Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah lslamiyah lndonesia
Dewandakwahjatim.com, Depok – Pada 28 Oktober 2022, situs https://kpi.stainkepri.ac.id memuat artikel berjudul: “Eksistensi Bahasa Melayu Pasca Penetapan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional.” Artikel ini dibuka dengan kutipan Gurindam 12 pasal kelima: “Jika hendak mengenal orang berbangsa. Lihat kepada budi dan bahasa.”
Tanggal 28 Oktober memang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku dan golongan bersumpah: berbangsa satu, bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
Nah, terkait dengan bahasa Indonesia itu, perlu dikenal seorang sastrawan dan ulama besar bernama Raja Ali Haji. Bahasa Melayu yang merupakan bahasa yang tidak memiliki tingkatan dalam penuturannya dan bahasa yang mudah untuk di kuasai, dengan strukturnya yang sederhana dan kosakata yang bersifat terbuka itu memudahkan orang awam untuk memahaminya. Dan Bahasa Melayu yang berkembang di Riaulah yang kemudian dikembangkan oleh Raja Ali Haji sebagai cikal bakal bahasa Indonesia.
Pada Kongres Pemuda yang digelar pada tanggal 28 Oktober 1928 telah ditetapkan buku karya Raja Ali Haji yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa sebagai bahasa nasional Indonesia, yang dikenal juga sebagi hari sumpah pemuda. Kemudian pada tahun 1972, Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang terpakai sebagai bahasa Indonesia hingga sekarang.
Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas perjuangan Raja Ali Haji di bidang bahasa, Gubernur Riau, H.M. Rusli mengusulkan menjadikan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional. Lalu Akhirnya Pada tahun 2004, keluarlah keputusan Presiden RI No. 089/TK/Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Raja Ali Haji adalah Pahlawan Nasional. Dan dengan karya tata bahasanya yaitu buku Bustan Al-Katibin beliau mendapat gelar sebagai Bapak Bahasa Indonesia.
Adapun beberapa bentuk penghargaan atas jasa-jasanya, pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mendirikan sebuah Monument Bahasa Melayu dan mengangkat kisah Raja Ali Haji menjadi sebuah film yang berjudul “Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji”. Penghargaan serta penghormatan Raja Ali Haji juga ditulis dalam sebuah buku biografi yang berjudul “Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia” yang terbit pada tahun 2004.
Eksistensi Bahasa Melayu Masa Kini. (https://kpi.stainkepri.ac.id/2022/02/28/eksistensi-bahasa-melayu-pasca-penetapan-raja-ali-haji-sebagai-pahlawan-nasional/).
Pentingnya peran bahasa Melayu sebagai faktor pemersatu alam Melayu Nusantara disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Jika tidak ada bahasa Melayu, maka tidak ada bahasa Indonesia, dan tidak ada pula Sumpah Pemuda.
Prof. Naquib al-Attas adalah ilmuwan yang sejak awal 1970-an, sudah mengungkap bahwa faktor ’Islam dan Bahasa Melayu’ adalah faktor paling signifikan dalam proses penyatuan Nusantara. Gagasan itu diungkap al-Attas melalui beberapa bukunya: Islam and Secularism, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, dan yang terakhir adalah karya besarnya yang berjudul Historical Fact and Fiction (HFF), (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011).
Melalui buku HFF ini, Prof Naquib al-Attas berhasil memberikan gambaran tentang keberhasilan para pendakwah Islam dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga berhasil menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah, ekonomi, budaya, dan politik di wilayah Nusantara ini.
Karena itulah, simpul Prof. al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam, merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. Disamping faktor agama Islam, penyebaran bahasa Melayu merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan semangat kebangsaan. Dalam buku HFF, al-Attas menguraikan salah satu kesimpulan penting, yakni bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten. Pelaku utamanya adalah para ulama dari Arab.
Sejumlah contoh kuatnya pengaruh Islamisasi dalam bahasa Melayu misalnya bisa dilihat dari masuknya nama-nama HARI yang dimulai hari kesatu sampai hari ketujuh Ahad, Senin (Isnain), Salasa (Tsulasa), Rabu (Rabi’), Kamis (Khamis), Jumat, Sabtu (Sabi’). Masuknya kata Minggu, menggantikan Ahad, diduga berasal dari kata Domingo – dibaca Dominggo – yang merupakan hari pertama dalam tradisi Kristen Spanyol/Portugis. Kata Domingo mulai digunakan pasca penaklukan Malaka oleh Portugis. Adalah kaum Kristen dan misionaris yang kemudian mensosialisasikan penggunaan kata Minggu mengantikan kata Ahad, sehingga menimbulkan kerancuan dalam urutan hari dalam bahasa Melayu-Arab. (HFF).
Keberhasilan Islamisasi bahasa Melayu kemudian menjadikan bahasa Melayu menjadi identik dengan Islam. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang kondusif untuk penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Para ulama di berbagai wilayah Nusantara menulis karya-karya mereka dalam bahasa dan huruf Arab Melayu. Kitab-kitab itu lalu dijadikan pegangan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang tersebar di wilayah Nusantara. Akhirnya, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiah dan bahasa persatuan. Ini ditambah lagi dengan dominasi para pedagang Muslim di kepulauan Nusantara, yang juga mengunakan bahasa Melayu sebagai bahasa Pengantar.
Inilah salah satu bukti kejeniusan para pendakwah Islam di Nusantara, yang tidak memaksakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kepulauan Nusantara. Ini juga menunjukkan, bahwa Islamisasi Kepulauan Nusantara tidak terjadi secara asal-asalan, tetapi dirancang dengan matang dan sungguh-sungguh. Upaya Islamisasi Nusantara ini kemudian mendapatkan ganjalan serius oleh para orientalis penjajah Belanda. Dua langkah dilakukan penjajah, yaitu mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan melahirkan kader-kader cendekiawan sekuler.
Kini, bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu, telah banyak mengalami perubahan. Para cendekiawan muslim perlu mengawal dengan sungguh-sungguh agar bahasa Indonesia tidak terus-menerus mengalami proses “de-Islamisasi bahasa” sebagaimana dinyatakan oleh Prof. al-Attas. Jika bahasa rusak, maka rusak pula pemahaman terhadap istilah-istilah penting dalam Islam.
Mungkin, tidak sedikit yang tidak memahami makna kata-kata penting dalam Islam, seperti ilmu, pendidikan, adil, adab, hikmah, musyawarah, kesuksesan, dan sebagainya. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang terus-menerus kepada para pejuang bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Aamiin. (Depok, 28 Oktober 2022).