0leh: Ust. Muhammad Hidayatullah
Pengurus Dewan Da’wah, Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٥٥
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (an Nur; 55)
Kriteria Mukmin
Mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah, tentu mukmin yang dimaksud adalah mukmin yang haq atau benar, bukan mukmin yang kadzib atau dusta. Dalam banyak ayat Allah menjelaskan akan hal ini, yaitu mukmin yang bukan sekedar ucapan akan tetapi mukmin yang dapat terefleksikan dengan sikapnya yang nyata.
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa yang dapat menjadi pemimpin hanyalah orang-orang yang beriman. Hal ini sekailgus seolah Allah memberikan kriteria mukmin itu adalah orang yang memiliki kapasitas pribadi siap menjadi pemimpin, setiap mukmin akan cakap menjalankan Amanah yang di amanahkan kepadanya. Di samping itu seorang mukmin sudah pasti tidak memiliki tendensi pribadi, karena persoalan pribadinya telah tuntas di sandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bertawakkal kepada Allah dengan sebanar-benarnya tawakkal, haqqa tawakkulih.
Seorang mukim yang masih terjebak pada tendensi pribadi dalam setiap perbuatannya berarti ia belum memehamai keimannnya secara benar, tendensi yang dimaksud di sini adalah tendensi duniawi yang fana. Bagi seorang mukmin akan selalu menyadari bahwa kelebihan yang Allah anugrahkan kepadanya dari orang lain adalah Amanah yang tidak perlu menjadikan ia bersikap jumawa. Tentu ia masih memiliki rasa malu dalam dirinya, khususnya malu kepada Allah, karena hakekat semuanya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mukmin menjadi Pemimpin
Sebagaimana dalam ayat di atas yang layak menjadi pemimpin hanyalah orang-orang yang beriman. Tanpa iman, sehebat apapun seorang manusia pada keilmuaannya atau bahkan bergelar akademik yang paling puncak sekalipun yang dianggap memiliki kapasitas dan kecakapan dalam bidang tertentu, jika tidak memiliki landasan iman maka semua itu tidak berarti.
Itulah sebabnya Imam Ali bin Abi Thalib dalam salah satu atsarnya menyampaikan: pertama dalam agama ini adalah makrifatullah, kesempurnaan dari makrifatullah itu adalah at -Tashdiq yakni membenarkan, kesempurnaan dari at-tashdiq adalah at-tauhid yakni mentauhidkan Allah, dan kesempurnaan dari at Tauhid adalah al ikhlas yakni ikhlas semata-mata berharap ridla Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam pengertian kalimat di atas, ujung dari makrifatullah itu adalah ikhlas dalam semua tindakan. Tiada tendensi lain kecuali hanya berharap ridla Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu setiap mukmin akan selalu menjalankan Amanah yang dibebankan keadanya secara tulus tanpa tendensi pribadi, sehingga sekiranya tidak mendapatkan apa-apapun ia tetap ikhlas dan tidak akan merasa kecewa, karena ia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa persoalan rezeki pasti tidak akan salah alamat dan berkurang, selalu sesuai dengan kapasitas dan takarannya.
Dengan demikian seorang pemimpin yang beriman tidak akan memanfaatkan posisinya untuk memperkaya demi kepentingan pribadi, bahkan cenderung jika ia mampu ia akan mengerahkannya untuk kepentingan yang lebih besar. Sehingga seorang mukmin tidak pernah hitung-hitungan untung rugi yang bersifat duniawi, yang selalu ia hitung adalah pemberat amal kebaikannya di akhirat. Pemimpin yang dimaksud bukanlah semata yang berposisi di puncak pemimpin, akan tetapi sesuai dengan Amanah dalam struktur sebuah kepemimpinannya itu.
Setiap mukmin adalah pemimpin
Setiap mukmin adalah pemimpin – sebagaimana dalam redaksi hadits yang lain -, karena dipundaknya terdapat tanggung jawab amar makruf dan nahyi munkar. Setiap mukmin adalah dai yang daiyan ilallah, menyeru dan mengajak kepada Allah, bukan mengajak kepada pribadi atau golongan. Fanatisme yang dibangun bukan fanatisme terhadap golongan atau kelompok, akan tetapi fanatisme yang dibangun adalah izzul islam wal muslimin.
Maka seorang mukmin akan selalu memiliki motivasi dalam dirinya untuk terus meningkatkan kapasitas pribadinya secara maksimal, karena itu akan selaras dengan fungsinya sebagai khalufatullah fil ardl atau wakil Allah di muka bumi. Semakin berkapasitas maka akan semakin besar kemungkinannya untuk memerankan diri secara fungsi kehidupannya itu.
Seorang mukmin bukanlah seorang yang pasif dalam menjalani kehidupannya. Ia akan selalu aktif mengambil peran dalam rangka proses amar makruf dan nahyi munkar. Ia akan merasakan bahwa tanggung jawab dalam Amanah kehidupan yang sedang dijalaninya merupakan tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan baik, sehingga tiada alasan bagi seorang mukmin untuk menolak tugas senyampang ia merasa memiliki kemampuan atas Amanah tersebut.
Ia justru bersyukur terhadap Amanah itu karena berarti ia merasa dibutuhkan demi misi besar kehidupan ini yaitu mengambil perana demi izzul islam wal muslimin. Ia tidak perlu merasa menjadi orang penting sekalipun ia berposisi sebagai orang penting. Para sahabat teras seperti Abu Bakar ash shiddiq, Umar ibnul Khththab dan lain-lainnya tidak pernah merasa diri sebagai orang penting dan merasa terhormat di tengah para shababat Nabi.
Iman membetuk pribadi ikhlas
Iman merupakan kekuatan dalam jiwa setiap insan agar menjadi benar dalam semua tindakannya. Tanpa iman semua perbuatan tidak bernilai sekalipun merupakan amal terbaik dan memiliki dampak manfaat yang sangat luas. Karena iman melahirkan jiwa yang ikhlas berbuat dan berprilaku karena Allah semata. Dan inilah standart iman itu, sehingga jika kita belum memilikinya, kita perlu pertanyakan hal itu kepada diri kita masing-masing, apakah masih bersemayam iman dalam diri ini?
Seorang beriman pantang meminta pengakuan akan kualitas dirinya, karena pengakuan orang lain terhadap eksinstensi iman kita lebih karena kerja nyata yang merupakan bagian aktifitas kita sendiri. Pantang bagi orang beriman menunjukkan prestasi dirinya atau mengungkitnya di masa lampau demi diakui orang lain, karena kebaikan masa lalunya adalah investasi banginya di akhirat kelak.
Sangat tidak penting bagi orang beriman itu ia diakui atau tidak kualitas dirinya, karena pengakuan itu ia harapkan dari Allah semata. Bagi seorang mukmin pantang memiliki rasa syndrome akan kemulian dan kehormatan dirinya, dan ia akan selalu bertindak kebaikan tanpa harus diakui oleh yang lain. Ia berbuat baik karena Allah yang telah berbuat baik kepadanya.
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah ygkepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al Qashash: 77)
Sehingga tidak ada target utama bagi setiap mukmin adalah ridla Allah, ikhlas dalam melaksanakan kebaikan tanpa tendensi pribadi yang bersifat duniawi. Tidak akan ia melihat orang lain dengan pandangan sebelah mata, karena ia menganggap setiap manusia itu istimewa sebagaimana Allah menciptakan manusia semua adalah makhluk istimewa. Wallahu a’lam bishshawab (*)