Ulama, Tradisi Ilmu, dan Kita

Oleh M. Anwar Djaelani,
dosen Akademi Da’wah Indonesia – Jatim

 
Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
Membaca dan menulis termasuk ajaran pokok Islam. Rasulullah Saw telah memberikan uswah tentang urgensinya. Ulama –pewaris para Nabi- pun sudah memberikan teladan cemerlang terkait dengan esensi dari tradisi ilmu itu.
 
Jejak Itu

Islam kuat memotivasi kita agar tekun mencari ilmu. Penguasaan atas ilmu berperan sangat besar sebagai penentu kebahagiaan, dunia-akhirat. Betapa ilmu itu harus kita utamakan, cermatilah dialog berikut ini.

Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib Ra ditanya: “Manakah yang lebih mulia, harta atau ilmu?” Ali Ra tegas menjawab, “Ilmu lebih mulia ketimbang harta”. Argumentasinya, pertama, ilmu bisa menjaga kita. Sementara, kita-lah yang harus menjaga harta. Kedua, saat kita memberi ilmu kepada pihak lain maka pada hakikatnya ilmu kita menjadi bertambah. Sementara, jika harta yang kita berikan ke pihak lain maka harta itu berkurang. Ketiga, ilmu menjadikan kita bersatu. Sementara, harta bisa menjadi pemicu pertikaian. Keempat, ilmu itu warisan para Nabi. Sementara, harta itu warisan Fir’aun dan Qarun.

Adakah contoh bahwa dengan ilmu berbagai masalah –kecil dan besar- bisa selesai? Sejarah adalah salah satu guru terbaik. Bukalah sekilas sejarah Perang Salib. Pada 1095, Perang Salib dimulai dan pada 1099 Jerusalem jatuh ke Pasukan Salib karena umat Islam terpuruk di banyak aspek.

Sekitar 88 tahun kemudian –pada 1187-, tampillah Shalahuddin Al-Ayyubi yang membebaskan Al-Aqsha. Siapa Shalahudin? Dia, generasi baru produk yang telah dipersiapkan oleh para ulama hebat seperti -antara lain- Imam Al-Ghazali.

Apa temuan dan resep Al-Ghazali? Saat itu, kata Al-Ghazali, aqidah, pemikiran, dan akhlak kemasyarakatan rusak. Oleh karena itu, perlu perubahan atau perbaikan yang lebih mendasar di aspek tersebut. Al-Ghazali berkesimpulan, ”Benahi keilmuan dan keulamaan”. Maka, menulislah Al-Ghazali buku berjudul Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).

Al-Ghazali membuka dengan “Kitabul Ilmi” dan sangat menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar sebagai kutub terbesar dalam urusan agama. Jika aktivitas amar ma’ruf nahi munkar hilang, syiar kenabian hilang dan agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan merajalela, satu kaum akan binasa.

Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan dan amal yang benar. Ilmu yang salah akan menggelincirkan pada pemahaman yang salah dan berujung pada amal yang salah pula. Bacalah  ”kegelisahan” Rasulullah Saw ini: “Termasuk di antara perkara yang  aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafiq tentang Al-Qur’an” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Ilmu yang rusak dan ulama yang jahat adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Maka, selalulah ingat ini: ”Bahwasanya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR Muslim).

Atas kewajiban mencari ilmu, kita harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang kita punya untuk meraih ilmu sebanyak mungkin. Kecuali pahala yang akan kita dapat, ilmu yang kita miliki akan menjadi landasan yang kukuh atas bangunan iman dan amal kita. Di titik inilah, nasib kebahagiaan kita –di dunia dan akhirat- sangat ditentukan.

Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ibnu Taimiyah adalah sedikit contoh figur yang dengan aktivitas membaca dan menulisnya selalu berusaha menegakkan tradisi ilmu untuk meraih posisi sebagai umat terbaik. Mereka belajar ke banyak ulama (guru) dan di banyak tempat pula.

Alhasil, jika kita setia terhadap ajaran Islam, maka tradisi ilmu atau budaya ilmu akan menjadi keseharian kita. Budaya ilmu itu indikator paling menonjolnya adalah kuat membaca dan menulis. Di titik ini, kita punya catatan emas bahwa tersebab tradisi mulia itu –yaitu membaca dan menulis- berbagai capaian karya gemilang dari intelektual-intelektual Islam telah berkontribusi kepada terbangunnya peradaban mulia.

Dunia Islam tercatat banyak melahirkan cendekiawan hebat yang diakui secara akademis oleh kalangan internasional. Misal, Ibnu Khaldun di bidang sosiologi dan ekonomi, Ibnu Rusyd di bidang filsafat, Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al-Khawarizmi di bidang matematika, Al-Biruni di bidang astronomi, dan sebagainya.

Terutama di masa lalu, sebegitu kuatnya umat Islam berbudaya ilmu, maka berbagai kisah menggetarkan akan mudah kita dengar. Misal, banyak di antara mereka yang menghabiskan belasan jam dalam sehari untuk membaca dan menulis seperti yang dilakukan Imam Nawawi (penulis berbagai buku antara lain Riyadush-Shalihin), Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Katsir, dan lain-lainnya.

Sebegitu kuatnya budaya membaca dan menulis di kalangan umat Islam, di masa lalu sampai ada yang tak mengindahkan jabatan tinggi yang ditawarkan kepada mereka karena hal itu mengharuskannya berjauhan dengan perpustakaan pribadinya. Padahal, selama ini, perpustakaan telah menjadi “surga” yang paling nyaman bagi dirinya.

Sebegitu kuatnya budaya membaca dan menulis di kalangan umat Islam, di masa lalu sampai ada seorang istri (yang tak paham soal urgensi ilmu) sampai mencemburui buku. Hal itu terjadi karena si istri merasakan bahwa sang suami lebih mencintai buku ketimbang dirinya.

Berdasarkan paparan ringkas di atas, kita patut untuk aktif melibatkan diri dalam setiap usaha menghidup-hidupkan tradisi ilmu atau budaya ilmu di lingkungan kita masing-masing. Mulailah dari diri sendiri, lalu bergerak ke lingkungan terdekat, dan seterusnya. Jika itu sudah kita lakukan, optimisme bahwa kita adalah bagian dari umat terbaik yang berhak merasakan hidup di sebuah peradaban mulia, patut kita miliki.
 
Warisi, Warisi!

Mari, miliki spirit dari ulama -Pewaris para Nabi- yang tiada lelah mencari ilmu dan sekaligus menyebarkannya. Jadikan tradisi ilmu yang telah diteladankan ulama sebagai keseharian kita juga. []

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *