BEGINILAH CARA BERAMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
MENURUT SYEKH AL-QARADHAWI

Oleh: Dr. Adian Husain

Ketua Umum DDII

Dewandakwahjatim.com, Depik – “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kamu) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, serta beriman kepada Allah.” (QS 3: 110).

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyusuh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS 3:104).

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS 9:71).

“Dan jagalah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya.” (QS 8: 25).


Umat Islam adalah ummatud da’wah. Umat Islam mendapat tugas untuk melanjutkan misi dakwah para Nabi, yaitu menegakkan kalimah tauhid dan mewujudkan kehidupan yang rahmatan lil-alamin. Karena itu, dalam Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali menyatakan, bahwa aktivitas amar ma’ruf nahi munkar adalah yang menentukan jatuh dan bangunnya umat Islam.
Rasulullah saw sudah mengingatkan: "Barangsiapa diantara kamu yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya; dan jika tidak mampu, (ubahlah) dengan hatinya. Dan itulah 

selemah-lemah iman.” (HR Muslim dan Ashabus Sunan).


Tetapi, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, atau asal-asalan. Aktivitas yang mulia itu harus dilakukan dengan cara-cara yang benar dan bijak. Berikut ini panduan Syekh Yusuf al-Qaradhawi tentang cara-cara yang baik dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.


Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan sejumlah prasyarat untuk mengubah
kemunkaran, sesuai dengan hadits “Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan “tangannya” dan seterusnya.”


Pertama, kemunkaran itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Syari’
(Pembuat Syariat — Allah SWT) dengan pasti, bukan soal khilafiah. Tidak termasuk kategori “al munkar” misalnya, soal fotografi, boneka mainan, nyanyian dengan musik atau tanpa musik, soal cadar, penetapan puasa dengan hilal atau ru’yat. Seorang kelompok Muslim tidak boleh menganggap soal-soal yang masih menjadi perdebatan para fuqaha itu sebagai hal yang
munkar.


Kedua, kemunkaran itu dilakukan secara terang-terangan. Kemaksiatan
yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tidak boleh diintip, memasang alat
perekam, atau kamera, untuk mengetahuinya.
Ketiga, kemampuan untuk bertindak dan mengubah kemunkaran. Jika tidak
mampu dengan “tangan”, maka dapat dilakukan dengan “lisan”. Biasanya yang mempunyai kemampuan mengubah dengan “tangan ” adalah penguasa. Bagaimana jika kemunkaran itu dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain yang dilindunginya?


Menurut Syekh al-Qaradhawi, dalam hal ini perlu dukungan salah satu dari tiga kekuatan (aparat kemanan, suara di dalam majelis atau dewan perwakilan, dan kekuatan massa). Jika salah satu dari tiga kekuatan itu tidak dimiliki, Syekh al-Qaradhawi menganjurkan, hendaknya perlawanan terhadap kemunkaran tetap dilakukan dengan lisan, tulisan, dakwah, nasehat-nasehat, dan pengarahan-pengarahan, sehingga ia dapat menguasai opini publik yang kuat yang menuntut perubahan kemunkaran.
Hendaknya menyiapkan generasi yang andal dan beriman kuat yang mampu mengemban tugas mengubah kemunkaran. Inilah yang diisyaratkan oleh hadits Abu Tsa’labah al-Husaini,
ketika ia bertanya kepada Nabi SAW tentang ayat “Hai orang-orang yangmriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepada dirimu apabila kamu telah mendapat petunjuk” (QS 5:105).
Lalu, Nabi SAW bersabda kepadanya: “Laksanakanlah amar ma’ruf dan nahi munkar; hingga jika kamu melihat kebakhilan sudah dipatuhi, hawa nafsu sudah diperturutkan, keduniaan lebih diutamakan, dan masing-masing orang mengunggulkan dan mengagumi
pendapatnya sendiri, maka hendaklah kamu menjaga dirimu sendiri secara khusus dan biarkanlah orang banyak. Karena di belakang kamu nanti akan ada hari-hari yang pada waktu itu orang yang sabar bagaikan orang yang memegang bara api. Orang yang beramal saleh pada waktu itu mendapatkan pahala seperti pahala lima puluh orang yang beramal saleh seperti amal kamu.” (HR Turmudzi).


Keempat, tidak dikhawatirkan akan menimbulkan kemunkaran yang lebih
besar. Jadi, tindakan untuk mengubah kemunkaran, harus diperhitungkan,
hendaknya tidak menimbulkan kemunkaran atau kemudharatan yang lebih besar.
Misalnya, menjadi pemicu tertumpahnya darah orang-orang yang tidak bersalah, perusakan kehormatan, perampasan kekayaan, dan berakibat semakin kokohnya kemunkaran atau semakin sewenang-wenangnya orang yang sombong dan membuat kerusakan di muka bumi. Karena itu, para ulama mensyariatkan perlunya berdiam diri terhadap kemunkaran, jika dikhawatirkan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. (Lihat: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jld. II, Jakarta: GIP. 1998:984-999).
Menyimak uraian tersebut, tampak Syekh al-Qardhawi sangat menekankan pada perlunya kecermatan dan kejituan dalam menyikapi suatu kemunkaran dan menyiapkan rencana perubahan dengan matang dan tidak gegabah dan mengandalkan semangat semata. Dalam hal ini, ungkapan Ali bin Abi Thalib, bahwa “sesuatu kebenaran yang tidak tertata rapi, akan dilibas oleh kebatilan yang terorganisir dengan baik” patut menjadi catatan tersendiri. Untuk melawan al munkar (al bathil), harus dilakukan dengan cara-cara yang “profesional”, disertai dengan ilmu yang memadai. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 2 Maret 2022).

Editor: Sudono/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *