KONDISI JEPANG GAWAT,
MAKIN BANYAK GENERASI MUDANYA ENGGAN MENIKAH

Artikel ke-1.408
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah

Dewandakwahjatim.com, Depok - Kimondisi penduduk Jepang makin mengkhawatirkan. Kini, semakin banyak generasi mudanya enggan menikah. Akibatnya, penduduknya makin tua, dan jumlahnya semakin menyusut. Pada 31 Juli 2022, situs www.republika.co.id menurunkan berita berjudul: “Mengapa Makin Banyak Generasi Muda Jepang Segan Menikah?”
Dikabarkan, bahwa saat ini sebanyak 25 persen warga Jepang pada usia 30-an tidak punya rencana menikah. Inilah penyebab keprihatinan pemerintah karena populasi Jepang menyusut dan makin tua.

Menurut laporan pemerintah,  tahun 2022 ada sekitar 25,4 persen perempuan berusia 30-an dan 26,5 persen pria dalam kelompok usia yang sama,  mengatakan tidak ingin menikah. Di kelompok usia 20-an, ada 19 persen pria dan 14 persen perempuan juga mengatakan tidak memiliki rencana untuk menikah.

Menurut laporan itu, pada 2021 di Jepang terdaftar 514.000 pernikahan. Ini  angka tahunan terendah sejak akhir Perang Dunia II. Tahun 1970 masih tercatat ada 1.029 juta pernikahan di Jepang.

  Para perempuan Jepang yang mengikuti survei mengatakan bahwa mereka menghindar dari pernikahan karena ingin menikmati kebebasan mereka, meniti karier yang memuaskan, dan tidak ingin dibebani peran ibu rumah tangga tradisional.

Sedangkan prianya mengatakan mereka ingin menikmati kebebasan pribadi. Tapi, banyak juga yang mengatakan khawatir atas ketidakamanan pekerjaan dan tidak mampu mendapatkan cukup uang untuk menopang keluarga.

Seorang pria Jepang berumur 30-an tahun mengatakan, bahwa dia senang tidak menikah. "Saya dapat melakukan hal-hal yang saya inginkan, dan saya tidak perlu memikirkan orang lain. Saya dapat begadang bermain game komputer atau menonton film apa pun di bioskop yang saya inginkan, atau saya bisa bertemu teman-teman. Aku suka itu," ujarnya.

Aya Fujii, psikolog Jepang menyatakan, bahwa angka kelahiran di Jepang telah menurun sejak 1970-an.  Tetapi masalahnya sekarang menjadi jauh lebih akut. "Ada beberapa alasan yang saya lihat di masyarakat… Salah satunya adalah bahwa tidak seperti di negara lain, upah di sini pada dasarnya tetap sama selama bertahun-tahun. Dan itu berarti banyak anak muda melihatnya sebagai beban keuangan yang terlalu berat untuk mencoba memiliki keluarga."

(https://www.republika.co.id/berita/rfnj848215001/mengapa-makin-banyak-generasi-muda-jepang-segan-menikah).


Krisis kependudukan seperti dialami oleh Jepang dan sejumlah negara yang dikatakan “maju”, memang dipicu oleh keengganan perempuan mereka untuk menikah dan mempunyai anak. Pada tahun 2010, saat berkunjung ke Inggris, saya ditemani oleh seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil doktor di University College of London (UCL). 

Suatu saat, ia mengajak beberapa anaknya yang masih kecil dalam acara di London. Menurutnya, ada teman-teman kuliahnya di UCL yang heran melihat ia ke kampus dengan membawa sejumlah anak. “Apa itu tidak merepotkan?” tanya mereka, seperti ditirukan oleh mahasiswa Indonesia tersebut.
Sistem keluarga dan sosial di masyarakat modern telah memunculkan krisis penduduk di sejumlah negara. Tahun 2012, Jerman mengkhawatirkan rendahnya angka pertumbuhan penduduknya. Menurut data statistik, angka kelahiran bayi di negara tersebut menempati angka terendah sepanjang sejarah. Rendahnya angka kelahiran di negara tersebut menimbulkan kekhawatiran persoalan populasi negara tersebut di masa depan.
Sejak 1972, angka kematian telah melebihi jumlah dari angka kelahiran bayi. Sementara jarak antara perbandingan angka kematian dan angka kelahiran juga meningkat selama beberapa tahun terakhir, ketika jumlah kematian pada 2011 mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7 persen sehingga mencapai 852.000.


Dalam skenario tersebut, angka rata-rata kematian akan meningkat sebagai akibat dari masyarakat yang semakin tua. Statistik menunjukkan, warga Jerman tidak hanya cenderung untuk memiliki sedikit anak, namun juga kurang berminat untuk menikah. Hal tersebut diperlihatkan dengan penurunan angka pernikahan yang terjadi dari tahun ke tahun sebesar 1,1 persen. Tercatat hanya ada 378.000 pasangan yang menikah pada 2011.

(https://www.beritasatu.com/dunia/57757/angka-kelahiran-rendah-jerman-khawatirkan-populasi).
Menyimak kasus kependudukan seperti di Jepang dan Jerman itu, maka patutlah kita sebagai muslim bersyukur, karena memeluk agama wahyu yang murni. Soal pernikahan mendapatkan perhatian dan panduan yang terperinci dalam Islam.
Perintah Nabi Muhammad saw untuk menikah diberikan kepada para pemuda yang sudah “mampu”. Jika tidak mampu, ya berpuasalah. Bahkan, Rasulullah saw menyebut nikah adalah sunnah beliau dan siapa yang membenci sunnah beliau maka ia bukan termasuk golongan Nabi.


Menikah juga satu bentuk ibadah. Seorang perempuan yang direpotkan oleh urusan suami, anak, dan pekerjaan, adalah bentuk ibadah. Tampak, bahwa generasi muda yang enggan menikah – dan beberapa enggan punya anak – karena mereka telah terjangkiti paham sekulerisme. Mereka hanya memandang realitas sebatas dimensi fisik dan duniawi saja.


Tujuan penting dari pernikahan adalah agar mereka bisa mendapatkan anak. Anak-anak manusia itu harta yang sangat berharga. Bahkan, Rasulullah saw memerintahkan: kawinilah perempuan yang penyayang dan banyak anak. Tetapi, kewajiban orang tua adalah mampu mendidik anak-anaknya dengan benar, agar mereka menjadi generasi pelanjut yang baik dan bermanfaat bagi sesama.
Apa yang terjadi di Jepang, Jerman, dan sejumlah negara lain dalam soal pernikahan ini, semakin menunjukkan kegagalan paham sekulerisme dalam menyelamatkan dan membahagiakan manusia. Pernikahan bukan hanya sebatas urusan cinta dan seksualitas antara laki-laki dan perempuan. Tetapi, pernikahan adalah urusan ibadah yang berdimensi Ilahiah dan ukhrawiyah. Dengan itu, manusia bisa meraih kebahagiaan yang hakiki, bukan sekedar kesenangan jasadi. Wallahu A’lam bish-shawab. (Bandung, 9 Januari 2023).

admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *