Oleh M. Anwar Djaelani,
Ketua Bidang Pemikiran Islam DDII Jawa Timur
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Mari, gugah jiwa dengan sejarah. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS Yusuf [12]: 111).
Di negeri ini, ada yang melihat kiprah kepejuangan M. Natsir dan kawan-kawannya di Partai Masyumi. Boleh jadi, mereka termasuk yang dimaksud di ayat ini: “Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu’.” (QS At-Taubah [9]: 105).
Adalah Abdul Hamid bersama pengurus Masjid Al-Munawwarah, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka mendatangi dan menawari M. Natsir untuk menjadikan Masjid Al-Munawwarah sebagai markas perjuangan M. Natsir dan kawan-kawan. Ide mereka mengemuka, sesudah ikhtiar merehabilitasi Partai Masyumi ditolak oleh penguasa Orde Baru.
Saat berkunjung itu, mereka dibersamai Buchari Tamam. Mereka, “Mengharapkan saya bersedia ikut memanfaatkan Masjid Al-Munawwarah untuk pengembangan syiar Islam, dengan menjanjikan akan mengusahakan segala fasilitas,” tutur M. Natsir (www.republika 22/02/2022).
Selanjutnya, Masjid Al-Munawwarah mencatat sejarah. Lewat format “halal bi-halal”, pada 26 Februari 1967 terbentuklah organisasi yang bergerak di lapangan dakwah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Cerdik Berkelit dan Pilihan Posisi
Langkah M. Natsir dan sahabat-sahabatnya mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (selanjutnya disebut Dewan Da’wah) disebut-sebut sebagai pilihan cerdik. Itu dilakukan, untuk menghindar dari “jepitan administrasi” keormasan dan partai politik. Maklum, kala itu rezim Orde Baru kuat menekan.
M.Natsir mengibaratkan Dewan Da’wah sebagai mesin pembangkit tenaga listrik yang ditempatkan di belakang rumah dan di suatu tempat yang dirancang khusus di bawah tanah supaya tidak menimbulkan suara bising. Dengan fungsi dan tempat seperti itu, Dewan Da’wah diharapkan dapat menerangi umat tanpa menimbulkan suara berisik yang bersifat politis.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh para mantan politisi Partai Masyumi, sikap Dewan Da’wah terhadap politik tercermin dari sikap M. Natsir. “Bagi saya, politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Keduanya seperti dua sisi dari keping uang yang sama. Kalau kita berdakwah dengan membaca Qur’an dan hadits, itu berpolitik. Jadi, dulu berdakwah lewat politik, sekarang berpolitik melalui dakwah,” kata M. Natsir.
“Saya merasa Dewan Da’wah tidak lebih rendah daripada politik. Politik tanpa dakwah, hancur. Lebih dari itu, saya tidak bisa mengambil sikap diam,” lanjut M. Natsir.
“Kalau Saudara-Saudara merasa tidak perlu ikut berpolitik, biar tidak usah politik. Tetapi Saudara-Saudara jangan buta politik. Kalau Saudara-Saudara buta politik, Saudara-Saudara akan dimakan oleh politik,” demikian nasihat M. Natsir.
Waktu bergerak. Dewan Da’wah, baik sendiri maupun bersama yang lain, tidak pernah absen menyikapi berbagai masalah yang menyangkut kepentingan kaum Muslimin, baik di Tanah Air maupun di mancanegara. Dewan Da’wah mengambil posisi sebagai bagian dari umat, bagian dari Indonesia, dan bagian dari kemanusiaan sejagat.
Pengakuan dan Skala Aktivitas
Siapa M. Natsir? Dia lahir di Alahan Panjang – Sumatera Barat, pada 17/07/1908. Predikatnya banyak: Muballigh, pendidik, intelektual, pemikir, dan politisi. Ketokohannya tak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam.
M. Natsir adalah intelektual yang kedalaman ilmunya membuahkan penghargaan. Pada 1967 Universitas Islam Libanon memberinya gelar Doctor Honoris Causa bidang politik Islam. Pada 1991, gelar yang sama dianugerahkan Universiti Kebangsaan Malaysia.
Pada 1980 M. Natsir menerima penghargaan internasional, Jaa-izatul Malik Faisal Al-Alamiyah, atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la Al-Maududi. Oleh karena itulah, hingga akhir hayatnya-tahun 1993-, M. Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.
Sebagian Jejak
M. Natsir pernah menjadi Perdana Menteri RI pertama, 1950-1951,setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jasa M. Natsir dalam soal terbentuknya NKRI sangat besar.
Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, M. Natsir mengajukan mosi dalam sidang parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. Dapat ditambahkan, M. Natsir berulang kali duduk sebagai menteri di sejumlah kabinet.
Natsir dan Kekuatan Tulisan
Adapun kemampuan menulis merupakan kelebihan M. Natsir yang lain. Lewat kecakapannya itulah, pemikiran M. Natsir lebih mudah tersebar luas.
M.Natsir menulis lebih dari 35 judul buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) adalah salah satu karyanya yang sangat menonjol dan berpengaruh. Sebagian buku-buku M. Natsir telah diterbitkan dalam bahasa Arab.
“Tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia ialah Fiqhud Da’wah. Saya selaku Presiden ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia, pen.) ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke dalam edisi Jawi dan menjadikannya teks usrah ataupun grup studi kami. Saya begitu terkesan oleh buku ini karena metode dakwahnya bersifat moderat dan berhikmah. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga menjadi organisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana,” kenang Anwar Ibrahim.
Spirit Natsir
“Satu-satunya yang diperlukan yang bathil untuk mencapai kemenangan adalah asal saja yang haq tinggal diam, tak berbuat apa-apa,” kata M. Natsir. Ungkapan tersebut sangat bisa menggambarkan siapa sejatinya M. Natsir, sang da’i, pendidik, pemikir, pejuang, dan negarawan.
Islam harus “dibawa” ke negara tampak menjadi inti perjuangan M. Natsir. Lihatlah, saat berbicara tentang “Arti Agama dalam Negara”. M. Natsir menyatakan bahwa untuk menjaga supaya aturan Allah dan Rasul-Nya dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara (M. Natsir, 2000: 4).
Buchari Tamam, M. Natsir, dan Garansi Nama
Buchari Tamam termasuk pendiri Dewan Da’wah. Dia Sekretaris Dewan Da’wah pada kepengurusan yang pertama.
Buchari Tamam aktivis sejak belia. Dia aktivis pergerakan sejak tinggal di Sumatera. Lelaki ini pernah memimpin Gerakan Pemuda Islam Indonesia konsulat Sumatera Tengah.
Di antara kiprah kepejuangannya, dia mendirikan Yayasan Kesejahteraan. Suatu saat Yayasan itu butuh dana besar. Beberapa dermawan sudah dihubungi, tapi belum cukup menghasilkan.
Buchari Tamam lalu teringat seorang sahabat M. Natsir, Saleh Saebani – juragan batik di Surakarta. Dia temui sang juragan dan menyerahkan memo dari M. Natsir (memo itu sempat dibuat M. Natsir sebelum menjalani karantina politik di Madiun).
Apa yang didapat Buchari Tamam? Saleh Saebani menyerahkan sebuah koper besar berisi uang. Itupun dengan iringan kalimat Saleh Saebani yang merendah, “Sekadar inilah yang bisa saya bantu”.
Inilah garansi nama baik M. Natsir. Inilah wajah saling menolong yang sangat mengharukan sekaligus mengobarkan semangat juang. Inilah spirit, bahwa kita tak sendirian di jalan dakwah.
Buka Nonstop
Sekali lagi, siapa Buchari Tamam? Ketika Dewan Da’wah mulai dirintis, praktis duet M. Natsir dan Buchari Tamam yang menjadi tulang punggung. Boleh dikata, di masa awal-awal Dewan Da’wah, M. Natsir otaknya dan Buchari Tamam sang “kepala dapur”. Keduanya, dibantu sejumlah pemuda, antara lain Ramlan Mardjonet.
Selama tiga tahun Buchari Tamam tinggal di Masjid Al-Munawwarah Tanah Abang – Jakarta, tempat Dewan Da’wah didirikan. Atas hal itu, M. Natsir berani mengumumkan kepada umat bahwa Dewan Da’wah membuka kantornya selama 24 jam.
Kisah Bulletin
Alkisah, meski tokoh-tokoh Partai Masyumi dibebaskan dari penjara mereka tetap diawasi ketat. Media massa diminta supaya tidak terlalu menyiarkan pendapat tokoh-tokoh Masyumi.
Dewan Da’wah kemudian menerobos blokade itu. Mereka memanfaatkan forum-forum khutbah, kuliah subuh, kuliah tujuh menit, ceramah umum, dan lain-lain. Semua sarana dakwah dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan merespons perkembangan isu aktual di dalam dan di luar negeri.
Berbagai persoalan masyarakat Islam dikupas di berbagai kesempatan, antara lain lewat khutbah Jum’at, oleh para juru bicara Dewan Da’wah. Mereka adalah M. Natsir, HM Rasjidi, Yunan Nasution, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan lain-lain.
Selanjutnya, disadari bahwa berbagai khutbah itu tidak cukup luas daya jangkauannya. Untuk itu, kemudian khutbah itu direkam, disalin, diperbanyak, dan disebarkan. Formatnya, Bulletin Dakwah.
Dukungan Masyarakat
Untuk mencetak Bulletin Dakwah, kala itu, perlu mesin stensil. Awalnya, Dewan Da’wah menumpang. Kemudian, Persatuan Pedagang Tanah Abang – Jakarta menyumbang sebuah mesin stensil.
Bantuan terus berdatangan. Seorang dermawan mewakafkan sebuah mesin tik dan alat perekam yang sangat bagus. Sejumlah toko alat tulis seperti berlomba membantu kegiatan Dewan Da’wah. Ada yang menyumbang kertas, kertas stensil, pita mesin ketik, karbon, tinta dan lain-lain (istilah-istilah yang disebut itu, semua terkait dengan urusan cetak-mencetak, sesuai dengan kondisi di zaman itu).
Cara M. Natsir Menumbuhkan Partisipasi Umat
M.
N.Natsir motivator handal. Kadang-kadang dia mengajak bicara seseorang dan “mengundangnya” sebagai pendakwah.
“Pak, maukah Anda menjadi da’i,” tanya M. Natsir.
“Mana mungkin, Pak! Saya tidak bisa berbicara di depan umum,” jawab yang ditanya.
“Kalau Bapak tidak bisa berpidato, tidak apa-apa. Tapi, kalau Bapak menyumbang kertas untuk memperbanyak bahan-bahan dakwah, Bapak berdakwah juga,” kata M. Natsir.
Di kesempatan yang berbeda, M. Natsir berceramah mengenai “Demokrasi di Bawah Hukum”. Dewan Da’wah ingin mencetak naskah ceramah itu dan membagikannya sebagai sumbangan pemikiran kepada para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang sedang bersidang. Tapi, dari mana dananya?
Kepada seorang pengusaha M. Natsir membuka komunikasi. Dia menawarkan peluang berdakwah.
“Tolonglah, Saudara bisa menjadi da’i. Da’i untuk masalah politik yang tinggi,” kata M. Natsir.
“Bagaimana caranya? Saya tidak bisa bicara di podium,” jawab si pengusaha.
M. Natsir lalu meyakinkan bahwa menjadi da’i tidak selalu harus berpidato di atas mimbar. Singkat kisah, akhirnya dengan senang hati si pengusaha bersedia membantu mencetak 2000 eksemplar.
Alhasil, meskipun Dewan Da’wah bukan organisasi politik tetapi terhadap isu-isu politik, dari segi dakwah, Dewan Da’wah tidak bisa hanya diam saja. Dewan Da’wah berkomitmen turut membangun umat melalui kemampuan maksimal yang dimilikinya.
Penghargaan Wajar
Pendiri dan pemimpin Dewan Da’wah adalah para tokoh yang sejak usia muda telah turut memperjuangkan berdirinya negara Republik Indonesia. Bentuk perjuangan berupa dukungan maupun koreksi dalam bingkai amar makruf nahi mungkar.
Di belakang hari, wajar jika kepada sejumlah pendiri dan pemimpin Dewan Da’wah negara memberi penghargaan. Ada yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, Perintis Kemerdekaan, Bintang Mahaputera, atau tanda jasa lainnya. []
Editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim