Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus Dewan Da’wah, Jawa Timur
Dewandakwah.com, Surabaya – Allah telah mengikat janji terhadap ruh manusia untuk bertauhid. Janji itu diikrarkan oleh seluruh ruh manusia guna mentauhidkan Allah. Ikrar itu merupakan amanah sekaligus sebagai hutang manusia yang harus dibayar. Oleh karenanya, Allah menagih janji itu dengan mengutus rasul-Nya. Rasul itu bertugas mengingatkan kembali atas janji itu. Alih-alih bersyukur dan mengikuti perintah, kebanyakan manusia melupakan ikrar itu. Tidak sedikit di antara manusia yang berani membangkang atas ajakan rasul. Bahkan mereka melakukan kesyirikan secara terbuka serta berani mengusir dan membunuh rasul itu. Allah pun mengakhiri aksi pembangkangan itu dengan menurunkan azab yang menghinakan mereka.
Utusan : Menagih Janji
Allah memerintahkan kepada manusia untuk beragama secara totalitas. Penyerahan diri secara total (kaffah) merupakan refleksi atas janji yang telah diikrarkan manusia untuk mentauhidkan Allah. Sebagai Dzat yang Maha agung, Allah membuat persaksian di hadapan ruh-ruh manusia. Dalam ikrar itu, ruh-ruh itu bersaksi akan berpegang teguh untuk mengagungkan Allah tanpa mempersekutukan dengan yang lain. Hal itu diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَ اِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْۤ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ اَشْهَدَهُمْ عَلٰۤى اَنْفُسِهِمْ ۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۗ قَا لُوْا بَلٰى ۛ شَهِدْنَا ۛ اَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” (QS. Al-A’raf : 172)
Persaksian ini sebagai bukti bahwa manusia itu condong merendahkan dan menghambakan dirinya hanya kepada Allah. Oleh karena itu, fitrah manusia cenderung untuk patuh dan taat pada aturan Allah. Salah satunya, manusia mudah dimotivasi untuk membalas jasa kebaikan manusia yang pernah berjasa pada dirinya. Manusia mudah mengingat jasa orang tuanya. Bahkan mereka rela berkorban untuk orang tuanya. Hal ini sebagai bentuk ucapan terima kasih atas pengorbanan orang tua atas dirinya.
Nilai-nilai tauhid itu telah merembes dalam hati manusia sehingga longgar untuk mengokohkan dirinya sebagai hamba, dan mengagungkan Allah. Oleh karenanya, manusia demikian itu memiliki kemuliaan karena mengabdi kepada Yang Maha mulia. Ketika manusia dibimbing nilai-nilai yang agung akan membuatnya mulia. Hal ini sebagaimana dinarasikan Al-Qur’an berikut :
وَاِ نَّهٗ فِيْۤ اُمِّ الْكِتٰبِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيْمٌ
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) di sisi Kami, benar-benar (bernilai) tinggi dan penuh Hikmah.” (QS. Az-Zukhruf : 4)
Godaan Iman dan Pergeseran
Di tengah ketaatan itu, manusia tidak luput dari godaan dan jeratan untuk melakukan penyimpangan. Penyimpangan itu berwujud adanya pergeseran manusia dari mentauhidkan menuju mempersekutukan Allah. Hal ini membuat manusia terjebak dengan menggeser dari ketaatan kepada Allah. Mereka menjauh dan mengubah ketaatannya kepada kekuatan selain Allah. Hal ini diabadikan Allah sebagaimana berikut :
اَمْ لَهُمْ شُرَكٰٓـؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِۢهِ اللّٰهُ ۗ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَاِ نَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَا بٌ اَلِيْمٌ
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS. Asy-Syura : 21)
Puncak penyimpangan itu hingga membuat manusia berani secara terang-tengan menukar hidayah yang selama ini dipegangnya. Ketika hidayah lepas, maka manusia menanggalkan petunjuk dari genggamannya. Manusia yang jauh dari nilai-nilai tauhid mulai berani menerjang nilai-nilai kebenaran. Kaum Nabi Shalih merupakan representasi komunitas yang melakukan pembangkangan, sehingga Allah menghukumnya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَاَ مَّا ثَمُوْدُ فَهَدَيْنٰهُمْ فَا سْتَحَبُّوا الْعَمٰى عَلَى الْهُدٰى فَاَ خَذَتْهُمْ صٰعِقَةُ الْعَذَا بِ الْهُوْنِ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Dan adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu, maka mereka disambar petir sebagai azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Fussilat : 17)
Kaum yang disambar petir itu, merupakan representasi dari masyarakat yang meninggalkan petunjuk dan memilih kesesatan. Apa yang dialami kaum terdahulu juga terjadi pada masyarakat sekarang. Ketika jauh dari petunjuk jalan yang lurus, maka manusia akan condong untuk menyimpang. Bentuk penyimpangan yang paling besar adalah mempersekutukan Allah, dan hukuman yang paling pantas berupa penghinaan berupa bencana.
Kaum pembangkang yang menukar hidayah dengan kesesatan, umumnya berani melakukan perlawanan terhadap para utusan Allah. Bahkan mereka membunuh sang pembawa risalah guna mempertahankan kepentingannya. Allah pun menghukum mereka dengan bencana yang menghilangkan eksistensinya. Adzab itu menghilangkan nyawa dan harta benda mereka, hingga pada akhirnya mereka menjadi bahan perbincangan dan penghinaan bagi kaum yang hidup sesudahnya.
Kaum yang berani melakukan pembangkangan terhadap ikrar yang pernah diucapkan, harus siap menanggung resiko. Ketika berada pada puncak kedzaliman, mereka begitu leluasa melakukan kemaksiatan. Ketika berada pada puncak kemaksiatan itu, Allah. Menggulung mereka dengan adzab yang menghinakan.
Surabaya, 22 Pebruari 2023