PELAJARAN DARI KASUS SAWERAN QARIAH
DAN ADAB BERINTERAKSI DENGAN AL-QURAN

Artikel ke-1.407
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah

Dewandakwahjatim.com, Surabaya - Setelah memicu kehebohan, akhirnya orang yang menyawer qariah di Pandeglang, Banten, mengaku salah dan meminta maaf. Sebagaimana dilaporkan kompas.com (8/1/2023), bahwa Jupri, pria yang menyawer Qoriah Nadia Hawasyi, menyampaikan permohonan maaf dan penyesalannya. 

Jupri juga mengaku bahwa perbuatannya itu salah dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Katanya ia mengidolakan sang qoriah. “Saya mengidolakan beliau, Mbak Nadia Hawasyi. Saya (biasanya) melihat cuma di YouTube saja, tapi sekarang alhamdulillah saya bisa ketemu langsung dengan beliau,” kata Jupri, dikutip dari TribunBanten.com, Minggu (8/1/2023).
Jupri menambahkan, dia pun tak bermaksud melecehkan atau menghina agama Islam. “Mohon maaf kepada Mbak Nadia, kepada semua masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam,” ujar Jupri.
Kasus saweran terhadap seorang qariah ini memicu kecaman luas, karena dinilai tidak etis. Saweran biasanya dilakukan kepada penyanyi dangdut atau artis tertentu dalam suasana yang – biasanya – tidak sesuai dengan nilai-nilai al-Quran.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyawer diartikan sebagai: “meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling, seperti kuda kepang, topeng).
Maka, secara sepintas saja, aktivitas menyawer qariah itu jelas tidak beradab. Karena membaca al-Quran itu merupakan aktivitas yang sangat mulia. Ini berbeda dengan pertunjukan keliling seperti tontonan kuda kepang atau tari topeng.


Rasulullah saw bersabda: “Man qara’a al-Qur’aana wa-‘amila bimaa fiihi, albisa waalidahu taajan yaumal qiyaamati” (“Barang siapa yang membaca Al-Quran dan mengamalkan isinya, maka akan dipakaikan kepada kedua orang tuanya mahkota pada Hari Kiamat.” (HR Hakim).


Membaca al-Quran yang dikaitkan dengan pengamalan adalah aktivitas membaca al-Quran dengan benar, memahaminya dengan benar, dan juga mengamalkannya dengan benar. Sebab, al-Quran adalah petunjuk untuk umat manusia.
Membaca al-Quran adalah amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar. Setiap huruf yang dibacanya akan menghadirkan pahala dari Allah SWT. Apalagi, al-Quran itu dibaca dengan benar dan indah. Tetapi, sayangnya, angka buta huruf al-Quran di Indonesia masih sangat besar.


Mengutip data Sensus Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, buta huruf Alquran mencapai 53,57 persen. (Lihat: https://www.republika.id/posts/27112/buta-aksara-alquran-masih-memprihatinkan). Itu artinya, lebih dari 100 juta orang muslim Indonesia masih buta huruf al-Quran. Karena itu, kita bersyukur, gerakan pemberantasan buta huruf al-Quran di Indonesia terus berlangsung dengan gencar.


Jadi, beradab terhadap al-Quran memang bukan hanya membaca dan memahaminya, tetapi juga mengamalkan dengan benar. Untuk memahami al-Quran, seseorang perlu memahami tafsirnya dengan benar. Alhamdulillah, umat Islam saat ini telah dimudahkan untuk memahami al-Quran melalui berbagai kitab Tafsir yang ditulis oleh para ulama kita, baik di masa lalu, maupun di zaman ini.


Tetapi, meskipun sudah cukup banyak kitab Tafsir al-Quran yang tersebar di tengah masyarakat, tetap saja al-Quran menunggu hadirnya mufasir-mufasir al-Quran yang mampu memahami dan mengamalkan al-Quran dalam konteks peradaban modern saat ini.
Tidak sedikit ulama dan pakar yang telah mengajukan pemikiran untuk melakukan kontekstualisasi al-Quran. Dengan harapan, al-Quran terus relevan dengan tuntutan zaman. Tetapi, ada yang kebablasan. Misalnya, gagasan untuk melakukan legalisasi perkawinan sejenis dengan alasan sesuai dengan HAM dan tuntutan zaman. Caranya, dengan membuat tafsir baru yang dikatakan sebagai “Tafsir Jalan Lain.” Gagasan seperti ini adalah hal yang kebablasan.
Prof. Syed Muhammad Naquib adalah cendekiawan yang mengingatkan bahwa Islam memiliki Ilmu Tafsir sendiri yang berbeda dengan hermeneutika, yaitu metode tafsir teks budaya dan tafsir Bibel. Sebab, al-Quran adalah teks wahyu, bukan teks budaya. Al-Quran sejak awal ditulis dan dihafal, dan hingga kini, cara membaca dan maknanya masih tetap terjaga.
Sebagai bagian dari adab terhadap al-Quran, maka kontekstualisasi al-Quran harus dilakukan tanpa keluar dari makna teks al-Quran itu sendiri. Yang perlu dipikirkan adalah aplikasinya, sesuai dengan konteks zaman.


Misalnya, perintah agar umat Islam berjuang dalam shaff yang rapi, laksana bangunan kokoh (QS ash-Shaff: 4). Sebagai satu kesatuan, maka umat Islam jangan berjuang sendiri-sendiri, tetapi harus melakukan musyawarah dan kolaborasi dengan berbagai komponen umat lainnya. Sebab, umat Islam adalah umat yang satu. Jangan sampai saling melecehkan dan saling menjatuhkan satu dengan lainnya.


Sebagai contoh, dalam menghadapi Pemilu 2024. Ada sejumlah partai berazas Islam yang mengikuti Pemilu. Para pimpinan partai Islam itu sepatutnya memandang bahwa partai-partai Islam lainnya adalah sesama saudara dalam perjuangan. Sesama muslim wajib saling tolong menolong dalam kebaikan. Itu jika kita ingin menang dalam perjuangan.
Itulah sebagian adab berinteraksi dengan al-Quran. Selain dibaca dan dihafal dengan benar, al-Quran juga wajib dipahami dan diamalkan dengan benar. Ingatlah pesan Rasulullah saw, bahwa yang akan diberi mahkota di akhirat, adalah para orang tua yang anaknya membaca dan mengamalkan al-Quran.
“Barang siapa yang membaca Al-Quran dan mengamalkan isinya, maka akan dipakaikan kepada kedua orang tuanya mahkota pada Hari Kiamat.” (HR Hakim).


Semoga kasus saweran seorang qariah di Banten menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa masih begitu banyak kelemahan internal kita dan umat kita dalam adab berinteraksi dengan al-Quran. Tidak ada cara lain, kecuali kita wajib terus memperbaiki adab kita terhadap al-Quran. (Surabaya, 8 Januari 2023).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *