kekuatan massa, komponen masyarakat ini menggerahkan masyarakat untuk mempersekusi RG dengan melarang untuk berbicara di forum ilmiah.
Masyarakat Dayak yang tergabung dalam Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) dan Dewan Adat Dayak (DAD) se-Indonesia menggelar demonstrasi di Mabes Polri agar menangkap RG karena keberatan dengan pernyataannya yang mencederai masyarakat Dayak terkait kritik RG yang menyinggung rencana Jokowi ke China terkait IKN.
Mereka menggunakan kekuatan massa dan kekuasaan politik guna menghukum RG dengan melakukan tekanan publik, dan itu merupakan kekuatan otot, baik lewat kekuatan institusional maupun kekuatan fisik. Karena tidak sedikit pihak-pihak tertentu yang ingin membunuh RG terkait dengan pernyataan yang melecehkan lembaga tinggi negara.
Di sisi lain, tidak sedikit pihak yang setuju dengan apa yang disampaikan RG di depan para buruh di Bekasi itu. RG tidak lain sebagai warga negara dan cendekiawan yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengkritik presiden. RG dianggap sebagai wakil masyarakat kritis yang selama ini tidak muncul ke publik. Bahkan suara-suara kritis mereka terbungkam sehingga terkesan negara berjalan tanpa kritik. Lembaga-lembaga formal seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Partai Politik, hingga media massa seolah hilang tertelan bumi dan hilang daya kritisnya, dengan demikian, presiden menjalankan roda pemerintahan berjalan tanpa kritik.
Padahal sebagai pejabat publik dan pemangku amanat, mereka seharusnya mendengarkan aspirasi Masyarakat. Mereka menerima gaji yang berasal dari uang rakyat. Namun keberpihakan mereka pada rakyat tidak pernah muncul. Bisa dikatakan bahwa lembaga-lembaga itu tidak lebih sebagai pemberi stempel setiap kebijakan pemerintah.
Demokrasi : Nir-Oposisi
Ketiadaan oposisi, yang menjadi simbol demokrasi, telah hilang. Hal ini berkoensekuensi tidak adanya balancing power yang melakukan kritik terhadap kebijakan negara. Hutang yang menumpuk, ekonomi masyarakat yang lemah, dengan daya beli yang rendah merupakan indikasi penyimpangan aparatur negara. Bahkan kerjasama pemerintah dengan China menjadi sorotan tajam, karena berpotensi menjadi kekuatan yang akan menghegomi Indonesia.
Di tengah situasi seperti ini muncul RG yang seolah-olah menjadi juru bicara masyarakat yang tak berdaya menyampaikan kritik. Masyarakat pun antusias dan seolah mendapat angin segar. Mereka pun antusias mendukung terhadap apa yang dikatakan oleh RG. Bagi media sosial, RG bisa menjadi sumber berita karena berita tentang RG menjadi trending topic. Bahkan civitas akademika kampus, seperti mahasiswa dan kalangan dosen, yang menginginkan perubahan, mendapatkan suntikan baru untuk mau bersuara kritis.
Apa yang disampaikan RG, terlepas dari hilangnya kesantunan dalam berbicara, telah memantik daya kritis kaum terdidik kota maupun desa. Ucapan “Bajingan tolol” benar-benar membangunkan masyarakat dari tidur panjang dari kesadaran kritisnya. Dalam konteks ini, apa yang disampaikan RG dipandang sebagai refleksi kritik yang wajar. Sebagai warga negara yang memiliki kebebasan berpendapat, maka dia berhak mengkritik berbagai kebijakan presiden, bukan pribadi Jokowi, yang dipandang merugikan rakyat.
Realitas di atas mempertontonkan bahwa adu argumentasi melalui dialog dan nalar kritis membutuhkan kedewasaan. Ketika elite politik tidak siap menerima kritik, maka otot kekuasaan yang mengedepan, dan masyarakat akan menjadi korban. Dikatakan menjadi korban karena di samping terkubur nalar kritisnya, masyarakat akan menjadi sasaran penderitaan atas kebijakan penguasa yang leluasa bertindak menyimpang.
Suranaya, 4 Agustus 2023