Oleh M. Anwar Djaelani,
Ketua Bidang Bidang Pemikiran dan Ghazwul Fikri Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya -“Haji adalah Arafah”. Maka, pada 9 Dzulhijjah (Hari Arafah) semua jamaah haji wajib melaksanakan wukuf di Arafah. Wukuf adalah nama ibadah yaitu bagian dari Rukun Haji. Sementara, Arafah adalah nama tempat di mana wukuf harus dikerjakan.
Mengacu kepada kata Arafah yang bermakna mengenal, maka wukuf di Arafah adalah aktifitas berdiam diri dalam waktu tertentu yang bertujuan untuk (lebih) mengenal Allah. Di saat para jamaah haji itu berefleksi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, pada saat yang sama dapat dipastikan bahwa mereka juga akan bermuhasabah (berintrospeksi). Misalnya; sudah benarkah saya dalam menjalankan amanah Allah sebagai khalifah di muka bumi ini? Sudah berusahakah saya mengikuti semua syariat Allah seperti yang telah diatur-Nya lewat Al-Qur’an dan Hadits?
Masa Itu
Muhasabah atau refleksi tak hanya perlu dilakukan oleh umat Islam yang sedang berhaji dan sedang wukuf di Arafah. Tetapi, segenap umat Islam yang di tahun ini belum berkesempatan berhaji bisa melakukan hal yang sama. Intinya, siapapun bisa mengambil hikmah lewat muhasabah.
Mari menunduk. Hayatilah, bahwa waktu—suka atau tidak—terus berlalu. Waktu, diisi amaliyah bermakna atau tidak, terus bergerak. Maka, jangan menjadi pihak yang merugi sebagaimana yang Allah ingatkan sedari awal. Untuk itu, selalulah bermuhasabah; berintrospeksi, menghitung diri.
Allah bersumpah, dalam Surah ini: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta
Jika Allah bersumpah dengan menyebut sesuatu, setidaknya ada tiga aspek penting yang harus kita perhatikan. Pertama, lewat sumpah, Allah bermaksud menarik perhatian kita agar menyimak pelajaran dari-Nya. Kedua, materi yang menjadi subjek sumpah—dalam ayat di atas adalah masa atau waktu—memiliki makna yang sangat istimewa dan harus kita cermati petunjuk-Nya. Ketiga, berbagai pelajaran dari Allah yang disebut setelah sumpah itu memiliki bobot yang istimewa.
Masa atau waktu harus menjadi faktor yang tak boleh lepas dari ingatan kita. Jangan sia-siakan penggunaannya. Waktu kita hidup di dunia sangat terbatas. Tiap orang memiliki “jatah” masing-masing, berapa lama tinggal di dunia.
Lihat di sekitar kita, betapa banyak orang yang suka membuang-buang waktu. Sebagian, terlampau sering bersantai, bercakap-cakap dalam nuansa senda gurau belaka. Tak jarang, percakapan itu melantur tak tentu arah serta malah menjadi pemicu pertengkaran dan permusuhan.
Waktu tak pernah salah. Manusialah yang salah jika mempergunakannya secara tak tepat. Sebaliknya, waktu sangat bermanfaat jika kita gunakan untuk hal-hal yang berfaedah bagi posisi kita sebagai hamba Allah; mengabadi kepada-Nya.
Waktu, jangan disia-siakan. Masa, jangan ditelantarkan. Nasib kita sangat ditentukan oleh penggunaan waktu, sebagaimana tersurat dalam Surah al-’Ashr di atas.
Berikut ini sekadar ilustrasi. Di waktu muda, harapan masih banyak. Ternyata, tidak semua yang kita bayangkan di masa awal-awal mewujud sesuai dengan harapan. Di kala berusia lanjut, sebagian baru sadar bahwa manusia memang makhluk yang lemah. Perhatikan ayat ini: ….. dan manusia dijadikan bersifat lemah (QS An-Nisa` [4]: 28).
