MENJAGA ”KAPAL NKRI” SUPAYA TIDAK PECAH DENGAN DIALOG ILMIAH DAN KOMPROMI

Artikel ke-1.533
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Dakwah Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Kita mengakui bahwa di atas ”kapal NKRI” ada begitu banyak keragaman, baik suku, bangsa, agama, corak pemikiran keagamaan dan kenegaraan. Kita patut belajar dari para pendiri bangsa, bagaimana mereka mampu meredam konflik, mencari titik temu, melalui dialog ilmiah.

Dalam buku Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara, diceritakan bagaimana kerasnya perdebatan dasar negara. Pihak Kristen, diwakili Latuharhary dari Maluku, mengkritik rumusan Piagam Jakarta. Haji Agus Salim membantah Latuharhary.
Lalu, Soekarno menengahi. Kata Soekarno, preambule (Pembukaan UUD 1945) adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.
Wachid Hasjim, tokoh Nahdhatul Ulama, menegaskan, agar penolakan terhadap Piagam Jakarta jangan diperpanjang. Soekarno menegaskan lagi, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes.”
Kyai Sanusi Sukabumi dan Ki Bagus Hadikoesoemo juga ingin agar Piagam Jakarta diterima dan lebih ditegaskan tentang pelaksanaan syariat Islam untuk semua. Dan lagi-lagi, Soekarno juga mengingatkan, “Sudahlah hasil kompromis diantara dua pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.”


Itulah sepenggal kisah perdebatan, dialog, dan terjadinya kompromi antar dua arus utama aspirasi ideologis di Indonesia, yaitu golongan Islam dan golongan kebangsaan. Jika ditelaah, para pendiri bangsa yang berdebat dan berdialog itu secara terbuka telah menyampaikan aspirasinya. Mereka berpikir merdeka, tanpa takut dibayang-bayangi berbagai tudingan. Mereka juga berargumentasi secara ilmiah.

Soekarno yang berinisiatif membentuk dan memimpin Panitia Sembilan terus mengawal perjalanan Piagam Jakarta, sampai pada satu titik yang ia akhirnya harus “mundur” dan membiarkan terjadinya perubahan dan kompromi baru pada 18 Agustus 1945.

Perjalanan bangsa Indonesia – jika diibaratkan sebagai sebuah kapal – begitu dinamis. Gelombang dan badai datang silih berganti. Tetapi, atas berkat rahmat Allah SWT, kapal NKRI masih terus berlayar dengan selamat.

Para tokoh dan pendiri bangsa dengan niat tulus mereka dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, mampu mengatasi perbedaan pemikiran dan aspirasi kenegaraan. Mereka berhasil merumuskan tujuan negara secara ideal dan mengatasi perbedaan karena sama-sama memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi, lepas dari kepentingan bisnis dan kekuasaan.

Saat ini, bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan yang lebih komplek dibandingkan saat pra-kemerdekaan. Saat ini begitu banyak kepentingan yang mendasari polemik bahkan konflik dalam berbagai bidang kehidupan. Karena ada kepentingan, maka jika perlu dicarikan cara untuk menjaga terpenuhinya kepentingan diri dan kelompoknya, meskipun hal itu bertentangan dengan dasar ilmiah dan akhlak mulia.

Bahkan, ironisnya, bisa jadi akan muncul konflik antar kalangan ilmuwan, karena ada kepentingan yang dipertahankan. Artinya, argumentasi bukan berdasarkan kepada kebenaran dan kejujuran, tetapi lebih ditujukan untuk meraih kepentingan dan keuntungan politik dan ekonomi.

Menuju kontestasi Pilpres 2024, sepatutnya para elite bangsa mampu merumuskan konsep-konsep dan strategi operasional pembangunan yang ideal, yang mampu menyelamatkan NKRI dan mengantarkan NKRI menuju negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Yang perlu dijaga adalah permainan yang legal dan fair (adil) dalam meraih kekuasaan.
Jangan menggunakan segala cara untuk meraih kuasa. Jangan menzalimi pihak-pihak rival politiknya. Siapa yang banyak menzalimi saudaranya, maka ia akan cepat mendapat balasan dari Allah. Sebab, doa orang yang terzalimi itu maqbul.
Bagaimana pun sengitnya kontestasi politik menyongsong 2024, kita berharap “kapal NKRI” tetap dapat berlayar dengan selamat. Jika persaingan antar berbagai kekuatan politik berlangsung dengan tidak adil – dan sudah membahayakan persatuan dan kesatuan NKRI — maka bukan tidak mungkin akan ada kekuatan besar yang akan mengambil alih persoalan bangsa dan memberikan solusinya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 16 Mei 2023).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *