PERAN SULTAN HIDAYATULLAH DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI DI KALIMANTAN

Artikel ke-1532
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Dakwah Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok - Salah satu pengetahuan penting yang saya dapat dalam kunjungan ke Banjarmasin, 13-15 Mei 2023, adalah pengenalan saya pada sosok pahlawan hebat, bernama Pangeran/Sultan Hidayatullah. Ternyata, pahlawan ini dibuang penjajah Belanda ke Cianjur. Makamnya pun kini ada di Cianjur. Namanya diabadikan sebagai nama satu ruas jalan di kota Cianjur, Jawa Barat.

Pangeran Hidayatullah ternyata bukanlah sembarang pangeran. Seorang tokoh Belanda, W.A. van Rees, yang juga veteran Perang Banjar (1859-1863), menyebut Pangeran Hidayatullah sebagai “hoofdopstandeling” (kepala pemberontak). “Di antara orang-orang Banjar yang memberontak dialah yang paling berbahaya,” tulis van Rees dalam De Banjermasinche Krijg 1859-1863.


Dalam kunjungan ke Banjarmasin itu, saya mendapat hadiah buku berjudul: Perang Fi-Sabilillah di Kalimantan 1859-1863: Menguak Peranan Pangeran Hidayatullah, karya Yanuar Ikbar, Ph.D., (Banjarmasin: Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Kelimantan Selatan, 2012). Ternyata buku ini asalnya adalah disertasi doktor di Unversitas Utara Malaysia. Penulisnya, dosen Hubungan Internasional di Universitas Pajajaran Bandung.
Perang Fi-sabilillah di Banjarmasin terjadi antara Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintah kolonial Belanda selama 1859-1863. Perang ini berlangsung dengan dahsyat, sebanding dengan Perang Diponegoro (Perang Jawa) dan Perang Aceh.


Buku Dr. Yanuar Ikbar itu menyimpulkan, bahwa Perang Fi-sabilillah di Banjarmasin itu terjadi karena kombinasi sejumlah faktor: (1) Campur tangan penjajah Belanda dalam urusan rumah tangga istana Kerajaan Banjarmasin, (2) eksploitasi yang kejam dari pemerintah penjajah terhadap ekonomi rakyat, dan (3) penyebaran agama Kristen yang sudah mengancam eksistensi agama Islam di berbagai wilayah Kalimantan.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander WF Idenburg, pernah menyatakan, bahwa: “Satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan di Nusantara ialah melalui proses Kristenisasi orang-orang setempat.”


Kedatangan Belanda ke Kalimantan, mulanya memang untuk berdagang, tetapi kemudian mereka berusaha mengekalkan kedudukannya dengan melakukan Kristenisasi. Agama Kristen Katolik mulai dikenalkan di Kalimantan sekitar tahun 1688, melalui pastor Portugis dan misionaris Belanda.


Masyarakat Banjar bersikap tegas terhadap misi Kristenisasi. Sultan Hidayatullah memberi peringatan keras kepada kepala suku yang mendukung Belanda. Seorang kepala suku Dayak yang membangkang dan tetap mendukung Belanda akhirnya dibunuh oleh rakyat sukunya sendiri. Pada tahun 1607 datanglah ekspedisi misionaris Balanda yang dipimpin oleh Gillis Michezoon ke Banjarmasin. Namun, pimpinan misionaris ini akhirnya ditangkap penduduk dan dibunuh.


Penyebaran agama Kristen-Katolik di Nusantara memang tidak bisa dipisahkan dengan penjajahan. D’Albuquerque, setelah menguasai Malaka, tahun 1511, berpidato: “Jasa yang akan kita berikan pada Tuhan dengan mengusir orang Moor (IslamArab) dari negeri ini adalah memadamkan api dari agama Muhammad, sampai api itu tidak akan menyebar lagi sesudah ini. Saya yakin benar, jika kita rampas perdagangan Malaka ini, maka mereka (umat Islam) Kairo dan Mekah akan hancur.”


Von F. Kriele, dalam bukunya, Das Evangelium Bei den Dajak Auf Borneo, melaporkan bahwa Pangeran Hidayatullah adalah seorang yang sangat menghalangi gerakan misionaris Kristen di Kalimantan. Perang Banjar berlangsung bukan hanya karena pertentangan keluarga raja saja, melainkan disebabkan faktor lain yaitu adanya penentangan kuat Pangeran Hidayatullah dan pengikutnya terhadap misi Kristen di Kalimantan.
Sebagai contoh, pada 20 Mei 1860, Sultan Hidayatullah mengunjungi Kampung Pagar. Ia kemudian menemui mufti dan memberikan perintah kepada seluruh rakyat agar menyerang Benteng Martapura dan membunuh semua minsionaris dan orang Belanda. Sikap tegas Sultan Hidayatullah inilah yang diakui sejumlah penulis Balanda dan Jerman sebagai penghalang besar gerakan misionaris Kristen di Kalimantan.
Karena peranannya yang besar dalam melakukan perlawanan melawan penjajah Belanda dan misionaris, Sultan Hidayatullah disebut sebagai kepala pemberontak oleh Belanda dan orang yang paling berbahaya. Sultan Hidayatullah pula yang mendorong dan membantu Pangeran Antasari dalam perang melawan Belanda.


Karena kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Banjar yang dipimpin Sultan Hidayatullah, maka akhirnya Belanda menggunakan cara licik untuk menjebak Hidayatullah untuk ditangkap. Ibu dan anak serta sejumlah anggota keluarganya disandera Belanda. Sultan Hidayatullah kemudian dibuang ke Cianjur sampai wafatnya.
Di Cianjur ini Sultan sangat dibatasi geraknya. Namun, ia tetap aktif menjalankan dan mengajarkan Islam kepada keluarga dan masyarakat setempat. Perjuangan Sultan Hidayatullah dalam melawan penjajah telah mendapat pengakuan dan penghargaan oleh pemerintah RI. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Semoga perjuangan dan pengorbanannya memberikan inspirasi kepada generasi selanjutnya untuk meneruskan perjuangan beliau. Aamiin. (Depok, 15 Mei 2023).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *