KETIKA KEMAKSIATAN BUTUH TAFSIR BARU

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua umum DDII

Dewandakwahjatim.com, Depok - Hegemoni peradaban Barat sekuler telah memaksa agama-agama untuk tunduk pada nilai-nilai baru yang dipaksakan dalam kehidupan umat manusia. Karena itu, ketika memilih Paus Benediktus XVI, tahun 2005, para kardinal di Vatikan menyatakan, bahwa tantangan terberat yang dihadapi oleh Gereja Katolik adalah datang dari Peradaban Barat.

Leopold Weiss menyebut peradaban Barat sebagai peradaban anti-agama (irreligious in its very essence). Bagi Jean Paul Sartre, ide tentang Tuhan itu telah membunuh kebebasan manusia. (The idea of gods negates our freedom). 

Karena itulah, umat beragama – khusus Yahudi-Kristen –  yang dominan di dunia Barat telah dipaksa untuk menyesuaikan ajaran-ajaran kedua agama itu untuk menerima nilai-nilai baru yang dianggap sesuai dengan alam pikiran modern. Kasus homoseksual adalah contoh yang sangat mencolok.

Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik kotor dan maksiat, oleh agama-agama,  justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan Hak Asasi Manusia. Perkembangan kasus homoseksualitas di Barat sungguh sangat mengerikan. Pemimpin-pemimpin Gereja semakin terdesak opininya, karena sebagian pemuka Kristen dan cendekiawannya pun sudah mendukung dan menjadi pelaku homoseksual atau lesbianisme. 

Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja. Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat tafsiran lain yang melegitimasi praktik homoseksual, juga dengan dalil-dalil Bible.


Logika kaum sekular di Barat yang enggan berpegang kepada agamanya ini sebenarnya sederhana. Karena homoseksual sudah menjadi kenyataan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Barat, maka untuk memberikan legitimasinya, tidak jarang mereka harus merekayasa ajaran agama mereka agar sesuai dengan‘tuntutan zaman’, agar Kristen tetap relevan untuk kaum homoseksual; agar Kristen tidak dicap kuno, dan dapat diterima oleh masyarakat modern, sebab homoseksual sudah dipersepsikan oleh para pendukungnya sebagai gaya hidup modern.


Maka, dunia Kristen semakin terpukul ketika media massa membongkar ribuan kasus pedofilia (pelecehan seksual terhadap anak-anak) yang dilakukan oleh para tokoh Gereja. Seolah-olah kemunafikan itu terbongkar, dimana tokoh-tokoh agama yang ‘tidak kawin’ dan punya hak memberikan pengampunan dosa, ternyata melakukan tindakan keji dengan menzinahi anak-anak.
Pada 27 Februari 2004, The Associated Press Wire menyiarkan satu tulisan
berjudul “Two Studies Cite Child Sex Abuse by 4 Percent of Priests”, oleh Laurie Goodstein, yang menyebutkan, bahwa pelecehan seksualterhadap anak-anak dilakukan oleh 4 persen pastur Gereja Katolik.


Setelah tahun 1970, 1 dari 10 pastur akhirnya tertuduh melakukan pelecehan seksual itu. Dari tahun 1950 sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4392 pastur. Studi ini dilakukan oleh The American Catholic bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para tokoh Gereja.
Dalam kondisi seperti itu, tidak bisa lagi dihindari adaya upaya legalisasi agama terhadap kemaksiatan yang semakin diterima masyarakat. Kaum Yahudi dan Kristen dipaksa untuk menerima homoseksual. Apalagi sudah begitu banyak pemuka agama yang secara terang-terangan memproklamasikan dirinya sebagai pelaku homoseksual atau lesbian. Untuk melegitimasi perilakunya, para tokoh agama itu membuat tafsir-tafsir baru yang melegalkan homoseksual.


Di kalangan masyarakat muslim, upaya memuat tafsir baru tentang homoseksual dan perzinahan juga sedang berlangsung. Sejumlah jurnal bahkan disertasi doktor telah diterbitkan untuk melegalkan homoseksual dan perzinahan pada umumnya. Kasus terakhir yang menghebohkan adalah diluluskannya disertasi doktor yang menghalalkan hubungan seksual di luar perkawinan.


Syukurlah, para ulama dan masyarakat muslim memberikan reaksi keras, sehingga disertasi itu akhirnya direvisi. Bahkan, hingga kini, di Indonesia belum ditemukan adanya ulama atau ustad yang secara terbuka menyatakan dirinya sebagai pelaku homoseksual. Ini berbeda dengan kondisi dalam agama Yahudi dan Kristen yang telah menerima hadirnya sinagog Yahudi liberal atau gereja liberal yang dipimpin oleh kaum homo.


Upaya untuk membuat tafsir baru tentang homoseksual dilakukan dengan cara menempatkan syariat Islam sebagai produk budaya atau produk sejarah yang terus berkembang. Mereka menyebutnya sebagai “evolving syariah”. Yakni, syariah yang selalu berubah sesuai dengan dinamika perkembangan sosial. Tidak ada hukum Islam atau nilai-nilai akhlak yang dianggap tetap.
Resistensi tinggi kaum muslim terhadap tafsir baru homoseksual atau nilai-nilai baru lainnya, terkait dengan sifat ajaran Islam yang sudah sempurna sejak awal. Sebagai agama wahyu yang murni, ajaran Islam bersifat sempurna sejak awal. Islam bukan agama sejarah yang dilahirkan, diasuh, dikembangkan, dan diubah-ubah semaunya sendiri, sesuai dengan perkembangan sejarah.


Islam adalah agama wahyu yang murni. Islam dibawa oleh Nabi terakhir yang memang diutus untuk seluruh manusia sampai Kiamat tiba. Karena itu, ajaran Islam bersifat lintas budaya dan lintas zaman. Ajaran Islam tidak mengikuti perubahan sejarah. Zina dan khamr itu haram, kapan saja dan dimana saja.
Andaikan masyarakat sudah kecanduan khamr, tetap saja khamr itu haram. Meskipun begitu banyak manfaat binatang babi, status haramnya babi tidak pernah berubah. Babi tetap haram, meskipun konsumsi babi sudah membudaya di tengah masyarakat.


Jadi, hingga kini, umat Islam pada umumnya tetap resisten terhadap tafsir-tafsir baru yang dipaksakan untuk melegalkan aneka kemaksiatan modern. Apalagi, Rasulullah saw pun sudah menjamin, umat Islam tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 10 Januari 2022).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *