Oleh M. Anwar Djaelani
Ketua Bidang Pemikiran Islam Dewan Dakwah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Anwar Harjono adalah salah satu hasil didikan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang cemerlang. Dia aktivis, pejuang, pendakwah, pendidik, politik, dan sejumlah prestasi lainnya. Skala prestasinya tak hanya nasional, tapi juga internasional.
Anwar Harjono (baca: Anwar Haryono) lahir di Sidoarjo pada 8 November 1923. Saat bersekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, dalam catatan Lukman Hakiem-seorang peminat sejarah-, Anwar Harjono tidak pernah mendapat ijazah. Hal ini lantaran sekolahnya ditutup oleh tentara pendudukan Jepang.
Anwar Harjono suka menuntut ilmu. Dia juga pernah belajar di Pesantren Tebuireng – Jombang pimpinan KH Hasyim Asy’ari.
Aktivis – Pejuang
Anwar Harjono seorang aktivis. Dia turut membidani kelahiran Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Bahwa, pada 2 Oktober 1945 diresmikanlah berdirinya GPII.
Untuk kali pertama, susunan Pucuk Pimpinan (PP) GPII adalah: Harsono Tjokroaminoto (Ketua Umum), A. Karim Halim (Wakil Ketua I), Mufraini Mukmin (Wakil Ketua II), dan Anwar Harjono (Sekretaris Umum). Ada pula tiga orang di kepengurusan itu yaitu Ahmad Buchari, Djanamar Adjam dan Adnan Sjamni yang masing-masing sebagai Pembantu.
Di GPII, di samping menjadi Sekretaris Umum yang pertama, Anwar Harjono juga pernah mendapat amanah sebagai Ketua Umum. Posisi itu ada pada masa dia aktif kurun 1945-1956.
Di masa Agresi Militer ke-2, 1948-1949, saat itu Anwar Harjono diamanahi memimpin PP GPII Darurat. Untuk itu dia turut bergerilya mengkonsolidasikan kekuatan para pemuda Islam, khususnya para pemuda yang tergabung dalam GPII.
Adapun yang disebut bergerilya, ketika itu Anwar Harjono tidak memegang senjata. Hal yang dilakukannya adalah berkeliling untuk membangkitkan semangat juang para anggota GPII khususnya dan rakyat di Jawa pada umumnya.
Jejak gerilya Anwar Harjono, menyusuri daerah selatan dari Yogyakarta ke Bantul. Terus bergerak ke Gunung Kidul hingga ke Ponorogo.
Masih dalam catatan Lukman Hakiem, Anwar Harjono pernah menjadi Sekretaris Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, yang menggabungkan kekuatan Sabilillah, Hizbullah dan GPII untuk mengusir Belanda. Tercatat juga, dia mewakili Partai Masyumi menjadi Sekretaris Dewan Politik Benteng Republik, sebuah koalisi menentang Perjanjian Linggajati. Terekam pula, dia bersama Ny. Mangunsarkoro, memimpin demonstrasi rakyat menentang Perjanjian Renville dan menuntut pembubaran Kabinet Amir Sjarifuddin.
Intelektual, Pendidik, dan Karya
Lelaki santun ini mahasiswa angkatan pertama Sekolah Tinggi Islam (sekarang, Universitas Islam Indonesia). Gelar Sarjana Hukum diraihnya pada 1963. Sementara, gelar Doktor dalam Ilmu Hukum didapat pada 1968 di Universitas Islam Djakarta. Promotornya adalah Prof. Dr. Hazairin, Prof. Dr. HM Rasjidi, dan Prof. Dr. Sumedi.
Anwar Harjono mengajar di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1957-1980. Dia juga mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta, 1968-1980.
Karya tulisnya adalah “Hukum Islam, Keluasan dan Keadilannya”, isinya berasal dari disertasi dia. Ada lagi “Hukum, Kekuasaan, dan Keadilan dalam Cahaya Al-Qur’an”, “Dakwah dan Masalah Sosial-kemasyarakatan”, “Indonesia Kita; Pemikiran Berwawasan Iman-Islam”, “Perjalanan Politik Bangsa, Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan”.
Selain judul-judul di atas, dia juga menulis buku bersama Lukman Hakiem. Judulnya, “Di Sekitar Lahirnya Republik; Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia kepada Bangsa”.
