KISAH-KISAH KEPAHLAWANAN KASMAN SINGODIMEDJO

Oleh: Nurbowo
(Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia 2020)

Kemerdekaan Indonesia disiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Maka, pada 12 Agustus 1992, Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada orang-orang yang pernah duduk di lembaga kedua tersebut.


Ada yang unik di acara itu. Seluruh eks ketua dan anggota BPUPK dan PPKI mendapatkannya, kecuali Kasman Singodimedjo. Presiden Soeharto, pada Kasman yang ikut Petisi 50 – sebuah petisi yang mengkritik keras rezim Orde Baru itu.
Padahal, 47 tahun sebelumnya, Kasman berjasa menyelamatkan Indonesia dari Balkanisasi akibat ”provokasi dari Timur”. Malam setelah paginya Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada Jum’at, 17 Agustus 1945, Republik ini berkeping. Menurut Wapres Hatta, ”Indonesia Timur” mengancam keluar dari negara kesatuan yang baru terbentuk, karena tak bersetuju di Piagam Jakarta. Piagam ini salah satunya adalah rumusan sila pertama Pancasila yang akan dimasukkan dalam Preambule UUD 1945.
Kasman berhasil membujuk pemimpin Islam untuk mengalah sementara, sehingga NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke. Kasman berkisah: ”… Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang terbesar sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram , diridhai Allah SWT,” tutur Kasman dalam bahasa kromo inggil, yang meluluhkan Ki Bagus Hadikusumo (Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982).


Padahal sebelumnya, alih alih menerima lobi Hatta untuk menghapus ”tujuh kata” dalam Pembukaan UUD 45, Ki Bagus yang Ketua Umum Muhammadiyah itu bahkan menghendaki agar frasa ”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan sehingga tujuh kata itu jadi lima kata saja: ”dengan kewajiban menjalankan syariah Islam.” Artinya, syariat Islam menjadi hukum nasional Indonesia.


Perjuangan Kasman Singodimedjo di pentas perjuangan sebenarnya sangat fenomenal. ”Kasman sebagai perintis,” tulis Sekretaris Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Amlir Syaifa Yasin. ”Ibarat lembing, di mana saja ditancapkan, ia menempel,” imbuh Amlir.


Setelah merintis Jong Islamieten Bond dan didapuk jadi ketuanya, Kasman mendirikan National Indonesche Padvindery (Natipij) atau Kepanduan Nasional Indonesia. Ia mengetuai dan berhasil mengembangkan cikal-bakal organisasi pramuka ini secara nasional.


Terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Kasman membentuk kepengurusan daerah-daerah yang berfungsi sebagai DPR dan DPRD. Setelah KNIP melahirkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lagi-lagi Kasman harus ”nongkrongi” cikal bakal TNI ini hingga berbiak menjadi kekuatan nasional. TKR sebelumnya bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang diawali dengan PETA (Pembela Tanah Air). PETA dibentuk Jepang, dengan Kasman sebagai pertama pertama. Daidancho Kasman mengembangkan PETA dan menggunakan kekuatan milisi melawan Jepang.


Pendek kata, urusan membangun organisasi, menyerahkan pada ahlinya: Kasman. Salah satu kunci suksesnya adalah ketekunan turun ke bawah. Mr. Mohamad Roem, sohib Kasman, menuturkan, suatu hari setelah ceramah di Ternate, Maluku, Kasman harus menyeberang ke Bitung (Sulawesi Utara) memenuhi undangan di sana. Ketika sampai di tepi laut, tiba-tiba cuaca berubah. Angin besar, ombak laut makin tinggi. Tak ada pemilik perahu yang berani berlayar, menunggu cuaca baik kembali.


Setelah agak lama menunggu, cuaca tak kunjung bersahabat. Dalam ketidakpastian, Kasman ”mengaum”. “Apakah ada nakhoda Muslim yang percaya bahwa hidup dan mati di tangan Allah? Siapa yang mengantarkan saya dalam keadaan ini ke Bitung?” teriak Kasman.


