Artikel ke-1.489
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Dewandakwahjatim.com, Depok – Hari ini, 3 April 2023! Jangan dilupakan! Ini hari penting. Tujuh puluh tiga (73) tahun lalu, tepatnya 3 April 1950, negarawan muslim Mohammad Natsir, mengajukan ”Mosi Integral” di Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Itulah yang dosebut ”Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunya Negara-negara Bagian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan Mosi Integral Natsir itu, maka bubarlah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan hasil konferensi Inter Indonesia – antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO – di Yogyakarta 19-22 Juli 1949.
Pembentukan BFO merupakan upaya Belanda untuk ”mengepung” Republik Indonesia. Negara-negara BFO adalah: Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah. Dengan demikian, Belanda berhasil menunjukkan, bahwa wilayah negara Republik Indonesia hanyalah di sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. (Lihat, Anwar Harjono dkk., Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978).
Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan NKRI memang sangat fenomenal. Natsir bukan hanya merumuskan gagasannya dengan cerdas, tetapi juga berhasil meyakinkan para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua setengah bulan untuk melakukan lobi.
Keberhasilan Mohammad Natsir dalam menggolkan ”Mosi Integral” itu menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik. Ia memiliki integritas, ilmu, kemampuan komunikasi, dan juga lobi. Dan tentu saha, ia telah diberikan hikmah oleh Allah, sehingga bisa mengambil langkah yang tepat untuk menyelamatkan NKRI.
Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan kisah perjuangan Mosi Integral tersebut: ”Dua bulan setengah saya melakukan lobby. Tidak mudah, lebih- lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa.”
Yang menarik, Mohammad Natsir menjadikan figur Soekarno-Hatta sebagai jaminan kekuatan Nagara RI Yogyakarta untuk Mosi Integralnya. Bahwa, Yogya akan mampu menyatukan kembali seluruh negara bagian, karena memiliki Dwitunggal Soekarno-Hatta. Bahkan, Natsir menolak permintaan Mohammad Hatta, agar ia menjadi Perdana Menteri Negara Yogyakarta. Dengan itu, posisinya lebih strategis untuk menyatuan kembali NKRI.
Natsir mengajukan usul, untuk menyatukan Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan, tak perlu peperangan. Cukup semua membubarkan diri, lalu bersatu kembali menjadi NKRI. Semua akan sepakat dipimpn Soekarno-Hatta.
Kata Natsir kepada pimpinan Negara Yogya: ”Kita ajak mereka membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. Nah, kita, negara Yogya ini punya Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mereka tidak. Saya katakan lagi, dalam sejarah jangan kita lupakan faktor pribadi; mutu pribadi orang itu menunjukkan siapa itu Soekarno-Hatta. Tidak akan ada yang bisa mengatakan ‘tidak’ kalau kita majukan nama Soekarno-Hatta menjadi Presiden RI. Sedangkan kita, para pemimpin-pemimpin ini, diam sajalah mengikut. Kalau diperlukan, ya, dipakai, dan kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya, tidak ada satu pun dari negara-negara bagian itu yang akan menolak Soekarno-Hatta menjadi presiden. Di sini, fungsi Soekarno-Hatta itu untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.”
Bung Karno mengakui kehebatan perjuangan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya. Setelah “Mosi Integral” berhasil, Natsir dipercaya Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Manteri.
Wartawan Harian Merdeka Asa Bafagih bertanya kepada Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri setelah Indonesia menjadi Negara Kesatuan, maka Soekarno menjawab, “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi”.
Kepahlawanan Mohammad Natsir melanjutkan tradisi para tokoh Islam dalam menjaga dan mengokohkan NKRI. Dalam situasi sekarang, bangsa kita memerlukan tokoh-tokoh integratif seperti Soekarno-Hatta, HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, dan sebagainya.
Dalam memperjuangkan Mosi Integralnya, Mohammad Natsir menyadari perbedaan pemikirannya dengan Soekarno, bahkan dengan Mohammat Hatta sekali pun. Berkali-kali Mohammad Natsir terlibat polemik melalui media massa dengan Soekarno tentang hubungan ideal antara Islam dengan negara. Tetapi, perbedaan dan perdebatan ilmiah itu tidak menghilangkan pandangan objektifnya tentang potensi dan peran Soekarno-Hatta dalam mewujudkan kemerdekaan dan mempersatukan NKRI.
Dengan kata lain, Natsir adalah sosok negarawan teladan, yang mendahulukan kepentingan bersama sebagai satu negara bangsa yang baru merdeka. Kini, setelah 73 tahun berlalu, jiwa dan makna Mosi Integral Mohammad Natsir ini perlu digaungkan secara besar-besaran. Sebab, dalam soal persatuan dan kesatuan bangsa, bisa dikatakan kita berada dalam kondisi kritis.
Syarat berdiri dan kokohnya satu bangsa adalah adanya keinginan untuk hidup dan membangun cita-cita bersama. Sesama warga bangsa perlu saling menghormati dalam perbedaan; saling tolong menolong dalam kebaikan; dan bekerjasama untuk meraih cita-cita mulia, sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!
Perbedaan jangan sampai menjadikan kita hancur berantakan. Fokus pada masa depan dan tujuan! Kita berdoa, semoga kita dapat meneladani dan melanjutkan perjuangan Mohammad Natsir dalam mewujudkan keutuhan dan kemaslahatan umat dan bangsa kita. Aamiin. (Depok, 3 April 2023).