Berskala Dunia
Aktivitas Anwar Harjono juga berskala dunia. Misal, dia anggota Board of Director World Conference on Religion and Peace (WCRP), 1970-1983. Lembaga ini berpusat di New York – Amerika Serikat.
Pernah pula dia menjadi anggota Dewan Pimpinan Majelis Islam antarbangsa untuk Dakwah dan Bantuan Kemanusiaan (Al-Majelis Al-’Alaa li al Da’wah wa al-Ighatsah). Lembaga ini berpusat di Kairo.
Sebagian Risiko
Anwar Harjono dikenal teguh memegang prinsip. Dia siap menerima segala risiko perjuangan. Di antara risiko yang didapatnya adalah ketika dia turut menandatangani “Petisi 50” pada 1980.
Pada 5 Mei 1980, lima puluh tokoh nasional menandatangani surat protes yang kemudian dibacakan di depan anggota DPR-RI. Isi “Petisi 50” (demikian dokumen itu kemudian disebut orang) jelas, lugas, dan berani yaitu menggugat Presiden Soeharto lantaran telah menodai serta menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara Pancasila (https://tirto.id/cLtN).
Di antara yang menandatangani “Petisi 50” termasuk tokoh-tokoh Partai Masyumi seperti M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Boerhanoeddin Harahap, dan Anwar Harjono. Apa akibatnya?
“Petisi 50” membuat rezim Orde Baru marah luar biasa. Seluruh penandatangan “Petisi 50” lalu dibunuh hak-hak sipilnya. Mereka tidak boleh bepergian ke luar negeri, tidak boleh bekerja di lembaga-lembaga negara dan pemerintah, tidak boleh mendapat fasilitas kredit dari bank pemerintah atau swasta, bahkan tidak boleh berada di satu ruangan dengan Presiden dan Wakil Presiden.
Anwar Harjono bersama seluruh penandatangan “Petisi 50” merasakan pahitnya “buah” perjuangan. Hal itu, berlangsung lama.
Angin Perubahan
Sejak akhir 1980-an, cuaca politik berubah. Pemerintah Orde Baru, misalnya, mengajukan RUU Sistim Pendidikan Nasional dan RUU Peradilan Agama yang dinilai mengakomodasi kepentingan umat Islam. Kebijakan itu disusul dengan keluarnya izin mendirikan Bank Syariah (Hakiem, ed., 2022: 173).
Kehadiran Menteri Agama Munawir Syadzali bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama Tarmizi Taher pada Tasyakur Tiga Windu Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia semakin memperjelas perubahan arah politik itu.
Ini bersejarah. Sejak ikhtiar merehabilitasi Partai Masyumi yang tidak disetujui pemerintah pada 1967, itulah kunjungan resmi pertama pejabat pemerintah setingkat menteri ke markas besar Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta. Sementara, pendiri DDII adalah “orang-orang Masyumi”.
Singkat kata, sejak itu, pencekalan terhadap Anwar Harjono yang juga pengurus DDII tidak berlaku lagi. Dia, misalnya, kemudian bisa ke Marokko menghadiri undangan resmi pemerintah. Di kesempatan lain, dia juga tampil di Istana Negara dalam kapasitas sebagai panitia sebuah acara dari Organisasi Konferensi Islam.
Atas perubahan itu, Anwar Harjono bersyukur. Prinsip dia, kalau pemerintah benar, apa kita mesti menjauh? Kata dia, kalau pemerintah mendekat, apa harus ditolak?”
Pikiran dan Penghargaan
Anwar Harjono selalu berpegang kepada prinsip yang kuat: Jika mungkin kita pilih yang terbaik, tetapi jika tidak mungkin kita harus siap menghadapinya.
Jangan pernah berpikir final, kata Anwar Harjono. Tetaplah dalam bingkai berproses. Kalau kita berpikir final, lanjut dia, bila tidak tercapai bisa membuat frustasi. Sementara, kalau berpikir dalam bingkai berproses, kita tidak akan frustasi sebab setiap usaha tentu ada hasilnya.
Anwar Harjono wafat di Jakarta pada 16 Februari 1999. Atas jasa-jasanya bagi negeri ini, pada 13 Agustus 1998, para pejuang dan intelektual kritis ini mendapat anugerah Bintang Mahaputera Utama. []
Editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim