Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Allah memberikan tugas khusus kepada para nabi dan rasul untuk menyampaikan risalah menegakkan tauhid di tengah masyarakatnya. Mereka hidup dengan sejarah dan menghadapi generasi yang berbeda. Namun misi yang diemban para utusan Allah hanya satu, yakni mengajak kaumnya untuk menegakkan tauhid. Alih-alih mendapat sambutan positif, para rasul kebanyakan mendapatkan perlawanan dan pembangkangan. Apa yang dilakukan kaum ‘Ad merupakan salah satu contoh yang menolak dakwah Nabi Hud. Ketika kenikmatan yang demikian besar dan agung tersebut disia-siakan, maka Allah pun menghentikan perlawanan itu, serta melenyapkan eksistensi mereka.
Kegigihan Menyampaikan Dakwah Tauhid
Para nabi rasul merupakan contoh manusia yang gigih dalam memegang dan menunaikan Amanah. Mereka menghadapi kaum yang meminta perolongan dan berkah kehidupan pada makhluk. Bahkan pengagungan kepada sesuatu yang hakekatnya tidak menolong dan memberkahi hidupnya. Mereka meminta keberkahan dengan menyembah matahari, memohon berkah kepada sumber air. Yang demikian itu jelas menyisihkan peran Allah yang sangat besar dalam kehidupannya.
Di tengah masyarakat yang demikian, Allah mengutus seorang nabi atau rasul untuk mengingatkan jalan yang benar dan layak diikuti. Allah mengutus manusia terbaik pada masyarakat saat itu. Di antaranya mereka jujur, terpercaya dan memiliki akhlak mulia, dan peduli terhadap kemunkaran dan ingin menegakkan keadilan, serta keselamatan kaumnya di dunia dan akherat.
Mereka berupaya maksimal mengajak kaumnya untuk meninggalkan sesembahan lain, dan memfokuskan untuk menyembah hanya kepada Allah. Siang dan malam mendakwahi kaumnya untuk bertauhid. Namun kaumnya memiliki sikap keras kepala, dan bahkan dengan segala cara menolak dakwahnya. Namun mentalnya yang gigih yang kuat itu tidak menggetarkan hati dan jiwa utusan Allah itu. Hal itu dinarasikan Al-Qur’an dengan baik sebagaimana firman-Nya :
اِذْ جَآءَتْهُمُ الرُّسُلُ مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ اَ لَّا تَعْبُدُوْۤا اِلَّا اللّٰهَ ۗ قَا لُوْا لَوْ شَآءَ رَبُّنَا لَاَ نْزَلَ مَلٰٓئِكَةً فَاِ نَّا بِمَاۤ اُرْسِلْتُمْ بِهٖ كٰفِرُوْنَ
“Ketika para rasul datang kepada mereka dari depan dan dari belakang mereka (dengan menyerukan), “Janganlah kamu menyembah selain Allah.” Mereka menjawab, “Kalau Tuhan kami menghendaki tentu Dia menurunkan malaikat-malaikat-Nya, maka sesungguhnya kami mengingkari wahyu yang engkau diutus menyampaikannya.”” (QS. Fussilat : 14)
Allah mengabadikan upaya-upaya yang begitu gigih untuk mengajak kaumnya agar menundukkan hati dan pikiran untuk dekat dengan Tuhannya. Namun kegigihan dan kesungguhan utusan Allah untuk menjadi manusia mulia, justru diabaikan. Tidak jalan utusan Allah mendapat perlakuan yang tak sepadan dengan kenikmatan yang melimpah pada mereka.
Umumnya para nabi dan rasul sangat gigih memegang prinsip bertauhid dan siap menerima resiko apapun dari kaumnya. Cacian, cemoohan, hingga ancaman berupa pengusiran dan pembunuhan sudah siap dihadapi ketika mendapat perlawanan yang dipelopori oleh pada pembesar atau mereka hidup dalam kemewahan.
Ajakan Bertauhid
Allah memberikan kaum Nabi Hud limpahan kenikmatan berupa kekuatan fisik dan kekayaan harta serta pengikut yang banyak. Namun mereka menyembah kepada selain Allah dengan mengikuti tradisi moyang mereka. Penyembahan kepada berhala yang diagungkan moyang mereka sudah mengakar dan berjalan lama.
Di tengah situasi yang demikian, Nabi Hud mengingatkan mereka untuk menghentikan pengagungan yang tidak pada tempatnya. Kaum ‘Ad diingatkan akan nikmat Allah dan mengajaknya untuk memuliakan dan mengagungkan Allah semata. Alih-alih berterimasihd an mengikuti, mereka justru membangkang dan melakukan perlawanan secara kolektif.
Mereka justru angkuh dan menyombongkan diri dengan menunjukkan kekuatannya dan menentang siapa saja yang mencoba membelokkan kepercayaannya. Mereka merasa benar dengan keyakinannya, dengan mengingkari apa yang disampaikan oleh Nabi Hud. Allah menarasikan dengan tepat sikap perlawanan itu sebagaimana firman-Nya :
فَاَ مَّا عَا دٌ فَا سْتَكْبَرُوْا فِى الْاَ رْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَا لُوْا مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۗ اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَكَا نُوْا بِاٰ يٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ
“Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS. Fussilat : 15)
Sikap mereka yang sombong dan angkuh sudah melewati batas hingga mengancam pada pengikut Nabi Hud agar tidak mengikuti agamanya. Berbagai upaya untuk menghetikan dakwah tauhid itu pun dilakukan, sehingga berakhir turunnya musibah berupa angin dingin yang bergemuruh, sehingga membuat jasad-jasad mereka jautuh bergelimpangan.
Penghentian dakwah tauhid hanya akan berakhir dengan musibah dan bencana. Upaya penghadangan dakwah dengan menghalang-halangi pengikutnya untuk menunaikan perintah Allah akan terus berlangsung.
Apa yang menimpa masyarakat saat ini juga tidak berbeda, dimana para pengikut dakwah pada nabi dan rasul pasti mengalami gangguan yang dilakukan oleh mereka yang menolak kebenaran dan tidak menginginkan tegaknya nilai-nilai agama.
Beberapa waktu lalu, ada sekelompok masyarakat yang berdemonstrasi kepada pihak toko swalayan karena melarang karyawan laki-lakinya melakukan shalat Jumat. Kalau kebijakan pelarangan ibadah ini dilakukan secara terstruktur, sama saja menghalangi kaum muslimin untuk menegakkan nilai-nilai tauhid. Mirisnya pelarangan ini akan berjalan dengan mulus ketika karyawannya tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya telah dijauhkan dari rasa syukurnya atas kenikmatan yang telah diperolehnya dari Allah.
Surabaya, 27 Pebruari 2023