Seruan itu menerbitkan keberanian di sebagian besar pemilik kapal. Beberapa orang mengacungkan tangan, siap menyeberangkan Kasman. Pimpinan Muhammadiyah ini memilih salah satu nelayan, dan berkata kepada lainnya, ”Terima kasih. Kalian juga sudah mendapat pahala.”


Meski berasal dari keluarga cukup berada, Kasman memilih hidup sederhana. Kekayaannya banyak disumbangkan untuk membiayai perjuangan. Termasuk menyantuni keluarga para tahanan politik.


Sebagai petinggi organisasi, Kasman tergolong pemimpin efisien. Ia biasa naik motor untuk memenuhi undangan, agar tidak datang terlambat. Ia tidur nyenyak di atas meja kantor Cabang Muhammadiyah di Sumatera (”Ini betul-betul, maaf, Singo di mejo,” tulis H Sudarsono Projokusumo dalam buku Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo), tidur di hotel. Kasman pun tak sungkan memulai acara ketika sudah tepat waktu, meski tuan rumah belum sepenuhnya siap. Kata Sudarsono, Kasman adalah een man van de tijd. Orang yang tepat waktu.


Lepas dari KNIP, Kasman didapuk menjadi Jaksa Agung pertama NKRI. Meski Kasman kecewa karena Piagam Jakarta tidak ”dikembalikan” sempurna, tapi ia sebagaimana Roem, Natsir dan tokoh-tokoh Islam lainnya lega, karena Piagam Jakarta akhirnya pada 5 Juli 1959 didekritkan Presiden sebagai menjiwai UUD 45 dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan UUD 45.


Pria berpendirian baja ini lahir di Kalirejo, Purworejo, Jawa Tengah pada 25 Februari 1908. Di era Rezim Soeharto, Kasman termasuk dalam barisan kritis yang mengajukan Petisi 26 mengenai Pemilu. Ia juga turut bersama M. Natsir meneken Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) yang mengkritik kepala negara. Maka, sebagaimana yang dialami Natsir dan kawan-kawan, Kasman diisolasi hak-hak sipilnya.


Buku-buku sejarah Indonesia pun tak menyebut peran putra dari pasangan Singodimejo-Kartini ini dalam pergerakan nasional. ”Sungguh ironis. Padahal Kasman Singodimedjo merupakan tokoh besar yang mengungkapkan hukum dan ketatanegaraan Indonesia,” ujar sejarawan Anhar Gonggong dalam seminar nasional ”Prof Dr Kasman Singodimejo, Pejuang Kemerdekaan yang Terlupakan” di Kampus Unissula Semarang, Selasa (17/7/2012).


Seminar itu bagian dari rangkaian kegiatan Panitia Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional bagi Kasman Singodimedjo, yang diketuai AM Fatwa. Kasman adalah tokoh yang selalu tampil di saat-saat genting, tapi hilang dari ingatan kolektif bangsa,” ujar Fatwa, yang ketika jadi tahanan keluarganya disantuni Kasman.


Rektor Universitas Islam Sultan Agung ketika menerbitkan rekomendasi melalui SK No. 3730/D.1/SA/VII/2012 berbunyi: “Perlunya pemerintah untuk menemukan kembali peran dan posisi Prof Dr Mr H. Kasman Singodimedjo dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk kemudian melalui penilaian dan pertimbangan yang lebih adil dapat memberikan penghargaan atas perjuangan Prof Dr Mr R H. Kasman Singodimedjo bagi negara dan bangsa Indonesia dengan memberinya Gelar Pahlawan Nasional.”
Dan akhirnya, pada tahun 2018, pemerintah RI memberikan gelar Pahlawan Nasional, yang hidupnya penuh dengan kisah-kisah kepahlawanan. (****)


(NB. Nurbowo adalah wartawan yang meninggal saat menjalankan tugas dakwah ke Sumatera, tahun 2020).

Editor: Sudono/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *