Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus Dewan Da’wah Jawa Timur
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Umat Islam sedang diuji keberpihakannya pada agamanya. Nyiyir terhadap perilaku keagamaan umat Islam, seperti mempertanyakan pengajian ibu-ibu, mempertanyakan Pancasila sila pertama yang menganggap sebagai pintu syariatisasi di ruang publik, hingga ingin menginjak Al-Qur’an. Hal ini tentu saja membuat ruang publik menjadi geger dan kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan negara. Terlebih lagi sangsi hukum bagi pelaku penista Islam selama ini sangat lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Nyinyir atau Keseleo Lidah
Publik baru saja diramaikan oleh ucapan mantan Presiden, Megawati Soekarnoputri yang mempertanyakan pengajian ibu-ibu yang semakin marak. Hal ini dipandang sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap masa depan anaknya. Berikut pernyataan aslinya :
“Saya melihat ibu-ibu itu ya maaf ya sekarang kan kayaknya budayanya beribu maaf, jangan lagi saya di-bully. Kenapa toh seneng banget ngikut pengajian ya? Iya lho maaf beribu maaf, saya sampai mikir gitu lho. “Ini pengajian iki sampai kapan tho yo? Anake arep dikapake (anaknya mau diapakan), he, iya dong. Boleh bukan ga berarti boleh, saya pernah pengajian kok.
Pernyataan tersebut langsing direspon oleh wakil dari Majelis Ulama Islam (MUI) dengan mengatakan agar tidak usil, karena orang mengaji tidak menimbulkan kebodohan dan tidak kreatif. Berikut pernyataan beliau :
Saya maafkan. Tapi tidak ceritanya ibu-ibu rajin ngaji itu bodoh dan tidak kreatif. Ngaji itu melatih hati dan mengkaji melatih pikir. Keduanya banyak yang bisa memadukan sekaligus. Soal tak senang ngaji tak apalah, tapi tak usah usil dengan ibu-ibu yang rajin ngaji sampai kapan pun,”
Tidak berapa lama muncul kritik dari pengamat sosial politik, Saiful Mujani, yang menganggap pemerintah yang semakin memberi tempat bagi aturan-aturan syariat di ruang publik. Bahkan dia mengatakan dengan banyaknya aturan syariat di Indonesia maka sila pertama, Ketuhanan yang Maha-Esa hanya berlaku bagi agama Islam saja. Dia menegaskan bahwa Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan yang Maha-Esa, sering dijadikan dasar bagi proses syariatisasi tersebut. Implikasinya, sila pertama, Pancasila kehilangan kemampuan untuk menampung keragaman agama yang ada di Indonesia. https://khazanah.republika.co.id/berita//rf0i5c320/saiful-mujani-tuding-sila-pertama-pancasila-lebih-berpihak-kepada-umat-islam
Bahkan yang terbaru, penistaan yang dilakukan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bogor, Iwan Setiawan yang siap menginjak Al-Qur’an. Hal ini untuk merespon adanya jual beli jabatan yang terdapat pada institusinya. Setelah mengatakan hal itu, dia pun meminta maaf dan tidak bermaksud merendahkan agamanya sendiri.
Dia pun mengaku khilaf karena beban pekerjaan dengan agenda kegiatannya yang padat. https://hidayatullah.com/berita/2023/02/28/246496/khilaf-mengatakan-siap-injak-al-quran-plt-bupati-bogor-iwan-setiawan-minta-maaf.html
Pernyataan ini menimbulkan kegaduhan dan menganggapnya sebagai penistaan terhadap Islam. Pernyataannya dipandang menyakiti umat Islam, dimana Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diagungkan.
Memupuk Kesadaran Sosial
Pernyataan nyinyir terhadap perilaku keagamaan umat Islam hingga pelecehan terhadap Al-Qur’an menunjukkan kematangan mereka, sebagai pejabat publik, sangat rendah. Sebagai tokoh yang memiliki pengikut luas, atau pejabat publik merupakan representasi orang yang memiliki pergaulan yang luas. Masyarakat pun memandang mereka sebagai manusia yang memiliki kematangan diri dan adaptasi sosial yang bagus. Namun pernyataannya patut disayangkan karena berdampak terjadinya kegaduhan sosial. Hal ini sangat tidak produktif di tengah problem kebangsaan yang membutuhkan kearifan tokoh dan elite bangsa.
Sebagai orang yang berhubungan dengan berbagai level sosial, sudah sepantasnya memikirkan dampak sosial yang dikatakan. Megawati sebagai mantan presiden sudah tentu mengenal karakter dan mengetahui budaya masyarakat Indonesia yang religius dan beragam pemahaman, sehingga mereka sangat reaktif ketika keyakinannya direndahkan.
Sementara Saiful Mujani merupakan cendekiawan muslim moderat yang bisa mengukur apa yang diucapkan masuk kategori menistakan atau tidak. Perjuangan ulama dan para negarawan dalam merumuskan ideologi bangsa sudah maksimal, pernyataannya bukan hanya merendahkan para pendiri bangsa (founding fathers) tetapi merendahkan Islam yang dijadikan rujukan bagi nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula yang terjadi pada Iwan Setiawan yang mengucapkan pernyataan yang tidak pantas. Dia bukan hanya menyinggung perasaan umat Islam, tetapi juga merendahkan umat Islam itu sendiri. Meski sudah minta maaf, namun pernyataannya sangat membekas dan sulit dilupakan oleh masyarakat muslim. Terlebih lagi Indonesia mayoritas beragama Islam, sehingga pantas bila reaksi umat Islam sangat atraktif.
Slip of tongue (kepleset lidah) merupakan alasan klasik untuk mentolerir kejadian fatal itu. Namun dalam konteks budaya, pernyataan itu merupakan cerminan dari kebiasaan t=yang digerakkan oleh pola pikir mereka. Kepedulian dan adaptasi sosial, serta pergaulan yang bagus tidak membuat mereka dewasa dan matang dalam berfikir dan bertindak. Setidaknya, sebelum mengatakan hal itu mereka memperhitungkan dampak sosialnya, baik jangka pendek atau jangka panjang.
Rendahnya empati sosial itu bisa jadi karena ketiadaan hukum yang tegas atas pelecehan atau penistaan pada agama Islam. Ketika hukuman ringan, seperti sangsi moral saja, bisa jadi menopang beruntunnya pernyataan nyinyir atau penistaan atas nilai-nilai agama Islam. Ketiadaan hukuman yang berat, atas penistaan agama Islam telah terjadi, namun tidak mendapatkan hukuman berat. Ahok yang telah melakukan penodaan agama Islam, namun bisa memegang jabatan penting di BUMN. Realitas inilah yang membuat penistaan pada agama Islam terus terjadi dan beruntun.
Surabaya, 1 Maret 2023