Lalu, siapa yang tak pernah merugi? Persis bunyi ayat di atas. Mereka adalah orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
Kalkulasi Pelecut
Bagaimana langkah-langkah agar setiap poin capaian pada ayat di atas dapat terlaksana bahkan ditingkatkan? Seringlah bermuhasabah. Supaya beruntung, keraplah berintrospeksi. Saat menghitung diri, bahkan jika perlu, amal baik tak usah kita ingat-ingat. Sebaliknya, hitung-hitunglah secara cermat khilaf, salah, dan dosa kita.
Sungguh, saat bermuhasabah, jika jujur akan banyak “catatan kurang bagus”. Catatan itu, semoga tidak hanya membuat kita prihatin tapi justru bisa menjadi pelecut agar bisa segera tertutupi dengan berbagai kebaikan. Perhatikanlah hadits ini. “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susulilah sesuatu perbuatan buruk dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya. Dan, bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik” (HR At-Tirmidzi).
Manusia bersifat lemah. Jika tak berhati-hati, bisa berbuat salah tanpa disadari. Terkait ini, ada kisah menarik yang semoga bisa memberi pelajaran berkesan kepada kita. Kisah itu merupakan fragmen dalam kehidupan Imam Syafi’i. Bahwa, pribadi semulia itu pernah mengalami “situasi merugi” hanya karena kemaksiatan yang tak dia sengaja.
Imam Syafi’i diketahui memiliki daya hafal yang luar biasa. Dia sudah hafal Al-Qur’an ketika berumur tujuh tahun dan hafal kitab Al-Muwaththa` karya Imam Malik, sang guru, ketika berumur tujuh belas tahun.
Suatu ketika, Imam Syafi’i merasa berkurang daya hafalannya. Beliau lalu datang ke gurunya yaitu Waki` bin Jarrah, seorang ahli hadits, untuk mengadukan masalahnya. Lalu, sang guru menanyakan kemungkinan Imam Syafi’i melakukan maksiat. Maka, setelah mengingat-ingat, Imam Syafi’i menyatakan bahwa pernah secara tak sengaja melihat tumit seorang perempuan yang ada di depannya.
Selepas berdialog dengan sang guru, menulislah Imam Syafi’i sebuah syair yang hingga kini terkenal dan dikutip di banyak kitab:
Aku bertanya-tanya pada salah satu hal buruknya ingatanku.
Maka dia menunjukkan kepadaku agar meninggalkan maksiat.
Dia menyampaikan kepada saya bahwa ilmu itu cahaya.
Dan cahaya Allah tidak akan menunjuki orang yang bermaksiat.
Fragmen dan syair Imam Syafi’i itu jelas mengajarkan sejumlah hal. Pertama, agar kita selalu berhati-hati sebab sebagai makhluk yang lemah relatif mudah kita tergelincir berbuat salah, baik disengaja atau pun tidak. Kedua, kita harus sering bermuhasabah. Ketiga, jika dari hasil muhasabah itada yang kita rasa “tak beres”, segera mintalah nasihat kepada orang yang kita percaya karena keshalihannya. Mohonlah nasihat, untuk ditunjuki jalan yang benar. Keempat, segera setelah mendapat nasihat yang baik, amalkanlah dengan sepenuh kesabaran.
Sungguh, inilah potret dari orang yang tak merugi yaitu orang yang:
Selalu terbimbing dalam pelukan iman.
Terpacu untuk terus beramal shalih.
Tak ragu-ragu untuk selalu dalam posisi nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran.
Sabar dalam menepati atau menjalani kebenaran.
Kembali ke Surah Al-’Ashr. Kalau dua orang shahabat Rasulullah Saw bertemu, belumlah mereka akan berpisah sampai salah seorang di antara mereka membaca Surah Al-’Ashr terlebih dahulu. Barulah, sesudah itu, mereka mengucapkan salam tanda berpisah. Hal ini, menunjukkan keutamaan QS Al-‘Ashr. Demikian, terang Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar mengutip keterangan Ibnu Katsir.
Terus, Terus!
Mari menunduk. Pertama, selalulah menggunakan waktu sebagai seorang hamba Allah yang istiqamah menjalankan syariat-Nya. Kedua, agar perjalanan hidup kita selalu terkontrol, jangan pernah berhenti untuk bermuhasabah. Ketiga, atas kedua usaha yang telah disebut sebelumnya, jadikan Surah Al-’Ashr sebagai sumber motivasi tiada henti. []